Pengelolaan Taman Nasional Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah

17 adanya keterkaitan dan sinergi dengan pembangunan dimana kawasan tersebut berada MacKinnon 2001. Kebijakan dan implementasi pengelolaan di Indonesia hampir sama dengan pengelolaan di Laos, Vietnam, Kamboja dan Thailand. Di negara tersebut, menurut Carew-Reid 2003 telah ditetapkan kawasan konservasi, sebagian besar berbentuk taman nasional dengan proporsi luas kawasan terbesar di dunia. Pendekatan pengelolaan kawasan lebih menekankan pada isolasi kawasan dan terlepas dari penggunaannya bagi kepentingan manusia. Hal ini dilakukan dengan argumentasi untuk kebaikan upaya konservasi. Implementasi upaya konservasi juga sedikit relevansinya untuk menjawab tantangan pembangunan yang dihadapi keempat negara tersebut. Ketentuan hukum juga telah mengatur bahwa penggunaan ekstraktif tidak diperbolehkan. Namun, dalam prakteknya masyarakat terus mengambil sumber daya hayati yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Pemerintah lokal juga sering mengabaikan kepentingan pengelolaan kawasan jika dihadapkan pada pilihan antara konservasi dan kebutuhan pembangunan ekonomi lokal, misalnya pembangunan jalan, jaringan listrik, dan ekstensifikasi pertanian. Hasil review pembangunan kawasan pelestarian di negara tersebut menunjukkan bahwa meskipun luasan kawasan pelestarian secara legal cenderung meningkat akan tetapi nilai keanekaragaman hayati terus merosot yang diindikasikan dari meningkatnya luasan kerusakan habitat. Kawasan konservasi di negara ini berada di kawasan dengan tingkat penduduk miskin tinggi yang umumnya memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumber daya di dalam kawasan untuk penghidupannya seperti bahan pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan rumput, maupun manfaat ekologi, seperti fungsi regulasi suplai air irigasi dan fungsi pemeliharaan stok ikan. Nasib masyarakat ini di masa depan sangat tergantung dari kebijakan dan implementasi pengelolaan taman nasional. Kebijakan dan implementasi pengelolaan yang ekslusif dengan sedikit upaya untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi sebagai pengganti biaya oportunitas masyarakat, telah menempatkan taman nasional sebagai sumber konflik Morris Vathana 2003. 18 Di Indonesia, permasalahan sosial dan ekonomi banyak dihadapi dalam pengelolaan taman nasional. Perambahan lahan oleh masyarakat yang menyebabkan kerusakan kawasan terjadi di Taman Nasional Kutai, perburuan satwa dilindungi di Taman Nasional Rawa Aopa Watu Mohai dan Lore Lindu dan perambahan, penebangan liar dan perburuan liar terjadi di Taman Nasional Meru Betiri Riyanto 2005 dan di Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS 2007. Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga menyebabkan konflik antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pengelola Galudra 2009. Kondisi demikian semakin memperkuat gagasan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan ekonomi dengan elemen ekologi dalam pengelolaan taman nasional. Phillips 2003 menyatakan bahwa model klasik pengelolaan taman nasional sudah tidak memadai untuk abad ke-21 dan untuk beberapa kasus dapat berpotensi kontra produktif. Model klasik pengelolaan taman nasional dicirikan antara lain oleh: 1 Tujuan ditetapkan hanya untuk keperluan konservasi semata, khususnya untuk perlindungan pemandangan dan hidupan liar dengan penekanan lebih pada bentuk fisik dari pada fungsi sistem alam. Dikelola khusus untuk pengunjung dan wisatawan dengan nilai utamanya sifat liar pada kawasan sehingga diupayakan perlindungan dan bebas dari pengaruh manusia. 2 Pengelolaan oleh pemerintah pusat. 3 Masyarakat lokal tidak dilibatkan dan aspirasinya kurang dipedulikan dalam perencanaan dan pengelolaan, serta menghindari pengaruh manusia kecuali wisatawan. 4 Cakupan pengelolaan tidak menyeluruh, dikembangkan secara parsial dan terpisah seperti pulau biologi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan sekitarnya. Sedangkan paradigma pengelolaan yang sesuai untuk kondisi saat ini dan mendatang memiliki elemen penting berikut: 1 Tujuan mencakup aspek sosial, ekonomi dan konservasi maupun rekreasi. Umumnya dikembangkan juga untuk tujuan ilmiah, ekonomi dan budaya sehingga menambah kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan dimaksudkan 19 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, disamping aspek perlindungan, rehabilitasi dan restorasi dilakukan sehingga nilai-nilai yang tererosi dapat dikembalikan. 2 Pengelolaan dilakukan dengan kemitraan dan melibatkan para pihak yang berkepentingan. 3 Masyarakat lokal berperan aktif dan tidak dipandang sebagai penerima manfaat secara pasif karena taman nasional dikelola bersama, untuk dan bahkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal diposisikan sebagai penerima manfaat sehingga kepentingannya perlu diakomodasikan. 4 Cakupan pengelolaan menyeluruh, direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional bahkan internasional, serta diperlakukan bukan sebagai pulau biologi melainkan berbentuk jaringan dengan koridor- koridor hijau sebagai daerah penyangga. Kongres Taman Nasional Sedunia V IUCN 2005 memandatkan secara tegas bahwa pengelolaan kawasan taman nasional harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial untuk pengelolaan taman nasional dalam abad ke-21 diperlukan mengingat berbagai tantangan dan perubahan global. Menurut Sukmadi 2005, seiring dengan perkembangan terkini tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini penting karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan di Indonesia masih mengikuti model klasik pengelolaan kawasan konservasi. Efektifitas pengelolaan memerlukan perluasan spektrum model dan mekanisme tata kelola di luar batas model pengelolaan tersentralisasi oleh pemerintah yang saat ini mendominasi pola pikir dan praktek pengelolaan. Semakin beragamnya pilihan tata kelola dan pengelolaan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan melibatkan beragam stakeholder, khususnya masyarakat lokal dan adat Barber 2004. Dengan demikian, efektifitas pengelolaan taman nasional dapat diukur dengan menggunakan tiga indikator, yaitu 1 aspek ekologi, yang menunjukkan bahwa 20 kawasan konservasi atau taman nasional sebagai manifestasi fisik dari potensi sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat terjamin kelestariannya, 2 aspek ekonomi dan sosial, yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kawasan konservasi atau taman nasional dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat lokal yang dicirikan oleh tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang cenderung meningkat, dan 3 persepsi dan partisipasi , yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi cenderung meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi atau taman nasional Darusman Widada 2004. Sistem pengelolaan taman nasional mendatang menuntut penggabungan berbagai pendekatan secara komprehensif dan harus dapat merespon secara sistematis terhadap adanya perubahan biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan taman nasional yang ada saat ini tidak didesain untuk merespon terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan Barber et al. 2004. Sehingga jika diukur kinerja pengelolaan kawasan taman nasional saat ini maka akan dapat dikatakan bahwa kinerja pengelolaan pada umumnya belum efektif. Belum efektifnya kinerja pengelolaan ini dapat ditunjukkan oleh adanya fakta-fakta antara lain: 1 proses degradasi sumber daya alam hampir di seluruh kawasan taman nasional sampai saat ini masih terjadi dan cenderung meningkat, dan 2 perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional pada umumnya sampai saat ini masih sangat rendah, yang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan, termasuk tingkat pendidikan masyarakat Darusman Widada 2004.

2.3 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat atau publik pada hakekatnya adalah proses komunikasi dua arah yang interaktif dimana kebutuhan dan tata nilai masyarakat terakomodasi untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang lebih baik karena mendapatkan dukungan publik Creighton 2005. Sedangkan menurut Ostrom 1994 partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses 21 pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Masyarakat akan berpartsisipasi jika terdapat faktor pendorong, seperti kebutuhan, harapan, keuntungan dan tersedianya kelembagaan untuk berpartisipasi. Berdasarkan definisi tersebut maka secara garis besar partisipasi masyarakat memiliki karakteristik yang mencakup: 1 partisipasi publik diaplikasikan dalam pengambilan keputusan administratif lembaga pemerintah, 2 tidak hanya penyediaan informasi kepada publik melainkan terjalinnya interaksi antara organisasi pengambil keputusan dengan masyarakat yang ingin berpartisipasi, 3 partisipasi publik melibatkan proses yang terorganisasi dan terencana untuk melibatkan publik, bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja, dan 4 partisipan berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat Creighton 2005. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan untuk mengeksplorasi persoalan pengelolaan dalam tahap penetapan tujuan, perencanaan, implementasi, maupun monitoring. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik karena informasi dan perspektif para pihak yang penting untuk efektifitas pengelolaan akan tertangkap secara efektif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang beragam akan mendorong tumbuhnya pembelajaran sosial karena memungkinkan berlangsungnya transformasi relasi, perubahan persepsi dan mengidentifikasi cara baru untuk bekerja sama mencapai tujuan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dapat digunakan sebagai sarana komplementer untuk menutupi kelemahan pendekatan topdown yang selama ini banyak diterapkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga legitimasi dan dukungan masyarakat akan meningkat Stringer et al. 2006. Secara umum terdapat tiga faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional, mencakup: 1 kemauan, 2 kemampuan, dan 3 kesempatan. Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kerugian yang diperolehnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, seperti tingkat pendidikan formal, non formal dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat, serta variabel kebijakan Brännlund et al. 2009. Oleh karena itu, faktor-faktor penting yang