1
I. P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Dengan bergulirnya Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten dalam pelaksanaan program
pembangunan kesejahteraan sosial, ekonomi dan sektor lainnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh telah menyusun kembali pengaturan struktur Pemerintahan sampai di tingkat paling bawah dalam rangka mempercepat proses
pembangunan pedesaan. Merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, menitikberatkan pola perencanaan bottom-up dari bawah ke atas yakni dengan melibatkan aspirasi masyarakat setempat melalui
wadah musyawarah rencana pembangunan desa musrenbangdes. Artinya, posisi masyarakat bukan hanya sebagai objek pembangunan melainkan harus
berperanserta sebagai pelaku atau subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat desa bersama pemerintah dibutuhkan dalam upaya
menentukan arah pembangunan ekonomi, khususnya dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Cohen dan Uphoff dalam Prijono 1996, berpendapat bahwa lingkup
partisipasi masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan meliputi tahap penyusunan perencanaan, penentuan
kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, kerjasama serta monitoring dan evaluasi.
Pertanian lahan kering menurut Notohadiprawiro 1989 ialah sektor pertanian yang dikerjakan tanpa suatu sistem penggenangan air di atas lahan garapannya.
Yang termasuk lahan usahatani lahan kering adalah padi gogo, palawija, rumput pakan ternak dan perkebunan. Petani yang memanfaatkan air irigasi secara “sadapan”
sejauh tidak menggenangi air, disebut lahan kering. Penanaman padi di sawah dan perikanan tambak tidak tergolong kategori pertanian lahan kering.
Prospek ekonomi petani lahan kering agak sulit terwujud jika tidak didukung kepastian hukum agraria terhadap status tanah, penerapan teknologi tepatguna dan
2 ketersediaan sumberdaya manusia lokal yang memadai. Lahan kering perlu dpelihara
sepadan dengan pemeliharaan sumber air, sebagaimana anjuran Departemen Pertanian RI dalam La An 2006 “ upaya penyimpanan air secara maksimal pada
musim penghujan dan pemanfaatannya secara efesien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air berjalan beriringan dimana saat melakukan
tindakan konservasi tanah dilakukan juga tindakan konservasi air”. Penggarapan lahan kering sebenarnya tidak terbatas pada sektor tanaman
palawija saja, melainkan bisa saja dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif, seperti peternakan dan perkebunan dengan memadukan kekuatan kapasitas sumber
daya manusia SDM dan kelembagaan lokal, Sistem pertanian lahan kering cenderung bersifat subsisten untuk kebutuhan sendiri, identik dengan pertanian
pangan seperti padi dan jagung. Pertanian subsisten ini menggunakan lahan tanah dan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi, yang dicirikan oleh beberapa
karakteristik, antara lain; produktivitas rendah, penerapan peralatan teknologi pertanian sangat sederhana, terbatasnya akses kepada sumber modal, sangat
tergantung pada musim hujan dan ketidaktepatan cara pengolahan tanah, Todaro 1985.
Memperhatikan karakteristik di atas, untuk memobilisasi pertanian subsisten menuju perubahan ke arah pengembangan yang lebih maju dan sejahtera pertanian
komersil, perlu diperhatikan unsur tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga petani lahan kering. Argumentasi bahwa perlunya diprioritaskan pembenahan tenaga
kerja, mengingat keberadaan SDM itulah yang bisa mengendalikan teknologi dan memanfaatkan sumber daya alam secara tepat. Penekanan pada fungsi tenaga kerja
petani lahan kering dan keluarga dianggap bisa mematahkan breakdown kebiasaan-kebiasaan yang tidak tepat, keliru dari pola kerja pertanian subsisten.
Sehubungan dengan permasalahan pertanian subsisten tersebut, maka usahatani masyarakat relatif tertinggal dan berdampak pada rendahnya penghasilan.
Akibatnya keluarga petani lahan kering mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan dan kesehatan. Keadaan mereka diperparah lagi
ketidakcukupan pangan karena tidak melakukan penanaman padi sebagai kebutuhan dasar, sehingga terdapat keluarga mengalami kekurangan pangan. Keluarga tersebut
jika dikaitkan dengan pendapatan rendah maka dapat dikatagorikan sebagai keluarga miskin, dengan indikatornya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar basic needs.
Menurut Green dalam Widodo 1993 dan Streeten dalam Supriatna 1997, di antara komponen basic needs yang harus terpenuhi adalah kebutuhan minimum keluarga
3 untuk konsumsi personal consumption items meliputi pangan, sandang, papan dan
peningkatan akses pada pelayanan publik access to public services meliputi aspek kesehatan dan pendidikan.
Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah berusaha dengan berbagai program penanggulangan
kemiskinan. Pemerintah Pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas pernah menetapkan Program Inpres Desa Tertinggal IDT di Desa
Gampong Lampisang Dayah tahun 1994. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar bersama aparat desa dan pendamping khusus tidak dapat melanjutkan
pengembangan program tersebut disebabkan beberapa tahun kemudian Aceh dilanda konflik bersenjata.
Sehubungan dengan diberlakukan Darurat Militer Darmil di Aceh tahun 2004, petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah mulai melakukan kegiatan kembali
dengan aktivitasnya di sektor pertanian ladangkebun dan empat kepala keluarga di antaranya bergerak di sektor penggembalaan geumeubew ternak kerbau dan lembu.
Dengan kegiatan tersebut telah memacu aktivitas petani lainnya guna menekuni aktivitas pertanian, terutama dalam pemanfaatan kembali lahan kering yang pernah
ditinggalkan. Mengingat kegiatan penggembalaan ada kaitan ke depan forward linkages dan kaitan ke belakang backward linkages seperti penggemukan ternak,
sehingga dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi petanian lahan kering. Penggunaan potensi sumber daya lokal terhadap kedua kegiatan di atas
meliputi peremajaan kebun kelapa dan kebun kopi, penanaman tanaman palawija di atas lahan ladang dan penggembalaan ternak di atas dataran rumput. Seharusnya
dengan adanya kegiatan-kegiatan pertanian dan penggembalaan bisa mengatasi permasalahan petani dalam rangka peningkatan pendapatan, dan penyediaan
lapangan kerja bagi keluarga dan petani lahan kering lainnya. Setelah aktvitas petani lahan kering di desa ini berlangsung tiga tahun, sekarang layak ditinjau kembali tingkat
keberhasilannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.
1.2 Rumusan Masalah