Kebijakan Pengembangan Kedelai Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Tanaman kedelai mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah. Berdasarkan kesesuaian jenis tanah untuk pertanian, maka tanaman kedelai cocok ditanam pada jenis tanah Aluvial, Regosol, Grumosol, Latosol dan Andosol. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan lahan pertanaman kedelai adalah tataair drainase dan tataudara aerase tanah yang baik, bebas dari kandungan atau wabah Nematoda, dan keasaman pH tanah Rukmana dan Yuyun, 2006.

2.2 Kebijakan Pengembangan Kedelai

Peranan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator dan penciptaan lingkungan yang kondusif dalam pengembangan suatu komoditas secara teknis, sosial dan ekonomis adalah sangat penting dan strategis. Cakupan kebijaksanaan dalam program aksi pengembangan adalah sangat kompleks yang meliputi pengadaan dan distribusi sarana produksi bibit, pupuk, pestisida dan kredit usaha tani, penyuluhan dan tataniaga hasil melalui sistem kelembagaan dan pembinaan dari tigkat pusat sampai ke tingkat desa. Kebijakan dalam bidang penelitian, peningkatan produksi, dan perdagangan harga adalah saling berhubungan satu dengan yang lain. Proteksi harga akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani bila didukung oleh potensi teknologi dan sistem tataniaga yang efisien. Kebijakan diversifikasi konsumsi melalui penetapan pola pangan harapan PPH dapat dikatakan sebagai acuan penting dalam penetapan target peningkatan produksi setiap komoditas pangan termasuk kedelai. Peningkatan produksi akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani Rachman et al. 1996. Kebijakan Proteksi dan Harga Dasar. Kebijakan harga yang diterapkan pemerintah selama ini dengan sasaran utama mendorong adopsi teknologi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah kebijakan proteksi harga dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan untuk mengendalikan harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan terisolasi dari fluktuasi harga kedelai di pasar dunia. Hal ini dilakukan melalui pengaturan volume impor dan penetapan harga kedelai ekspor-impor serta penyalurannya kepada industri pengolah di dalam negeri. Kebijakan proteksi harga ini cukup berhasil mencapai sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong produksi kedelai domestik. Pada periode 1985 – 1994 produsen kedelai mendapatkan rata-rata proteksi harga sebesar 136.56 persen dengan laju peningkatan proteksi 4.80 persen pertahun Rachman, et al. 1996. Di satu sisi penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran yang diharapkan. Pada periode 1984 – 1991 harga kedelai di tingkat petani sekitar 76.27 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar. Hal ini menjelaskan bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian pemerintah untuk kedelai adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku, sehingga kebijakan harga dasar menjadi tidak efektif. Kemudian sejak tahun 1992, pemerintah tidak melakukan penetapan harga dasar lagi. Perkembangan produksi kedelai tahun 1992 merupakan puncak produksi kedelai yaitu mencapai 1.8 juta ton. Setelah pemerintah tidak melakukan penetapan harga dasar, maka tahun 1993 produksi kedelai terus menurun sampai tahun 2003 menjadi 671 600 ton. Hal ini disebabkan semangat petani untuk membudidayakan kedelai turun sebagai akibat dari masuknya kedelai impor dengan harga lebih rendah dari kedelai dalam negeri. Tahun 2004 sampai 2006 produksi mengalami peningkatan, namun sangat lambat yaitu 723 483 ton 2004, 808 353 ton 2005 dan 746 611 2006. Tahun 2007 produksi turun kembali 20 persen dari tahun 2006 menjadi 608 000 ton. 9 Kebijakan Tarif dan Impor Kedelai. Upaya pemerintah memenuhi kebutuhan bahan baku industri merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia. Pada dasawarsa 1980-an perbandingan antara impor dan produksi kedelai dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen pertahun yang merupakan angka tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an. Sesuai aturan WTO dimana setiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam schedule yang didaftarkan. Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor jauh di bawah bound tariff 0 – 5 persen, termasuk kedelai Rachman, et al. 1996. Namun dengan kenaikan harga kedelai di pasar dunia akhir tahun 2007 mengakibatkan harga kedelai impor tinggi, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri maka Pemerintah menurunkan tarif impor sampai 0 persen.

2.3 Hasil Penelitian Terdahulu