Analisis sistem tataniaga daun bawang studi kasus Kecamatan Pacet, Kabupeten Cianjur, Jawa Barat

(1)

ANALISIS SISTEM TATANIAGA DAUN BAWANG

(

StudiKasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

Skripsi

Dhimas Satria Sakti Wira Utama

H34076046

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

DHIMAS SATRIA SAKTI WIRA UTAMA. Analisis Sistem Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN M. BAGA)

Komoditas hortikulura merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan, mengingat wilayah Indonesia yang sebagian besar memiliki iklim yang cocok untuk tanaman hortikultura. Daun bawang merupakan salah satu komoditas hortikultura sayuran yang memiliki nilai ekonomis yang baik untuk dipasarkan, mengingat daun bawang memilki banyak manfaat dan kegunaan untuk berbagai resep masakan/makanan, dengan hal tersebut mengakibatkan banyak permintaan akan daun bawang sehingga daun bawang memilki potensi untuk diproduksi dan dibudidayakan. Salah satu daerah penghasil daun bawang adalah Kabupatan Cianjur.

Kecamatan Pacet merupakan salah satu daerah penghasil utama daun bawang di Kabupaten Cianjur yang mencapai produksi sebanyak 81.651 Ton. Kecamatan Pacet memiliki ikim yang cocok untuk membudidayakan komoditas sayuran termasuk daun bawang, selain itu Kecamatan Pacet memliki lokasi strategis yang memudahkan dalam proses distribusi ke pasar mengingat daerah tersebut dekat dengan daerah penyangga ibukota. Kondisi lahan pertanian yang ditanami daun bawang di Kecamatan Pacet umumnya bersifat tumpangsari, yaitu dalam satu lahan pertanian ditanami berbagi komoditas seperti wortel, sawi, kubis, cabe dan tomat. Sebagian besar petani di Kecamatan Pacet yang merupakan produsen daun bawang mendapatkan harga yang perbedaannya cukup besar jika dibandingkan dengan harga ditingkat konsumen akhir, sehingga untuk meningkatkan harga jual dan keuntungan bagi petani diperlukan alternatif saluran pemasaran yang efisien yang dipandang mampu menjadi solusi bagi petani, selain itu dengan saluran pemasaran yang efisien diharapkan mampu menghasilkan solusi terbaik bagi masing- masing lembaga pemasaran yang tertlibat dalam sebuah sistem tataniaga

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus, September sampai Oktober 2010 di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Petani yang diambil sebagai responden sebanyak 20 orang. Penelitian ini menggunakan alat analisis saluran tataniaga, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, rasio keuntungan terhadap biaya (Li/Ci ratio) dan farmer’s share.

Proses tataniaga daun bawang di Kecamatan Pacet melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Lembaga yang terlibat dalam tataniaga daun bawang di Kecamatan Pacet dimulai dari petani seabagi produsen, pedagang pengumpul kebun (PPK), Sub Terminal Agribisnis (STA), pedagang besar dan pedagang pengecer sebagi konsumen akhir. Terdapat empat pola saluran pemasaran di Kecamatan Pacet dengan volume penjualan rata-rata per panen petani adalah 1.232,5 ton per musim panen yang kemudian dijual oleh petani : Saluran I Petani

– Pedagang Pengumpuil Kebun (PPK) – Sub Tereminal Agribisnis (STA) – Pedagang besar – Pedagang pengecer, Saluran II : Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer, Saluran III : Petani – Pedagang Pengecer, dan Saluran IV Petani – Pedagang Pengumpul Kebun (PPK) – Pedagang Pengecer.


(3)

Saluran yang sering atau terbanyak dilakukan oleh petani adalah saluran 1 dan IV, yaitu pemasaran yang melibatkan pedagang pengumpul kebun (PPK) dengan volume penjualan 11.150 kilogram per pengiriman. Fungsi –fungsi yang dilakukan oleh lembaga – lembaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi oleh masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat mengarah kepada pasar persaingan sempurna, kecuali struktur pasar yang dihadapi oleh STA dan pedagang besar yang cenderung mengarah ke pasar oligopoly. Dari perilaku pasar yang dihadapi, maka dalam praktek penjualan telah terjalin hubungan yang baik antar lembaga pemasaran yang diharapkan mampu menciptaan stabilitas pasar. Hasil analisa pemasaran menunjukan bahwa pada masing- masing lembaga pemasaran terlihat bahwa sebaran margin keuntungan dan margin biaya yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran berbeda-beda sesuai dengan fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing- masing lembaga pemasaran. Marjin terbesar terdapat pada saluran IV dan terkecil pada saluran III. Secara operasional dari empat pola saluran tataniaga yang ada saluran tataniaga I lebih efisien jika ditinjau dari penyebaran margin yang merata di setiap lembaga pemasaran yang terlibat dan dilihat dari penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya (Li/Ci ratio) pada masing- masing lembaga pemasaran tersebar merata, dengan demikian meratanya penyebaran (Li/Ci ratio) serta margin pemasaran secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien.

Petani di Kecamatan Pacet untuk meningkatkan efisensi dari pemasaran daun bawang sebaiknya melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengupayakan peningkatan efisiensi pemasaran di Kecamatan Pacet yaitu, adalah dengan meningkatkan pengembangan dalam pemasaran antar lembaga khususnya kerjasama ke pihak supermarket dengan menciptakan kekontinuitasan pasokan ke pedagang besar termasuk dari segi volume yang d ihasilkan, sehingga terjadi alur distribusi yang baik mulai dari produksi sampai pengiriman yang dilakukan ke pedagang besar, dan kemudian pedagang besar memberikan imbalan dengan harga yang lebih baik dibandingkan lembaga pemasaran lain di setiap saluran.


(4)

ANALISIS SISTEM TATANIAGA DAUN BAWANG

(Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

DHIMAS SATRIA SAKTI WIRA UTAMA H34076046

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk me mperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa barat) Nama : Dhimas Satria Sakti Wira Utama

NIM : H34076046

Disetujui, Pembimbing

Ir. Lukman M. Baga, MAEc

NIP. 19640220 198903 1001

Diketahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

NIP. 19580908 198403 1002


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Analisis Sistem Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: di Kecamatan Pacet, Kabupaten

Cianjur)” adalah karya sendiri dan belum dijukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Dhimas Satria Sakti W U H34076046


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Januari 1985. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H Warno dan Ibunda Eny Waliyah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pengadilan 1 Bogor pada tahun 1997 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP negeri 8 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 4 Bogor pada tahun 2003.

Penulis diterima di Program Studi Diploma Teknisi Usaha Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan diploma III tahun 2006 dan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi pada Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama masa perkuliahan, penulis merupakan anggota UKM Futsal IPB tahun 2004 – 2011.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada ALLAH SWT atas segala limpahan rahmat dan

hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripi yang berjudul ”Analisis

Sistem Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten

Cianjur, Jawa Barat).”

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi saluran tataniaga daun bawang yang ditelusuri dari daerah sentra produksi sayuran yaitu Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, dan mempelajari fungsi- fungsi pemasaran, struktur pasar yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan menganalisis marjin pemasaran pada setiap saluran pemasaran daun bawang dari tingkat produsen sampai konsumen.

Bogor, Februari 2011 Dhimas Satria Sakti W.U


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dan telah memberikan dukungan moril serta materi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain :

1. Ir. Lukman M. Baga, MAEc, selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, Msi, selaku dosen evaluator pada kolokium penulis yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan penelitian ini. 3. Ir. Popong Nurhayati, MM, selaku dosen penguji pada ujian sidang yang

telah meluangkan waktu dan memberikan k itik serta saran demi perbaikan skripi ini.

4. Tintin Sarianti, Sp, MM, selaku dosen penguji bidang akademik dalam ujian sidang.

5. Orangtua dan keluaraga tercinta (Ayah H.Warno, Bunda Eny Waliyah, Mas Iwan Kristiono dan Ade Briant Kertanegara) untuk setiap dukungan dan doa yang diberikan.

6. Kecamatan Pacet yang menawarkan keramahan lingkungan dan alam yang mempesona sehingga dapat membantu dalam proses penyelesaian skripsi. 7. Bpk Santoso pimpinan CV. Agro Segar dan keluarga Deni ”Sob” atas

segala informasi dan fasilitas yang diberikan dalam proses pengumpulan data.

8. Lybia Putri atas segala kesabaranya, dukungan dan motivasi serta kesetiaan yang selalu menemani dalam proses penelitian ini.

9. Teman-teman seperjuangan Agribisnis atas kebersamaan dan semangat serta saling berbagi selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih.

Bogor, Februari 2011 Dhimas Satria Sakti W.U


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Prospek Usaha Pertanian Daun Bawang di Indonesia ... 9

2.2. Hasil Penelitian Terdahulu... 10

III KERANGKA PEMIKIR AN... 15

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 15

3.1.1. Konsep Pemasaran ... 15

3.1.2. Sistem Tataniaga ... 16

3.1.3. Pasar ... 18

3.1.4. Lembaga Pemasaran dan Saluran Pemasaran ... 18

3.1.5. Fungsi- fungsi Pemasaran ... 21

3.1.6. Struktur Pasar ... 22

3.1.7. Perilaku Pasar... 24

3.1.8. Efisiensi Pemasaran ... 25

3.1.9. Marjin Pemasaran ... 25

3.1.10. Farmer’s Share ... 28

3.1.11. Rasio Keuntungan dan Biaya ... 28

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 29

IV METODE PEN ELITIAN ... 31

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 32

4.4. Metode Analisis Data... 33

4.4.1. Analisis Deskriptif ... 33

4.4.2. Analisis Saluran Tataniaga... 33

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar... 34

4.4.4. Analisis Marjin Pemasaran ... 34

4.4.5. Analisis Rasio Keuntngan dan Biaya... 35


(11)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 36

5.1. Gambaran Umum Kecamatan Pacet ... 36

5.2. Karakteristik Petani Responden ... 37

5.3. Karakteristik Pedagang Responden ... 40

5.4. Gambaran Usahatani Daun Bawang di Kecamatan Pacet ... 42

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

6.1. Sistem Tataniaga ... 43

6.2. Saluran Pemasaran ... 43

6.2.1. Saluran Pemasaran 1 ... 46

6.2.2. Saluran Pemasaran 2 ... 48

6.2.3. Saluran Pemasaran 3 ... 49

6.2.3. Saluran Pemasaran 4 ... 51

6.3. Fungsi- fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Pemasaran.... 51

6.3.1. Petani... 54

6.3.2. Pedagang Pengumpul ... 56

6.3.3. Sub Terminal Agribisnis (STA) ... 57

6.3.4. Pedagang Besar ... 59

6.3.5. Pedagang Pengecer ... 61

6.4. Struktur Pasar ... 64

6.4.1. Jumlah Penjual dan Pembeli serta Kebebasan Keluar Masuk Pasar ... 64

6.4.2. Sifat Produk Daun Bawang Kecamatan Pacet ... 66

6.4.3. Sumber Informasi... 67

6.4.4. Struktur Pasar yang Terjadi Pada Kelembagaan Pemasaran Daun Bawang di Kecamatan Pacet... 68

6.5. Perilaku Pasar... 70

6.5.1. Praktek Pembelian dan Penjualan ... 70

6.5.2. Sistem Penentuan Harga ... 71

6.5.4. Sistem Pembayaran ... 72

6.5.4. Kerjasama Antar Lembaga Pemasaran ... 73

6.6. Keragaan Pasar... 74

6.6.1. Analisis Margin Tataniaga ... 74

6.6.2. Farmer’s Share ... 76

6.6.3. Rasio Keuntungan dan Biaya ... 77

6.6.4. Efisiensi Pemasaran ... 81

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1. Kesimpulan ... 83

7.2. Saran... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produk Domestik Bruto Sayuran Tahun 2007-2008 ... 1

2. Data Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 2

3. Komoditas Unggulan Kabupaten Cianjur Tahun 2009 ... 3

4. Data Pengiriman Daun Bawang Tahun 2010 per Bulan (Ton) ... 4

5. Harga Rata-rata per Bulan Daun Bawang di Tingkat Konsumen (Lokal/kg) per kg ... 6

6. Rata-rata Harga Daun Bawang di Tingkat Petani, Kecamatan Pacet 2010 (Januari-Oktober) ... 6

7. Resume Hasil Penelitian Terdahulu ... 14

8. Lima Jenis Pasar Pada Sistem Pangan dan Serat ... 24

9. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria, Usia, Tingkat Pendidikan, Tingkat Penyebaran dan Luas Lahan Garapan di Kecamatan Pacet 2010 ... 38

10. Karakteristik Pedagang Responden Komoditas Daun Bawang ... 41

11. Fungsi- fungsi Pemasaran yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-lembaga Pemasaran Daun Bawang ... 53

12. Farmer’s Share Pada setiap Saluran Pemasaran yang Terdapat di Kecamatan Pacet ... 76

13. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Pemasaran yang Terdapat di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 78

14. Nilai Efisiensi Pemasaran pada Masaing- masing Pola Saluran Pemasaran Daun Bawang di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur (per kilogram)... 81


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Saluran Distribusi Produk Pada Sistem

Tataniaga Buah Pisang ... 17 2. Konsep Marjin Pemasaran ... 27 3. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Sistem Tataniaga

Daun Bawang ... 30 4. Skema Saluran Pemasaran Daun Bawang di Kecamatan Pacet,


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertania n yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, mengingat wilayah Indonseia yang sebagian besar beriklim tropis cocok untuk tanaman hortikultura. Tanaman hortikultura memiliki klasifikasi antara lain: sayur-mayur, buah-buahan dan tanaman hias. Hortikultura adalah salah satu sumber pertumbuhan baru pertanian yang sangat diharapkan peranannya dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional. Pengembangan hortikultura juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan diversifikasi produk pertanian yang pada akhirnya menambah pangsa pasar dan daya saing. Sehingga dapat lebih menguntungkan bagi para pelaku agribisnis skala kecil dan menengah, serta pelaku agribisnis pada umumnya yang tertuang dalam penerimaan per produk.

Pada Tabel 1 di bawah ini terdapat data Produk Domestik Bruto (PDB) untuk beberapa sektor yang menjadi faktor pendukung bagi laju pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk sektor pertanian yang menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi laju perumbuhan nasional.

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Nasional Tahun 2007-2008

Sektor 2007* (Rp) 2008** (Rp)

Pertanian/Agriculture 62.894.902 67.849.463

Tanaman bahan Makanan 45.560.402 47.231.785

Tanaman Perkebunan 3.900.333 4.338.444

Perternakan dan hasil-hasilnya 8.074.429 9.851.784

Kehutanan/Forestry 894.348 910.614

Perikanan/Fishery 4.465.389 5.516.837

Pertambangan dan Penggalian 13.009.847 14.453.535

Industri Pengolahan 236.628.972 270.551.853

Perdagangan,Hotel dan Restoran 100.691.124 115.139.072

Jasa 36.027.027 44.443.235

Sumber : BPS Ja wa Barat, 2010 Catatan : *) Angka diperbaiki *) Angka Se mentara

Berdasarkan hasil dari tabel satu terhadap sektor pertanian memiliki potensi untuk dikembangkan, yang pada akhirnya diharapkan komoditas pertanian khusunya hortikultura memilki kekuatan untuk memasuki pasar nasional maupun


(15)

internasional. Sayuran yang menjadi salah satu b agian dari komoditas hortikultura mempunyai peluang pasar yang baik.

Sayuran merupakan bagian dari penyedia kebutuhan konsumsi gizi bagi manusia. Kebutuhan terhadap sayuran juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan industri pengolahan, industri pariwisata dan restoran, serta pasar yang menginginkan jenis sayuran yang beragam dengan mutu yang baik. Perkembangan produksi sayuran dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Produksi Sayuran di Indonesia Dari Tahun 2005-2009 (Ton)

No Komoditi Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

1 Bawang merah 732.609 794.931 802.81 853.615 952.638

2 Kentang 1.009.619 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.174.068

3 Bawang Daun 501.437 571.268 479.924 547.743 524.72

4 Kubis 1.292.984 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.335.149

5 Wortel 440.002 391.371 35.017 367.111 352.963

6 Cabai 1.058.023 1.185.057 1.128.792 1.152.060 1.370.528

7 Tomat 647.02 629.744 635.475 725.973 829.927

8 Kembang kol 112.927 135.518 124.252 109.497 96.282

Total 5.794.621 5.987.545 5.498.740 6.151.244 6.638.284

Pertumbuhan(%) - 3 -8 12 8

Sumbe r : Badan Pusat Statistik dan Dire ktorat Jenderal Bina Produksi Hort ikutura, 2009

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa total produksi sayuran dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 12 persen, sedangkan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Penurunan tersebut terjadi untuk komoditas wortel, kembang kol dan bawang daun, penurunan tersebut di akibatkan oleh faktor cuaca yang cukup tinggi hingga mengakibatkan produksi menjadi rusak (BPS dan Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2009).

Daun bawang termasuk salah satu komoditas yang mengalami penurunan produksi cukup besar pada tahun 2009 yang mencapai 23.023 Ton, penurunan jumlah produksi daun bawang akan mempengaruhi ketersediaan pasokan daun bawang dipasar dan berimplikasi pada perubahan harga. Ketersediaan daun bawang yang berkurang dipasaran dan sementara permintaan kebutuhan daun bawang yang tetap stabil atau meningkat menyebakan harga daun bawang menjadi meningkat, untuk mengeliminasi hal-hal yang menyebabkan peningkatan


(16)

harga diperlukan kegiatan pemasaran yang efektif dan efisien sehingga penyaluran produk daun bawang dari produsen sampai konsumen dapat berjalan dengan seimbang, dengan alur distribusi produk yang berjalan seimbang dapat berdampak pada nilai harga yang stabil atau perubahan harga yang terjadi di pasar tidak naik atau turun secara signifikan.

Selama ini produksi sayuran untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri berasal dari beberapa sentra produksi sayuran yang tersebar di Jawa Barat. Salah satu daerah sentra produksi hortikultura sayuran di Jawa Barat adalah kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur sebagai kawasan yang dekat dengan ibu kota negara dalam penghasil produk komoditas hortikultura sangat dibutuhkan bagi beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi dan depok dalam hal pemenuhan sayuran dengan kuantitas dan kualitas yang baik. produk komoditi hortikultura lebih cepat masuk ke Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi dibandingkan ke daerah lain. Pada Tabel 3 terdapat perincian komoditas unggulan yang dihasilkan Kabupaten Cianjur tahun 2009.

Tabel 3. Komoditas Unggulan Kabupaten Cianjur Tahun 2009.

No. Komoditas Kecamatan Produksi

(Ton)

1 Padi Sawah Seluruh kecamatan kecuali Pacet dan

Sukanegara 599.732

2 Wortel Pacet dan Cugenang 87.115

3 Daun Bawang Pacet dan Cugenang 81.651

4 Sawi Pacet, Cugenang, dan Sukaresmi 46.426

5 Kubis Pacet, Cugenang, dan Campaka 32.390

6 Jagung Cibeber, Mande, Cugenang, Cikalong kulon 27.595

7 Cabe Pacet, Cugenang, dan Sukaresmi 27.285

8 Tomat Pacet, Cugenang, Wr.Kondang, dan Campaka 22.743

9 Kacang Tanah Sindang barang, Cidaun,Naringgul, dan

Agrabinta 10.513

10 Kedelai Ciranjang, Sukaluyu dan Bojong picung 7.224

11 Rambutan Cilaku, cikalongkulon dan cibeber 2.686

Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortiku ltura tahun 2010

Berdasarkan data komoditas unggulan yang dimiliki Kabupaten Cianjur didominasi tanaman sayuran. Salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur yang menjadi sentra sayuran adalah Kecamatan Pacet dengan kontribusi enam komoditas sayuran, Kecamatan Pacet memiliki komoditas utama yaitu wortel sebesar 87.115 Ton dan daun bawang 81.651 Ton.


(17)

1.2. Perumusan Masalah

Daun bawang sebagai salah satu komoditi sayuran memerlukan pemasaran yang cepat, karena daun bawang mudah rusak jika tidak disimpan pada tempat yang ideal. Pemasaran daun bawang yang lambat dapat menimbulkan produk mudah rusak dan busuk. Penanganan pasca panen daun bawang yang tidak baik juga akan menurunkan mutu produk itu sendiri yang berimplikasi terhadap penurunan harga. Disamping mempertahankan mutu ditingkat petani pada sistem pemasaran terdapat hal yang harus diperhatikan jika ingin mendapatkan hasil yang optimal yaitu, resiko yang ditimbulkan akibat biaya yang dikeluarkan.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap petugas dinas pasar yang terkait di sentra produksi Kecamatan Pacet, pemantauan terhadap jumlah pengiriman daun bawang dari Kecamatan Pacet disesuaikan dengan perkembangan permintaan daun bawang terhadap berbagai pasar yang menjadi tujuan pemasaran daun bawang. Pada Tabel 4 terdapat data yang menunjukan jumlah pengiriman daun bawang ke beberapa pasar di wilayah Jabotabek.

Tabel 4. Data Pengiriman Daun Bawang Tahun 2010 per Bulan (Ton)

No Bulan

Tujuan Pasar

PIKJ TU.

Bogor

Inpres Senen

Jembatan Lima dan Tanggerang

Swa layan dan Restoran

1 Januari 180,84 1,28 94,76 45,21 57,54

2 Februari 177,32 1,28 92,69 44,33 56,42

3 Maret 191,4 1,6 100,05 47,85 50,49

4 April 147,84 1,28 77,28 39,96 47,04

5 Mei 176,44 1,28 96,23 44,11 56,4

6 Juni 125,84 1,6 65,78 31,46 40,04

7 Juli 56,32 1,28 29,44 14,08 17,92

8 Agustus 68,64 1,6 35,88 17,16 21,84

9 September 46,2 1,28 24,15 11,55 14,77

10 Oktober* 11,4 0,32 5,98 2,86 3,64

Jumlah 1182,24 12,8 622,24 298,57 366,1

Presentase 47,6 0,5 25,1 12,03 14,8

Sumber : Sentra Produksi PIP Cipanas kabupaten Cianjur, 2010

Catatan : *) angka sementara

Berdasarken Tabel empat pemasaran daun bawang dilakukan ke pasar lokal dan juga ke Supermarket serta restoran guna memenuhi permintaan konsumen di berbagai wilayah. Jumlah daun bawang yang dikirim ke tiap pasar


(18)

yang paling besar adalah ke pasar induk kramat jati (PIKJ) dengan persentase sebesar 47,6 persen sedangkan jumlah pasokan yang terkecil yaitu pasar TU Bogor dengan persentase sebesar 0,5 persen.

Berdasarkan data pasar yang dituju, pasar tersebut akan mempengaruhi terhadap biaya serta penerimaan harga per kilogram daun bawang yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran yang terkait. Selain itu pasar juga dapat terpengaruh pada kondisi ketersediaan pasokan daun bawang di sentra Kecamatan Pacet jika mengalami kekosongan barang yang dapat mengakibatkan har ga menjadi naik atau tidak stabil bagi konsumen namun harga di tingkat petani belum tentu mengalami kenaikan.

Permasalahan alur distiribusi produk merupakan aspek yang mempengaruhi permintaan akan komoditi produk sayuran, memberikan peluang dan prospek bagi pasar komoditi sayuran, untuk itu diperlukan penanganan saluran pemasaran yang baik untuk menjamin produk terdistribusi dengan baik mulai dari petani sampai ke tingkat konsumen akhir. Proses saluran pemasaran sayuran mempunyai peranan penting terhadap produk sayuran yang memiliki ciri mudah rusak dan memerlukan banyak tempat serta perlakuan penyimpanan yang intensif (Asmarantaka, 2009).

Saluran pemasaran akan melibatkan beberapa lembaga pemasaran dan memberikan pengaruh terhadap lembaga pemasaran yang terlibat, lembaga pemasaran yang berperan diantaranya adalah petani, pedagang perantara dan pengecer. Lembaga pemasaran berfungsi sebagai penghubung yang akan menentukan mekanisme pasar dan membentuk pola saluran pemasaran.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden di wilayah Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Petani di Kecamatan Pacet sebagai produsen sekaligus pihak yang menerima harga. Dalam posisi tawar menawar sering tidak seimbang, petani dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang lebih dulu mengetahui harga, harga daun bawang tiap tahun mengalami kenaikan berdasarkan siklus musim kemarau dan hujan, artinya pada saat musim kemarau harga daun bawang relatif lebih murah dan mengalami kenaikan pada saat musim hujan. Pada Tabel 5 menunjukan perubahan harga yang terjadi setiap bulannya.


(19)

Tabel 5. Harga Rata-rata per Bulan Daun Bawang di Tingkat Konsumen (lokal/Kg)

Bulan Harga

April 3.960

Mei 3.798,7

Juni 4.740

Juli 5.795

Agustus 5.291

September 5.864,2

Oktober 6.142,5

Sumber : Sentra Produksi PIP Cipanas, 2010

Pada umumnya struktur pasar yang sering terjadi untuk komoditi pertanian dan sering dihadapi oleh petani adalah pasar persaingan sempurna, sehingga petani bertidak sebagai penerima harga (price taker). Tabel 6 adalah rata-rata harga di tingkat petani Kecamatan Pacet tahun 2010.

Tabel 6. Rata-rata Harga daun Bawang di Tingkat Petani Kecamatan Pacet Tahun 2010 (Januari – Oktober 2010)

Bulan Harga (Rp/Kg)

Januari 1.305

Februari 1.522,5

Maret 1.699

April 1.642,5

Mei 1.360

Juni 2.496

Juli 3.360

Agustus 3.293

September 3.692

Oktober 4.000

Sumber: Sentra Produksi PIP Cipanas, 2010

Untuk meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani perlu dikaji sistem pemasaran sayuran daun bawang yang efisien dan efektif dengan mengidentifikasi faktor- faktor pembentukan mekanisme pasar antar lain: pola saluran pemasaran, fungsi- fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, serta marjin pemasaran daun bawang sehingga dapat meminimalisasi permasalahan tersebut. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam pemasaran akan semakin banyak perlakuan yang diberikan dan semakin banyak pengambilan keuntungan oleh setiap lembaga pemasaran (Soekartawi, 2002).


(20)

Analisis efisiensi pemasaran pada pola saluran pemasaran daun bawang perlu dilakukan sehingga dapat diketahui saluran mana yang lebih efisien. Dan diharapkan dengan pola saluran pemasaran yang efisien dapat diketahui saluran pemasaran yang dapat mendatangkan manfaat bagi lembaga pemasarna yang terlibat dari saluran pemasaran yang efisien tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem tataniaga daun bawang di Kecamatan Pacet?

2. Apakah saluran pemasaran daun bawang di Kecamatan Pacet sudah efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi saluran tataniaga dan fungsi- fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga- lembaga tataniaga pada komoditas daun bawang di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.

2. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga disetiap jalur pemasaran daun bawang dengan mengidentifikasi struktur pasar yang terjadi pada setiap lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat, mulai dari tingkat produsen hingga pegecer.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Bahan acuan penelitian kedepan yang berkaitan dengan sistem tataniaga sayuran khususnya daun bawang.

2. Bagi petani dan lembaga pemasaran yang terlibat sebagai bahan informasi untuk melaksanakan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pemasaran daun bawang.

3. Bagi pemerintah setempat sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijakan untuk perbaikan sistem pemasaran sayuran khususnya daun bawang.

4. Bagi peneliti sebagai penerapan ilmu atau teori yang telah didapat selama masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat dan dapat memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut.


(21)

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Prospek Usaha Pertanian Daun Bawang di Indonesia

Daun bawang termasuk salah satu komoditi pertanian yang termasuk kedalam tanaman hortikultura sayuran, yang memilki potensi untuk ditingkatkan produksi dan kualitasnya sehingga usaha daun bawang tersebut dapat menghasilkan pemasukan pendapatan bagi masyarakat khususnya petani. Melihat potensi daun bawang yang menjadi sayuran populer dalam memenuhi permintaan kebutuhan masyarakat terhadap bahan makanan atau penyedap masakan ini, menyebabkan daun bawang layak dibudidayakan dan dikembangkan secara intensif untuk menghasilkan keuntungan dengan penerapan sistem agribisnis.

Di Indonesia pengembangan budidaya daun bawang telah meluas dan telah banyak diusahakan oleh petani, namun bentuk usahatani daun bawang pada umumnya masih bersifat usaha sampingan (sambilan), yaitu komoditi yang diusahakan oleh petani dari satu lahan banyak dikombinasikan dengan tanaman utama (tumpangsari). Pola tanam tumpangsari adalah teknik budidaya yang populer untuk menanam daun bawang, dan belum banyak petani-petani di Indonesia yang intensif mengembangkan budidaya daun bawang dalam satu lahan pertanian (Cahyono, 2006).

Daun bawang memilki potensi yang baik untuk dikembangkan karena daun bawang banyak memiliki manfaat dan merupakan komoditi sayuran populer yang digunakan untuk berbagai jenis bahan masakan. Komoditas daun bawang difavoritkan untuk menembus pasar ekspor, dan memberikan keuntungan yang besar bila diusahakan secara intensif serta berorientasi kearah sistem agribisnis. Daun bawang yang memilki potensi, menciptakan peluang bisnis yang cukup baik dan cerah mengingat komoditi ini banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan berkembangnya kenaikan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan terhadap konsumsi makanan, selain itu perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin gemar untuk menkonsumsi obat-obatan herbal, menciptakan peluang daun bawang yang saat ini banyak digunakan sebagai bahan masakan dan obat-obatan herbal yang megunakan bahan dasar daun bawang.


(22)

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan sistem tataniaga dari berbagai tanaman hortikultura dilihat berdasarkan konsep saluran dan lembaga pemasaran, fungsi, marjin pemasaran, farmer’s share dan struktur pasar. Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai kondisi tataniaga dari berbagai tanaman hortikultura.

Hasniah (2005) melakukan penelitian mengenai sistem dan efisiensi tataniaga komoditas pepaya sayur. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini adalah pola pemasaran yang dihadapi terdiri dari tiga buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 (petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, konsumen). Saluran tataniaga II (petani, pedaga ng pengumpul, pedagang pengecer, konsumen). Saluran tataniaga III (petani, pedagang pengecer, konsumen). Struktur pasar yang dihadapi petani pepaya sayur di Desa Sukamaju bersifat pasar pesaingan sempurna, ini disebabkan karena jumlah petani yang banyak dan petani bebas keluar masuk pasar, dan produknya homogen. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Sukamaju adalah oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi pedagang grosir adalah oligopoly. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna dimana harga yang berlaku berdasarkan mekanisme pasar dan pedagang pengecer t idak dapat mempengaruhi pasar. Selain itu pedagang pengecer bebas keluar masuk pasar. Analisis tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga III yang paling efisien

karena memiliki marjin tataniaga yang paling kecil, dan farmer’s share tertinggi

juga terdapat pada saluran tataniaga III. Selain itu, saluran tataniaga III juga menghasilkan keuntungan terbesar bagi petani.

Persamaan terhadap acuan penelitian tedahulu dengan penelitian yang akan dilakukan tentang daun bawang adalah bahwa Hasniah (2005) melakukan analisis terhadap pola saluran pemasaran yang terjadi dilokasi penelitian yang menghadapi III saluran pemasaran, dikaji dengan menggunakan marjin


(23)

pemasaran, farmer’s share dan bertujuan untuk menghitung keuntungan terbesar bagi petani terhadap salah satu saluran pemasaran yang lebih efisien. Hasniah (2005) melakukan kajian tehadap struktur pasar yang terjadi terhadap lembaga-lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran yang tejadi dilokasi penelitian.

Rachma (2008) melakukan penelitian tentang Efisiensi Tataniaga Cabai Merah, (studi kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat). Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga 1 (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer ke 2), saluran tataniaga Ii (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer 1 – pedagang pengecer 2), saluran tataniaga III (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer 2), saluran tataniaga IV (peda gang pengumpul – pedagang pengecer 1 – pedagang pengecer 2), dan saluran tataniaga V (pedagang pengumpul dan pedagang pengecer 1). Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani ke pedagang pengumpul. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan bahwa marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan marjin terkecil terdapat pada saluran I dan V. Struktur pasar yang terbentuk dalam tataniaga cabai merah adalah bersaing tidak sempurna, maka setelah dianalisis tidak ada keterpaduan. Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa system tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara komoditi daun bawang yang akan diteliti dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachma (2008). Persamaanya adalah penelitian yang dilakukan mengkaji tentang beberapa saluran pemasaran sehingga didapat satu pemasaran yang lebih efisien. Dan perbedaan terhadap peneltian yang akan dilakukan adalah penelusuran terhadap saluran pemasaran lembaga yang dikaji diawali dari pedagang pengumpul karena 100% hasil komoditi cabai merah dijual oleh petani melalui pedagang pengumpul, sedangkan terhadap kajian komoditi daun bawang yang akan dilakuk an di Kecamatan Pacet tidak semua hasil panen daun bawang dijual melalui pedagang pengumpul, terdapat beberapa petani yang menjual langsung ke pedagang pengecer.


(24)

Nurliah (2002) tentang: Analisis pendapatan usahatani dan pemasaran cabai merah keriting di Desa Sindangmekar, KecamatanWanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Saluran pemasaran cabai merah keriting berjumlah empat saluran. Saluran pemasaran ini melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Setiap lembaga pemasaran pada umumnya melaksanakan fungsi- fungsi pemasaran seperti fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa pengemasan dan pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa sortasi, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi pasar. Struktur pasar yang yang dihadapi oleh petani dan pedagang pengumpul mendekati oligopsoni, sedangkan pedagang grosir menghadapi struktur pasar yang mengarah ke bentuk pasar oligopoly dan struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah pasar persaingan monopolistik.

Beberapa penelitian sebelumnya tentang analisis sistem tataniaga tanaman hortikultura telah dilakukan dan menghasilkan saluran yang efisien untuk diterapkan ditingkat petani serta posisi tawar petani yang lemah bedampak pada pentingnya rujukan terhadap farmer’s share, dapat dilihat pada Tabel 8. Penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya dalam hal komoditi hortikultura di lokasi yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk perbandingan dengan lokasi dan komoditi yang lain. Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat dilihat bahwa penelitian tentang analisis sistem tataniaga daun bawang diharapkan dapat menjadi acuan untuk mengembangkan Kabupaten Cianjur khusunya Kecamatan Pacet.

Lestari (2006) melakukan penelitian tentang Analisis Tataniaga Bengkuang di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah. Pada saluran tataniaga bengkuang di Kecamatan Prembun melibatkan beberapa lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul, pedagang antar kota (PAK), pedagang grosir, pedagang pengecer pertama dan pengece r kedua. Terdapat enam saluran pemasaran bengkuang di Kecamatan Prembun dengan tujuan daerah pemasaran Yogyakarta, Klaten, Bandung dan Jakarta. Struktur pasar yang terbentuk adalah pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini dilihat dari jumlah pedagang yang ada tidak terlalu banyak dan diferensiasi produk tidak begitu


(25)

berpengaruh. Analisis marjin menunjukkan bahwa pada masing- masing lembaga pemasaran terlihat bahwa sebaran marjin keuntungan dan marjin biaya yang ditanggung oleh masing- masing lembaga pemasaran adalah berbeda sesuai dengan fungsi pemasaran yang telah dilakukan oleh masing- masing lembaga pemasaran. Fungsi- fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani bengkuang di Kecamatan Prembun berupa fungsi penjualan dan fungsi transportasi (pembiayaan, sortasi, dan grading). Marjin terbesar terdapat pada saluran pemasaran ke enam dan terkecil pada saluran pemasaran kedua. Secara operasional dari ke enam saluran yang ada saluran kedua merupakan saluran yang efisien. Hal ini dilihat dari marjin pemasaran yang dihasilkan rendah dan farmer’s sharenya tinggi.

Simamora (2007), meneliti tentang Analisis Sistem Tataniaga Pisang di Desa Suka Baru Buring, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saluran tata niaga pisang yang terjadi terdapat empat saluran tataniaga yaitu: saluran pertama (petani

– PPD – Grosir I – pedagang pengecer – konsumen), saluran kedua (petani – PPD

– Grosir II – pedagang pengecer – konsumen), saluran ketiga (petani – PPD – Grosir I – Grosir II – pedagang pengecer – konsumen), saluran keempat (petani – konsumen lokal). Struktur pasar pada petani, PPD dan pedagang pengecer adalah oligopsoni, sedangkan untuk grosir I dan pedagang grosir II adalah oligopoly. Dalam penentuan harga antara petani dan pedagang sebagian dilakukan tawar menawar dan sebagian lagi langsung ditentukan oleh pedagang terhadap petani karena ada ikatan hutang piutang. Berdasarkan nilai marjin pemasarannya maka jalur III adalah saluran yang mempunyai nilai marjin yang paling besar yaitu Rp 660 atau 66,36 persen dan marjin paling kecil terdapat pada saluran I yaitu sebesar Rp 607,78 atau 64,50 persen dan rasio keuntungan yang didapatkan pada jalur I merupakan yang paling besar yaitu Rp 339 dan berada pada tingkat pengecer. Berdasarkan analisis efisiensi pemasaran maka jalur I dikatakan lebih efisien dari jalur II dan III. Sedangkan keuntungan terbesat terjadi pada jalur pemasaran II sebesar Rp 374,91 atau 38,02 persen, dan pada jalur pemasaran III sebesar Rp 293,60 atau 26,52 persen dari harga jual pengecer.


(26)

Tabel 7. Resume Hasil Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul Hasil

1 Rach ma

M (2008)

Efisiensi Tatniaga Cabai Merah

Terdapat 5 jenis saluran tataniaga.

Le mbaga tataniaga yang

terlibat pedagang

pengumpul, pedagang

grosir, pedagang pengecer I, pedagang pengecer II

2 Sima mo ra,

S (2007)

Analisis Sistem Tataniaga Pisang di Desa Suka Baru

Buring, Keca matan

Penengahan, Kabupaten

La mpung Selatan, Propinsi La mpung.

Hasil penelit ian ini

menunjukkan bahwa

saluran tataniaga pisang yang terjadi terdapat empat

saluran tataniaga yaitu:

saluran pertama (petani –

PPD – Grosir I – pedagang

pengecer – konsumen),

saluran kedua (petani –

PPD – Grosir II –

pedagang pengecer –

konsumen), saluran ket iga

(petani – PPD – Grosir I –

Grosir II – pedagang

pengecer – konsumen),

saluran keempat (petani –

konsumen loka l).

3 Lestari

(2006)

Analisis Tataniaga

Bengkuang di Kecamatan

Pre mbun, Kabupaten

Kebumen, Propinsi Ja wa Tengah.

Terdapat enam saluran

pemasaran, Marjin terbesar

terdapat pada saluran

pemasaran ke ena m dan

terkecil pada saluran

pemasaran kedua. Secara operasional dari ke ena m saluran yang ada saluran kedua me rupakan saluran yang efisien. Hal ini dilihat

dari marjin pemasaran

yang dihasilkan rendah dan

farmer’s sharenya tinggi.

4 Hasniah

(2005)

Analisis Sistem dan

Efisiensi Tataniaga

Ko moditas Pepaya Sayur

(Kasus Desa Sukamaju,

Keca matan Megamendung,

Kabupaten Bogor, Jawa

Barat)

Terdapat 3 saluran

tataniaga.

Le mbaga tataniaga yang

terlibat me liputi petani,

pedagang pengumpul,

pedagang grosir, pedagang pengecer

5 Nurliah

(2002)

Analisis Pendapatan

Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di

Desa Sindangme kar,

Keca matan Wanaraja,

Kabupaten Garut, Ja wa

Barat.

Terdapat 4 saluran

tataniaga.

Le mbaga tataniaga

me liputi pedagang

pengumpul, pedagang

grosir dan pedagang


(27)

Beberapa penelitian sebelumnya tentang analisis sistem tataniaga telah banyak dilakukan dan menghasilkan saluran pemasaran yang efisien untuk diterapkan pada lokasi penelitian tersebut. Mengacu kepada tujuan yang diinginkan dari sebuah penelitian tentang analisis sistem tataniaga perbedaan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya adalah terletak pada lokasi dan objek komoditi yang akan diteliti dengan mengkaji secara keseluruhan sebuah sistem tataniaga pemasaran mulai dari produsen sampai konsumen akhir.


(28)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pe mikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Pe masaran

Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar adalah himpunan semua pelanggan potensial yang sama-sama mempunyai kebutuhan atau keinginan yang mungkin ingin dan mampu terlibat dalam pertukaran untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan (Kotler, 2002). Menurut Hammond dan Dahl (1977), pasar dalam pengertian ekonomi adalah ruang atau dimensi dimana kekuatan penawaran dan permintaan bekerja untuk menentukan dan merubah harga.

Definisi pemasaran secara sosial merupakan suatu proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Produk tersebut diciptakan untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan manusia, sehingga terjadi proses pertukaran untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia, sehingga terjadi proses pertukaran untuk mendapatkan produk yang diinginkan atau kebutuhan usaha dari tangan produsen ke tangan konsumen, sedangkan untuk definisi secara manajerial, pemasaran sering digambarkan sebagai seni menual produk atau pemasaran merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan, harga, promosi, dan penyaluran gagasan, barang, jasa, untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran-sasaran individu dan organisasi (Kotler, 2005).

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) pemasaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dalam proses mengalirkan barang dan jasa dari sentra produksi ke sentra konsumsi guna memenuhi kebutuhan dan memberikan keuntungan bagi produsen. Konsep ini menunjukan bahwa peranan pemasaran sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai guna bentuk, nilai guna waktu, nilai guna tempat dan nilai guna hak milik dari suatu barang dan jasa secara umum dan juga komoditas pertanian.


(29)

3.1.2. Sistem Tataniaga

Dahl dan Hammond (1977), menerangkan bahwa pemasaran atau tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakan produk mulai dari produsen utama hingga ke konsumen akhir.

Menurut Kohl dan Uhl (2002), mendefinisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua aktifitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai ke konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis system tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan (Purcell, 1977: Gonarsyah, 1996/1997: Kohl dan Uhl, 1990 dan 2002) dalam Agus Sutrisno (2010), yaitu :

1. Pendekatan Fungsi The Functional Approch: yang terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, resiko dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan : yang terdiri dari pedagang, perantara, pedagang spekulan, pengolah, dan organisasi yang memberikan fasilitas pemasaran. 3. Pendekatan Komoditas : pendekatan ini menekankan kepada apa yang

diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi sepanjang gap antara petani ”the original point of production” dengan konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini akan menggambarkan agar penanganan efisien. 4. Pendekatan sistem: pendekatan ini mempunyai arti menekankan kepada

seluruh sistem, efisien dan proses yang berlanjut membentuk suatu sis tem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisia keterkaitan yang kontinu diantara subsistem-subsistem (misalnya subsistem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi.

5. Pendekatan Analisa Permintaan dan harga, titik tolaknya adalah pendekatan analisis dari kegiatan ekonomi dibidang pemasaran antara petani dan konsumen. Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam- macam produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini merupakan kegiatan


(30)

produktif dalam sistem pemasaran karena menciptakan atau menambahkan nilai guna produk.

Tuntutan untuk mendeskripsikan tataniaga komoditas pertanian dengan lebih komprehensif (Dahl dan Hammond, 1977; dan Purcel, 1979 dalam Wagiono, 2009) bahwa sitem tataniaga merupakan bentuk sistem dan bukan hanya alur pemindahan produk yang hanya menunjukan panjang pendeknya saluran pemasaran yang lebih sering dikenal. Sistem tataniaga dideskripsikan sebagai kumpulan komponen kegiatan ekonomi yang saling terkait dan terkoordinasi yang dilakukan oleh individu- individu atau lembaga- lembaga yang ditujukan untuk melaksanakan dan memperlancar proses transaksi antara produsen dan konsumen melalui peningkatan ke gunaaan hak milik, kegunaan tempat, serta kegunaan waktu dan bentuk. Pada Gambar 1 adalah salah satu contoh model sistem tataniaga yang terjadi di masyarakat, dengan mengambil contoh komoditas buah pisang.

Gambar1. Skema Saluran Distribusi Produk Pada Sistem Tataniaga Buah Pisang(Wagiono, 2009)

Pedagang Pengecer dalam kota

Petani

Pedagang pengumpul Sub Terminal

Agribisnis (STA)

Bandar Pedagang Grosir

Konsumen Pedagang Pengecer

Konsumen Pedagang Pengecer Desa


(31)

Berdasarkan Gambar 1 terdapat saluran pemasaran yang melibatkan STA untuk menjadi salah satu lembaga pemasaran yang terkait dalam sistem tataniaga buah pisang. Model STA pada Gambar 1 merupakan buah pemikiran atau rintisan dari Departemen Pertanian yang bertujuan untuk menemukan sistem tataniaga yang ideal untuk pelaku usaha yang bergerak dalam bidang komoditas agribisnis.

Dalam impelementasinya model STA ini belum sesuai dengan rencana, karena jumlah penawaran kurang cukup secara ekonomik dan kualitas produk belum homogen. Mengenai berapa besar penawaran yang tersedia untuk memasok produk dapat dijadikan topik penelitian bagi mahasiswa Agribisnis (Wagiono, 2009) dalam bunga rampai. Kegiatan sortasi, grading, dan pengepakan seluruhnya dapat dilakukan di STA, yang selanjutnya dikirim ke Terminal Agribinis (TA) atau pasar.

3.1.3 Pasar

Pasar adalah arena (tempat) mengorganisir beserta fasilitas dari aktifitas bisnis untuk menjawab pertanyaan ekonomi pasar: apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, berapa banyak diproduksi dan bagaimana mendistribusikan hasil yang di produksi (Kohl dan Uhls, 2002) dengan demikian pasar dapat didefinisikan sebagai (1) lokasi, (2) produk, (3) waktu dan, (4) tingkat pasar.

Menurut Hammond dan Dahl (1977), pasar dalam pengertian ekonomi adalah ruang atau dimensi dimana kekuatan penawaran dan permintaan bekerja untuk menentukan atau mengubah harga. Pasar merupakan himpunan semua pelanggan yang sama-sama mempunyai kebutuhan atau keinginan yang mungkin ingin dan mampu terlihat dalam pertukaran untuk memutuskan kebutuhan atau keinginan (Kotler,1993).

Pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual-beli atau suatu keadaan terbentuknya suatu harga dan terjadinya perpindahan hak milik tertentu (Limbong dan Sitorus, 1987).

3.1.4 Lembaga Pemasaran dan Saluran Pe masaran

Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan badan usaha dengan badan


(32)

usaha lain. Lembaga pemasaran ini timbul karena ada keinginan konsumen untuk komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen (Sudiyono, 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), lembaga pemasaran adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Setiap pelaku pemasaran akan memperoleh keuntungan yang berbeda dalam proses pemasaran.

Lembaga pemasaran dalam menyampaikan komoditi pertanian dari produsen berhubungan satu sama lain yang membentuk jaringan pemasaran. Pola-pola pemasaran yang terbentuk selama pergerakan arus komoditi pertanian dari petani produsen ke konsumen akhir ini disebut sistem pemasaran.

Menurut Kotler (2002), saluran pemasaran adalah serangkaian lembaga yang melakukan fungsi yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status kepemilikian dari produsen ke konsumen. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan barang-barang dan sering melakukan sebagian kegiatan pemasaran, sementara itu pedagang menyalurkan komoditas dalam waktu tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen. Hal ini berarti bahwa saluran pemasaran yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing-masing lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran tersebut.

Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga- lembaga pemasaran tersebut berada dalam suatu saluran distribusi pemasaran. Saluran distribusi pemasaran merupakan saluran yang digunakan oleh produsen untuk menggerakan dan menyalurkan produknya kepada konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1987). Saluran pemasaran yang terjadi dapat dibedakan menjadi empat tingkatan, yaitu:

1.Saluran tingkat nol, yaitu produsen langsung menjual produknya ke konsumen akhir.

2. Saluran setingkat, yaitu hanya terdapat satu lembaga pemasaran yang terlibat yaitu pengecer.

3. Saluran dua tingkat, dimana terdapat dua lembaga pemasaran yang te rlibat dalam proses pemasaran yaitu grosir dan pengecer.


(33)

4. Saluran tiaga tingkat, dimana terdapat tiga lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran yaitu grosir, distributor, dan pengecer.

Proses penyaluran produk sampai ke tangan konsumen dapat menggunakan saluran yang panjang atau pendek, sesuai dengan kebijaksanaan saluran distribusi yang ingin dilaksanakan produsen (Assauri, 2002) dalam Sihombing (2010), Mata rantai distribusi menurut bentuknya dibagi menjadi dua yaitu distribusi langsung dan distribusi tidak langsung. Distribusi langsung yaitu produsen menjual langsung produknya kepada konsumen tanpa ada perantara. Sedangkan distribusi tidak langsung produsen di dalamnya menjual produk melalui perantara seperti pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer.

Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengangkutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian komoditi pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai yang kecil (bulky), dan tidak tahan lama. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan tersedia secara kontinu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya. Beberapa faktor yang harus pertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987) yaitu :

1.Pertimbangan Pasar : siapa konsumen, rumah tangga atau industri besarnya potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa jumlah pesanan dan bagaiman kebiasaan konsumen dalam membeli.

2.Pertimbangan barang : berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan berat barang ( mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berupa barang standar atau pesanan) dan bagaimana luas produk perusahaan yang bersangkutan.

3.Pertimbangan dari segi perusahaan : sumber modal, kemampuan dan pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan penjual.


(34)

4.Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi pelayanan yang dapat diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan produsen, volume penjualan dan pertimbangan biaya.

Menurut Saefuddin dan Hanafiah (1983) panjang saluran pemasaran tergantung pada :

1.Jarak antara produsen dan konsumen

Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen maka semakin panjang pula saluran tataniaga yang terjadi.

2.Skala Produksi

Semakin besar skala produksi, saluran yang terjadi cenderung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyaluranya.

3.Cepat tidaknya produksi rusak

Produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang pendek karena harus segera di terima konsumen.

4.Posisi keuangan Pengusaha

Pedagang dengan posisi keuangan yang kuat cenderung dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran pemasaran.

Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima setiap lembaga yang terlibat.

3.1.5 Fungsi-Fungsi Pemasaran

Fungsi- fungsi pemasaran dapat dikelompokan atas tiga fungsi antara lain: 1.Fungsi Pertukaran merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan

hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan.

2.Fungsi Fisik merupakan semua kegiatan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa sehingga proses tersebut menimbulkan kegunaan bentuk, tempat dan waktu. Kegiatan yang termasuk dalam fungsi ini yaitu: fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, fungsi pengemasan, dan fungsi pengangkutan.


(35)

3.Fungsi Fasilitas merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar proses terjadinya pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas meliputi: fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar.

Selain ketiga fungsi di atas, diperlukan juga jasa pendukung lain seperti jasa transportasi dan jasa pengolahan pasca panen seperti pembersihan, penyimpanan, dan pemeliharaan.

3.1.6 Struktur Pasar

Struktur pasar sangat diperlukan dan banyak digunakan dalam

menganalisis sistem pemasaran. Hal ini disebabkan karena melalui analisis pasar secara otomatis akan menjelaskan bagaimana perilaku pasar dan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari karakteristik dan perilaku pasar yang ada di dalam system pemasaran.

Struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya jumlah perusahaan di pasar atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey and Courant et all, 1978).

Struktur pasar menjelaskan lingkungan persaingan dalam pasar untuk setiap barang atau jasa, dimana sebuah pasar terdiri atas semua perusahaan dan individu yang rela dan mampu membeli atau menjual suatu produk tertentu (Papas dan Hirschey, 1995).

Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik industri yang penting yaitu jumlah dan industri ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para pendatang potensial, tingkat diferensiasl produk, jumlah dan biaya informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar. Pengaruh strutur pasar diukur dalam bentuk harga yang dibayar oleh konsumen, ketersediaan dan mutu keluaran, ketenagakerjaan dan kesempatan kemajuan karier, dan laju inovasi produk, diantara faktor-faktor lainnya (Papas dan Hirschey, 1995).

Menurut Hammond dan Dahl (1977), ada empat faktor yang menentukan karakteristik dari suatu struktur pasar yaitu: jumlah dan ukuran perusahaan, sifat produk, kemudahan untuk keluar dan masuk pasar, dan informasi harga, biaya


(36)

serta kondisi pasar yang dihadapi pelaku pasar. Berdasarkan bentuk dan sifatnya, pasar diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu pasar persaingan sempuirna (murni) dan pasar tidak bersaing sempurna (monopoli).

Pasar persaingan sempurna adalah pasar dengan sejumlah pembeli dan penjual untuk sebuah produk yang pada dasarnya sama, dimana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga pasar produk tersebut. Para pembeli dan penjual individual adalah pengambil harga (price taker) yang berarti bahwa perusahaan mengambil harga pasar sebagai sesuatu yang tidak dapat dirubah dan merancang strategi produk mereka sesuai dengan harga tersebut. Informasi permintaan dan penawaran yang bebas dan lengkap tersedia dalam pasar yang bersaingsempurna, serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti (Papas dan Hirschey, 1995).

Pasar bersaing tidak sempurna adalah struktur pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat dideferensiasi. Perusahaan monopoli itu adalah perusahaan itu sendiri dan tidak menghadapi persaingan yang efektif dan memungkinkan perusahaan monopoli itu menentukan harga dan keluaran secara bersamaan untuk perusahaan. Hambatan masuk atau keluar yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi (Papas dan Hirschey, 1995).

Kotler (2002), mengklasifikasikan pasar menjadi dua macam berdasarkan sifat dan bentuknya yaitu struktur pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak sempurna . Suatu pasar dapat digolongkan ke dalam pasar bersaing sempurna jika memenuhi cirri-ciri antara lain: terdapat banyak jumlah pembeli maupun penjual, pembeli dan penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang atau jasa yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi pasar (penjual dan pembeli berperan sebagai price taker), barang adan jasa yang dipasarkan bersifat homogen, serta penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar, sehingga informasi mudah diperoleh.

Pasar bersaing tidak sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pembeli dan sisi penjual. Pasar yang dilihat dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni, oligopoly, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan monopolistic, pasar monopoli, oligopoli, duopoli dan sebagainya..


(37)

Pasar persaingan murni adalah pasar yang memiliki banyak penjual dan pembeli dan produk yang diperjualbelikan bersifat homogen. Apabila jumlah penjual dan pembelinya satu dan sifat produknya unik, maka struktur pasar yang berlaku adalah monopoli jika dilihat dari sudut penjual, sedangkan jika dilihat dari sudut pembeli bersifat monopsoni. Karakteristik masing- masing pasar dapat dilihat pada Tabel 8.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi struktur pasar adalah dapat dilihat dari pengetahuan yang diperlukan untuk memasuki pasar, modal yang dibutuhkan, dan market share yang diperoleh masing- masing lembaga pemasaran yang terlibat.

Tabel 8. Lima Jenis Pasar Pada Sistem Pangan dan Serat. No

Karakteristik Struktur Pasar Produk Jumlah

Perusahaan Sifat Produk Dari Sudut Penjual

Dari Sudut Pembeli

1 Banyak Standar/

Homogen Persaingan Murni

Persaingan Murni 2 Banyak Diferensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopolistik 3 Sedikit Standar Oligopoli Murni Oligopsoni

Murni 4 Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi

5 Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Hammond dan Dahl, 1977

3.1.7 Perilaku Pasar

Perilaku pasar merupakan saluran tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar tempat lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Perilaku suatu pelaku pasar dapat dilihat pada saat beroperasi, misalnya pada saat penentuan harga, lokasi, promosi, penjualan, pembelian, dan strategi pemasaran. Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya dan marjin pemasaran, serta jumlah komoditi yang diperdagangkan (Hammond dan Dahl, 1977).

Menurut Hammond dan dahl (1977), keragaan pasar adalah akibat dari struktur dan perilaku pasar yang dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan dengan


(38)

harga, biaya, dan volume produksi. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:

1.Harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen. 2.Marjin pasar dan penyebarannya pada setiap pelaku pasar.

3.1.8 Efisiensi Pemasaran

Pemasaran yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran, yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga- lembaga pemasaran (Limbong dan Sitorus, 1987).

Kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan dapat ditingkatkan, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan adanya kompetisi pasar yang sehat (Soekarta wi, 2002). Efisiensi pemasaran dapat diukur melalui efisiensi berupa persentase harga yang diterima oleh petani (farmer’s share) terhadap harga kepada konsumen. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran yang berarti tingginya marjin pemasaran akan mengakibatkan kecilnya persentase bagian yang diterima petani.

Efisiensi pemasaran terbagi menjadi dua kategori yaitu efisiensi operasional (teknologi) dan efisiensi harga (ekonomi). Efisiensi operasional meliputi efisiensi dalam pengolahan, pengemasan, pengangkutan dan fungsi lain dari system pemasaran. Dengan adanya efisiensi operasional, biaya akan lebih rendan dan output dari barang atau jasa tidak berubah atau bahkan meningkat kualitasnya. Efisiensi harga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, dan aspek harga. Untuk mencapai efisiensi harga harus memperhatikan jumlah produsen yang ada di pasar, kemampuan dari produsen baru untuk memasuki pasar dan kemungkinan terjadinya kolusi antar produsen.

3.1.9. Marjin Pemasaran

Marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang didapat konsumen dengan harga yang diterima produsen, yang terdiri dari biaya dan keuntungan pemasaran.


(39)

Marjin pemasaran pada umumnya dianalisis pada komoditi yang sama, jumlah yang sama dan pada pasar persaingan sempurna (Limbong dan Sitorus, 1987). Nilai marjin pemasaran merupakan perkalian dari perbedaan harga yang diterima produsen dan harga yang dibayar oleh konsumen dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besar nilai marjin tataniaga ini dinyatakan dalam (Pr - Pf ) x Qr,f .

Besaran Pr - Pf menunjukkan besarnya marjin tataniaga yang sering digunakan

kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum.

Biaya pemasaran mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan penjualan hasil produksi dan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses tataniaga, maka semakin besar perbedaan harga prouk tersebut di tingkat produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Secara matematika dapat dirumuskan sebagai berikut:

Mi = Psi - Pbi

Dimana:

Mi = Marjin pemasaran pada lembaga pemasaran tingkat ke-i

Psi = harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke- i

Pbi = harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke-i

Marjin pemasaran terdiri dari dua komponen, yaitu: biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyampaian komoditas mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Sedangkan keuntungan pemasaran adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan biaya yang dikeluarkan (Limbong dan Sitorus, 1987).

Mi = Ci + π

Dimana:

Mi = Marjin Pemasaran

Ci = Biaya lembaga pemasaran tingkatke-I

π = Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-I

Besarnya marjin pemasaran pada suatu saluran pemasaran dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dari marjin pada masing- masing lembaga pemasaran yang terlibat.


(40)

P (Harga) Sr

Pr Sf

Marjin Pemasaran Nilai Marjin = (Pr-Pf) Qrf

(Pr -Pf ) Pf

Dr Df

O Qr,f

Q (Jumlah)

Gambar 2. Konsep Marjin Pemasaran (Hammond dan Dahl, 1977) Keterangan:

Pr : Harga di Tingkat Pedagang Pengecer Pf : Harga di Tingkat Petani

Sr : Supply di tingkat pengecer (derived supply) Sf : Supply di tingkat petani

Dr : Demand di tingkat pengecer (derived demand) Df : Demand di tingkat petani (primary demand) Qrf : Jumlah Produk di Tingkat Petani dan Pengecer

Dari Gambar 2 dapat dilihat besarnya nilai margin Tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Semakin besar perbedaan harga antara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, terutama antara harga yang terjadi di tingkat eceran dengan harga yang diterima petani, maka semakin besar pula margin tataniaga dari komoditi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan banyak lembaga tataniaga yang terlibat mengakibatkan biaya tataniaga meningkat akan diikuti peningkatan pengambilan keuntungan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat

Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi


(41)

kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola setiap lembaga tataniaga yang terlibat.

Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain- lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

3.1.10. Farmer’s Share

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin pemasaran bukanlah satu-satunya indikator yang menentukan efisiensi pemasaran suatu komoditas. Salah satu indikator lain adalah dengan membandingkan harga yang dibayar oleh konsumen akhir atau biasa disebut farmer’s share dan sering dinyatakan dalam persen. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran sehingga semakin tinggi marjin pemasaran maka bagian yang diperoleh petani semakin rendah. Secara sistematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut:

Fsi = x 100% Dimana:

Fsi : Persentase yang diterima petani

Pf :Harga di tingkat atau yang diterima petani

Pr : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir 3.1.11. Rasio Keuntungan dan Biaya

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya dengan demikian, meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya dan marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran, maka secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing- masing lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio keuntungan biaya =

Di mana:

Li = Keuntungan lembaga pemasaran ke- i


(42)

3.2. Kerangka Pe mikiran Operasional

Sistem pemasaran yang ada pada suatu pasar terbentuk dengan adanya beberapa lembaga pemasaran yang terlibat. Diantara lembaga pemasaran pada sistem pemasaran tersebut dapat terbentuk adanya perbedaan harga yang cukup besar di tingkat petani dan harga di tingkat pedagang pengecer, dimana antara petani dan pedagang pengecer terdapat lembaga pemasaran yang terlibat.

Suatu sistem pemasaran daun bawang di daerah yang satu akan berbeda dengan daerah lainnya. Sistem pemasaran merupakan kumpulan tahapan kegiatan ekonomi yang nyata untuk sesuatu atau semua komoditi sepanjang rangkaian kesatuan dari produsen ke konsumen. Petani sebagai produsen daun bawang menyalurkan hasil panennya kepada lembaga-lembaga pemasaran yang menerima daun bawang langsung maupun supplier, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Kecamatan Pacet sebagai salah satu penghasil sayuran dan daun bawang salah satunya, menarik untuk ditelusuri bagaimana sistem tataniaga yang terjadi pada lokasi atau sentra produksi daun bawang. Bagaimana alur distribusi daun bawang mulai dari produsen samapi dengan konsumen akhir dan melibatkan lembaga tataniaga mana saja yang terkait.

Dengan mengkaji serta menganalisis lembaga- lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap saluran pemasaran yang terjadi di Kecamatan Pacet diharapkan tercapai satu hasil atau rekomendasi pola saluran yang paling efisien masing- masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga daun bawang di Kecamatan Pacet. Pola pemasaran yang efisien diharapkan mampu menghasilkan solusi yang baik untuk masing- masing lembaga tataniaga yang

terlibat dengan harapan menghasilkan ”win-win solution” bagi setiap pihak yang terlibat dalam alur distribusi produk daun bawang di Kecamatan Pacet.

Penelitian mengenai pemasaran dan tataniaga daun bawang dilakukan dengan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi bagaimana lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar mulai dari petani sampai dengan pedagang pengecer, sedangkan analisis kuantitatif yang dilihat adalah bagaimana efisiensi pemasaran daun bawang jika dilihat dari analisis marjin


(43)

pemasaran untuk mengetahui perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran yang terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran, untuk mengetahui perolehan petani digunakan analisis farmer’s share dengan membandingkan harga yang dibayarkan konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Analisis rasio keuntungan dan biaya untuk mengetahui merata tidaknya penyebaran rasio keuntungan dan biaya di setiap lembaga pemasaran.

Hasil dari analisis tersebut adalah rekomendasi saluran pemasaran yang efisien sehingga saluran pemasaran yang efisien tersebut dapat mendatangkan manfat atau ”win-win solution” bagi masing- masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam system tataniaga daun bawang di Kecamatan Pacet. Pada Gambar 3 terdapat penjelasan mengenai kerangka berpikir penelitian.

Rekomendasi Alternatif Saluran Pemasaran yang Efisien

- Terjadi perbedaan yang besar antara harga daun bawang di tingkat produsen dan konsumen.

- Perbedaan terkadang menyebabkan perbedaan tingkat efisiensi.

Bagaimana Sistem Tataniaga Daun Bawang di Kecamatan Pacet. Apakah sistem tataniaga yang digunakan efisen atau tidak efisien bagi petani

AnalisisSistem Efisiensi Tataniaga

Analisis Kualitatif :

1. Saluran dan Lembaga pemasaran

2. Fungsi Pemasaran 3. Struktur pasar 4. Perilaku pasar

Analisis kuantitatif : 1. Marjin Pemasaran 2. Farmer’Share

3. Rasio Keuntungan dan Biaya


(44)

Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Sistem Tataniaga Daun Bawang.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra penghasil daun bawang di Kabupaten Cianjur dengan jumlah produksi sebesar 81.650 Ton. Kecamatan Pacet selain daerah sentra produksi daun bawang juga merupakan sentra produksi sayuran lain diantaranya, wortel sawi dan kubis. Daun bawang sendiri di tahun 2009 menempati produksi terbesar kedua setelah wortel khususnya di Kecamatan Pacet. Pengambilan daun bawang sebagai sampel komoditas untuk penelitian juga dipertimbangkan dengan melihat harga yang terjadi pada komoditas tersebut. Harga yang terjadi pada selang wakt u penelitian untuk komoditas daun bawang sedang mengalami peningkatan harga yang terjadi di pasaran, dengan peningkatan harga yang terjadi di pasar sangat menguntungkan bagi pelaku usaha daun bawang di Kecamatan Pacet. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2010.

4.2. Jenis dan Sumbe r Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya kepada petani responden dan pedagang responden. Petani responden ini adalah petani daun bawang di Kecamatan Pacet yang minimal pernah menanam daun bawang satu kali musim tanam, untuk umur budidaya daun bawang yaitu berkisar 75 hari. Pedagang responden adalah pedagang yang terlibat dalam penjualan dan pembelian serta alur distribusi produk daun bawang yang berasal dari Kecamatan Pacet. Selain itu dilakukan juga pengamatan langsung terhadap kegiatan pemasaran yang terjadi dan penelusuran saluran pemasaran atau lembaga- lembaga pemasaran dari mulai petani, pedagang pengumpul sampai dengan pedagang pengecer dan konsumen akhir.


(45)

Data sekunder diperoleh dari internet, hasil penelitian-penelitian terdahulu dan literatur pada berbagai lembaga atau instansi terkait, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Cia njur, Direktorat Bina Produksi Hortikultura, Kecamatan Pacet dan sumber lain yang relevan. Data-data yang digunakan adalah data harga yang terjadi disetiap lembaga pemasaran, data biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran, data produksi daun bawang di Kecamatan Pacet, jumlah petani dan pedagang responden yang informasinya berasal dari kantor Kecamatan Pacet dan CV. Agro Segar, serta data-data yang mendukung untuk penelitian.

4.3. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data primer dilakukan me lalui wawancara dengan panduan kuisioner dengan para responden. Pengambilan petani responden dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling) terhadap petani yang membudidayakan daun bawang di Kecamatan Pacet dan mengambil sampel sebanyak 20 orang. Pengambilan sampel 20 orang adalah mengacu kepada sumber informasi berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai di Kecamatan Pacet yang menyebutkan daerah-daerah yang menjadi penghasil daun bawang, dari informasi tersebut dilakukan penelusuran ke daerah lokasi petani penanam daun bawang, kemudian dilakukan pengambilan sampel menggunakan metode kuisioner.

Karakteristik petani di kecamatan Pacet tergolong homogen, yaitu pengambilan responden 20 petani mempertimbangkan dengan pola pemasaran yang sama yaitu setiap petani daun bawang rata-rata melakukan pola pemasaran yang sama untuk komoditas daun bawang. Disamping itu saluran tataniaga yang digunakan pun sama yaitu dari petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen. Berdasarkan karakteristik tersebut, pengamb ilan sampel sebanyak 20 responden didasarkan pada sumber informasi yang didapat dari Kecamatan Pacet, bahwa terdapat tiga dari tujuh desa yang berada di Kecamatan pacet yang petaninya banyak menanam daun bawang yaitu Desa Ciherang, Sukatani dan Desa Ciputri, dari tiga desa tersebut kemudian dilakukan pengambilan responden petani untuk masing- masing desa diantaranya, 10 petani di wilayah Desa Ciherang, 5 petani di Desa Ciputri dan 5 petani di Desa Sukatani. Maka


(46)

pengambilan jumlah petani responden sebanyak 20 telah dianggap mewakili jumlah petani daun bawang yang ada di Kecamatan Pacet. Selain itu karakteristik petani daun bawang dapat dikatakn homogen dilihat dari segi produk yang dihasilkan dan teknik budidaya penanaman serta pola pemasarannya.

Penentuan responden untuk lembaga pemasaran daun bawang didapat melalui metode Snow Ball Sampling yaitu dengan cara mengikuti alur pemasaran hingga produk sampai ke konsumen dengan menelusuri saluran pemasaran daun bawang di daerah penelitian berdasarkan informasi ya ng diperoleh dari pelaku pasar yaitu mulai dari tingkat petani sampai pedagang pengecer. Jumlah pedagang yang dijadikan responden terdiri dari enam orang pedagang pengumpul kebun yang berlokasi di Kecamatan Pacet, pedagang besar berjumlah lima orang masing- masing dua pedagang besar yang berwilayah di STA dan tiga pedagang besar yang berwilayah di Kecamatan Pacet, serta lima pedagang pengecer yang berlokasi masing- masing di pasar Cipanas, pasar TU Bogor, Pasar Induk Jakarta, Tangerang, Pasar Senen. Selain pasar lokal pedagang kecamatan Pacet juga menjual ke Supermarket dan Restoran di Jakarta.

4.4. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskritif dan dilengkapi oleh data kuantitaf yang berasal dari analisis Margin Pemasaran dan L/C ratio untuk menghitung keuntungan di tiap saluran pemasaran serta Farmer’s share.

4.4.1. Analisis Deskriptif

Metode analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif kondisi pemasaran daun bawang. Selanjutnya pendeskripsian kondisi ini juga disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

4.4.2. Analisis Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga daun bawang diamati mulai dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya sampai ke konsumen akhir. Jalur tataniaga tersebut akan menggambarkan peta saluran tataniaga. Semakin panjang saluran tataniaga, maka marjin tataniaga yang terjadi antara produsen dan konsumen akan se makin tinggi.


(1)

Lampiran 3. Biaya Pemasaran Daun Bawang yang dikeluarka Setiap Lembaga Pemasaran Pada Saluran 3 (Lanjutan)

Biaya Pemasaran Rp300/kg*

a) Lokal

• Biaya pengangkutan 50.000

• Biaya pengemasan 3.000

• Retribusi 5.000

• Penyusutan1 kg 6.000

Total Biaya (300kg) 64.000

Biaya/kg 213

Pedagang pengecer

• Retribusi 10.000

• Penyusutan1 kg 7.000

Total Biaya (300kg) 17.000

Biaya/kg 57

Total Biaya pemasaran 270

Ket : Volu me 300 kg berdasarkan rata-rata pengiriman petani yang me masarkan daun bawang langsung ke pengecer.


(2)

Lampiran 3. Biaya Pemasaran Daun Bawang yang dikeluarkan Setiap Lembaga Pemasaran Pada Saluran 4 (Lanjutan)

Biaya pemasaran Rp/3.100kg*

Pedagang Pengumpul Kebun (PPK)

• Biaya tenaga kerja 30.000

• Biaya pengangkutan 150.000

• Biaya pengemasan 10.000

Total biaya (517 kg) 190.000

Biaya/kg 368

Pedagang besar

a) Sortir

• Biaya tenaga kerja 50.000

• Biaya pengangkutan 150.000

• Biaya Sortir 15.000

• Biaya pengemasan 9.000

• Bongkar muat 30.000

• Retribusi 50.000

• Penyusutan2 kg 18.000

Total Biaya (800kg) 322.000

Biaya/kg 403

b) Tanpa Sortir

• Biaya tenaga kerja 50.000

• Biaya pengangkutan 150.000

• Biaya pengemasan 10.000

• Bongkar muat 10.000

• Retribusi 50.000

• Penyusutan2 kg 10.000

Total Biaya (2.300kg) 280.000

Biaya/kg 122

Pedagang pengecer

a) Lokal

• Retribusi 40.000

Total Biaya (2.300kg) 40.000

Biaya/kg 17,4

Total biaya pemasaran 909,1

Ket : Vo lu me 3.100 kg berdasarkan pengiriman yang dila kukan pedagang besar ke pedagang pengecer


(3)

Lampiran 4. Petani Responden di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Tahun 2010

No Nama Petani

Responden

Umur

(Tahun) Pendidikan

Luas Lahan (Ha) Pengalaman (Tahun) Status Kepemilikan Lahan Volume Penjualan (kg) Saluran

1 Mus 42 SD 0,6 ≥ 10 Sewa 500 PPK & Langsung

2 Wardoyo 50 Tidak sekolah 0,36 ≥ 10 Sewa 350 PPK

3 Atang 70 Tidak sekolah 0,8 ≥ 10 Sewa 700 PPK

4 Sana 46 SMP 1,8 3 Sewa 2.000 PPK

5 Asep Maliki 48 SD 1,5 ≥ 10 Milik sendiri 1.500 PPK & P.Besar

6 Asep Kardi 32 SMA 2 5 Sewa & milik sendiri 2.000 PPK & P.Besar

7 Han Jaya 52 SD 1 ≥ 10 Sewa 1.500 PPK

8 Edi 43 SMP 1 ≥ 10 Sewa 1.300 PPK & Langsung

9 Jajang 36 SMA 1 5 Milik sendiri 1.300 PPK & Langsung

10 Jumaidi 42 SD 1,5 ≥ 10 Sewa 1.500 P.Besar & Langsung

11 Ace Saefullah 36 SMP 1,5 ≥ 10 Sewa & milik sendiri 1.500 P.Besar & Langsung

12 Udin 41 SD 1 ≥ 10 Sewa 1.300 P.Besar & Langsung

13 Hilman Nizar 32 SMA 1 5 Milik sendiri 1300 P.Besar

14 Dede Sulaiman 32 SD 0,8 3 Sewa 700 PPK & Langsung

15 Agus 34 SD 0,6 5 Sewa 400 PPK

16 Asep 42 SD 1 ≥ 10 Sewa 1.300 PPK & P.Besar

17 Wawan Septian 38 SMP 1,2 ≥ 10 Sewa & milik sendiri 1.500 PPK

18 Sadik 45 SMP 1,8 ≥ 10 Milik sendiri 2.000 P.Besar

19 Saili 33 SD 1,5 5 Sewa 1.700 P.Besar & Langsung


(4)

(5)

Lampiran 6. Foto dan gambar kegiatan turun lapang

Kebun Budidaya daun bawang di Kecamatan Pacet

Karakteristik petani responden yang banyak menanam daun bawang dengan metode tumpang sari

Pasar Sub Terminal Agrinisnis Cigombong


(6)

Pengemasan daun bawang untuk pasar tradisional