70
6.1.2 Faktor Eksternal 1 Peluang
a. Meningkatnya hargapermintaan pasar terhadap komoditi pertanian. Transaksi pemasaran komoditi pertanian dengan pengumpul terjadi di
tingkat desa bukan di pasar ibukota Kabupaten Aceh Besar maupun di pasar ibukota Provinsi NAD Banda Aceh. Berlangsungnya interaksi pasar terhadap
hasil pertanian cabe, tomat dan lainnya di tingkat desa karena harga beli relatif sama dengan harga beli di tingkat kabupaten dan Banda Aceh. Dengan demikian
petani tidak merlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan hasil pertanian ke pasar Seulimeum maupun ke Banda Aceh, dalam jumlah kecil maupun jumlah
besar. Alasan yang memperkuat bukti bahwa efektifnya interaksi pasar diambil
dari data survei berkesimpulan 100 persen petani memanfaatkan kesempatan pemasaran komoditi pertanian di tingkat pengumpul desa. Barang-barang hasil
tani yang dijual untuk pengumpul di desa meliputi palawija; jagung, cabe, tomat, kacang-kacangan dan ubi kayu, sedangkan hasil tanaman tua; pisang, kelapa
dan pinang. Untuk kopi dipasarkan langsung ke pasar Seulimeum dan kelapa dalam jumlah melebihi 300 biji diolah secara tradisional menjadi minyak makan,
yang dipasarkan untuk konsumen tingkat desa. Adapun perbandingan harga berbagai komoditi di tingkat desa dengan
harga di Banda Aceh perbedaannya sangat sedikit jika petani memasarkan langsung, sebagaimana telah disajikan dalam Lampiran 13. Para pengumpul
dapat melakukan kegiatan karena membawa dalam jumlah banyak di samping punya akses ke penjual enceran dan warung yang mampu membeli di atas harga
pasar Banda Aceh. Hasil pertanian holtikultura di wilayah Kabupaten Aceh Besar tergolong
rendah atau belum mencukupi sesuai permintaan konsumen, dengan bukti bahwa untuk kebutuhan pasar Seulimeum dan Banda Aceh harus dipasok dari
Takengon dan Brastagi Sumatera Utara. Dapat dipahami bahwa petani lahan kering desa ini tidak perlu bersaing dengan petani dari tempat lain sebab seluruh
hasil pertanian mereka selama ini tertampung di tingkat pengumpul. Pengumpul sanggup memebili komoditas pertanian dengan harga tinggi disebabkan
meningkatnya permintaan pasar. Harga beli semua jenis hasil pertaian hampir sama pada dua pasar di desa dan propinsi.
71 b. Berfungsinya peran Pendamping Teknis PPL Pertanian.
Petani lahan kering yang menekuni kegiatannya di sektor pertanian tanaman pangan sebenarnya sudah ditempatkan seorang pendamping khusus
yakni PPL Pertanian, namun selama konflik tidak bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Kemudian, sejak tahun 2005, PPL pertanian mulai aktif
menjalankan fungsi tugasnya dalam Kecamatan Seulimeum termasuk Gampong Lampisang Dayah. Petani lahan kering selama ini kurang memanfaatkan jasanya,
karena kebanyakan petani terbiasa mengerjakan lahan secara subsisten, dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, pembasmian hama dan penanganan panen.
Namun demikian terhadap petani yang melakukan peremajan kebun dengan tumbuhan kelapa dan kopi justru mulai beralih kepada bibit unggul dengan proses
penanaman dan pemeliharaan sesuai petunjuk PPL Pertanian. Dengan demikian secara keseluruhan fungsi pendamping khusus sudah
berjalan efektif selama tiga tahun terakhir, namun sangat tergantung pada petani dalam memanfaatkan peluang penyuluhan teknis tersebut. Kesulitan pendamping
teknis dalam operasionalnya adalah belum bisa mengumpulkan petani secara berkelompok, karena belum ada suatu kelembagaan petani di Gampong
Lampisang Dayah. c. Adanya program BRR Aceh-Nias untuk pengembangan kelompok tani.
Program BRR Ace-Nias pada awal survei direncanakan untuk pengembangan usaha peternakan lembu Lampung dalam bentuk 2 kelompok
secara terpadu dengan petani Gampong Rabo. Kelompok yang akan dibentuk pada tahun 2008, merupakan kelompok tani yaitu kegiatan terpadu antara ternak
dengan pertanian, artinya menjadi suatu kesempatan berarti bagi petani lahan kering karena mempunyai manfaat ganda.
Sebagaimana dijelaskan dalam survei, bahwa untuk realisasi bantuan BRR harus melalui prosedur, di antaranya dilakukan pelatihan training terhadap
anggota kelompok. Semua kegiatan ini tidak memberatkan petani, melainkan suatu peluang memperoleh modal bersama. Dengan adanya program BRR
tersebut akan lebih optimis lagi bermunculan investor lokal terhadap kegiatan serupa. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tentunya akan
memberi pendampingan dan menylesaikan jalan lingkar yang tersisa lanjutan pembangunannya sepanjang 800 meter.
72
2 Ancaman
a. Belum terealisasi bantuan permodalan usahatani dari Pengusaha lokal. Selama tiga tahun terakhir aktifnya petani lahan kering khususnya para
usahatani perkebunan dan ladang belum ada pengusaha atau sektor swasta yang merencanakan melakukan hubungan kerjasama dalam pemodalan
komunitas ini. Pengusaha belum tumbuh kepercayaan trust terhadap tanaman kopi, kelapa dan pisang, melainkan keyakinannya menguasai dataran rumput dan
hutan seluas 225 hektar tanah negara untuk pengembangan sawit. Dengan alasan demikian, maka pengusaha tidak melepaskan modalnya
kepada petani lahan kering, artinya pemilki modal ini sulit dilakukan kerjasama sehingga belum bisa dikembangkan perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, petani
mulai mengkhawatirkan terhadap modal yang pernah dijanjikan pengusaha, masyarakat desaluar desa, karena mungkin saja bisa berubah atau mereka
mengalihkan kepada kelompok sasaran di desa lain, seperti di Gampong Rabo yang sedang dibina ORNOP.
Argumen ini sangat mendasar, karena terdapat beberapa organisasi lokal tingkat Kecamatan Seulimeum yang sedang dilakukan pembinaan pelatihan oleh
pihak donatur asing yaitu USAID United States of Agency international Development. Program yang diperkenalkan USAID sangat efektif yakni Training
OPERACY pengembangan masyarakat dengan sasaran proyek adalah pengembangan kawasan terpadu sektor pertanian dan peternakan, sebagaimana
telah sukses dilakukan di Kawasan Terpadu Sawang, kabupaten Aceh Utara. Yang mengancam petani desa ini bukan persoalan pembinaan, tetapi
dikhawatirka bahwa investasi swasta akan terselisasi ke petani lain. b. Pemda Kabupaten Aceh Besar tidak melakukan pengawasan terhadap
Pennyelenggaraan Musrenbangdes. Pasca bencana Tsunami, yakni sejak tahun 2005 sampai 2006
konsentrasi pembangunan Aceh Besar lebih diprioritaskan pada penanganan korban tsunami. Kemudian dan pasca perdamaian RI-GAM, yakni sejak tahun
2006-2007 penanganan reintegrasi GAM. Dengan demikian pada tahun 2006- 2007 petani lahan kering desa ini belum pernah mendapat bantuan modal
maupun bantuan lain disebabkan keterbatasan anggaran APBK, pembangunan dimaksimalkan untuk penyelesaian dua persoalan di atas, artinya ketika itu pola
bottom-up belum bisa berlangsung secara efektif.
73 Menurut mekanisme Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, sebenarnya
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai melakukan penjaringan aspirasi masyarakat termasuk gampong Lampisang dayah melalui wadah
musrenbangdes. Prosedurnya pada bulan September 2007 seluruh hasil musrenbangdes dimaksud telah dibawa Camat seulimeum dan tertampung dalam
penyelenggaraan musrenbang kabupaten untuk disusun dalam APBK Tahun 2008. Kewajiban ini tidak diketahui oleh seorangpun di kalangan petani lahan
kering, artinya perencanaan pembangnan tersebut belum dilakukan secara pola bottom-up.
Jika ditinjau dari aspek pemberdayaan, ketidakterlibatan objek pembangunan dalam proses perencanaan secara utuh dari penyusunan
perencanaan sampai tahan evaluasi akan menghambat pengembangan masyarakat sebab plafon pembangunan kurang menyentuh kelompok sasaran.
Pola bottom-up planing masih asing bagi petani Gampong Lampisang Dayah, sehingga realitanya mereka belum mampu mengembangkan usaha pertanian
secara maksimal , padahal sumber daya alam mendukung. Ketika penulis melakukan pengamatan, mereka belum menemui suatu
solusi bagaimana agar setiap penyelenggaraan musrenbangdes dan musrenbang bisa melibatkan petani, sehingga pembangunan sektor pertanian tidak lagi
menerapkan top-down planing. Peran pemerintah daerah dalam koridor desentralisasi diharapkan tercipta sistem penguatan ekonomi petani melalui
pendekatan partisipatif, yaitu keberfungisan subjek pembangunan Pemerintah dan objek pembangunan masyarakat secara bersama-sama menyusun
rancangan pembangunan, dengan tujuan agar realisasi kegiatan tepat sasaran. Berdasarkan berbagai aspek yang dimunculkan dari faktor internal dan
eksternal yang telah dianalisis di atas berarti sudah didapati kekuatan serta peluang di lingkungan operasioanl petani dan sudah terungkap juga kelemahan serta
ancaman terhadap petani lahan kering. Guna mengetahui eksistensi faktor internal dan eksternal beserta unsur masing-masing faktor dimaksud. Tabel 22 berikut ini
akan disusun dalam sebuah rancangan strategi yang diaplikasikan pada matriks analisis SWOT :
74
Tabel 22 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL KEKUATAN STRENGTHS
1. Tersedia lahan kering yang luas untuk usaha pertanian.
2. Kuatnya hubungan dan kerjasama di kalangan petani lahan kering
3. Tersedia jalan lingkar sebagai infrstruktur pendukung kegiatan pertanian.
KELEMAHAN WEAKNESSES
1. Belum mencukupi modal untuk pengem- bangan usahatani.
2. Keterbatasan pengetahuan
petani tentang usahatani dan ternak.
3. Belum menggunakan peralatan teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani.
PELUANG OPORTUNITIES
1. Meningkatnya harga dan permintaan pasar terhadap komoditi pertanian.
2. Berfungsinya peran Pendamping Teknis PPL Pertanian.
3. Adanya program BRR Aceh-Nias untuk pengembangan kelompok tani.
1. Membentuk kelembagaan kelompok tani berbasis potensi lahan kering, bersama
program BRR Aceh-Nias. 2. Memanfaatkan potensi lahan kering dalam
menggalang kerjasama usahatani bersama program BRR.
3. Memanfaatkan jasa pendamping teknis dalam rangka intensifikasi lahan kering.
1. Memanfaatkan perkembangan pasar dengan membentuk koperasi simpan-
pinjam sebagai sarana perekonomian petani lahan kering.
2. Memanfaatkan jasa pendamping teknis guna memandu kegiatan usahatani.
3. Memamfaatkan program BRR
untuk memperkenalkan
teknologi pertanian.
ANCAMAN THREATHS
1. Pemda Kabupaten Aceh Besar belum melakukan pengawasan terhadap
Pennyelenggaraan Musrenbangdes. 2. Belum terealisasi bantuan permodalan
usahatani dari Pengusaha lokal. 1. Memamfaatkan lahan terlantar untuk
kegiatan kelompok tani dalam rangka kemitraan dengan pengusaha lokal.
2.
Meningkatkan kerjasama petani lahan kering dalam memantau penyelenggaraan
musrenbangdes.
1. Meningkatkan SDM bidang pertanian untuk mendapat kepercayaan sektor
swastapengusaha lokal. 2. Memanfaatkan musrenbangdes sebagai
media partisipatif dalam penyampaian aspirasi petani lahan kering.
75
6.2 Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering