Latar Belakang Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah
2 hektar Dephut 2008. Taman nasional
memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat yang berasal dari tujuan konservasi, menurut Dixon and
Sherman 1990 antara lain: 1 terpeliharanya sumber daya alam, jasa lingkungan dan proses ekologis;
2 produksi material dari sumber daya alam, seperti tanaman obat dan satwa; 3 produksi jasa rekreasi dan wisata;
4 produk objek-objek wisata sejarah dan budaya; dan 5 penyediaan peluang untuk pendidikan dan penelitian.
Pelayanan jasa lingkungan dan manfaat lainnya dari taman nasional ini sangat potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat Haeruman 1997.
Untuk itu, taman nasional seharusnya dikelola agar nilai-nilai strategis tersebut dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat
dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang secara adil maupun generasi yang akan datang, baik lokal, nasional maupun internasional.
Namun, pengelola taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya di taman nasional, dimana. seringkali masyarakat lokal diabaikan dalam pengelolaan taman nasional Stevens
1997. Pada awalnya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi hanya terfokus pada konservasi sumber daya alam, tetapi belakangan kebijakan ini dituntut untuk
bergeser sejalan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi pada dasarnya saling
terkait Phillips 2002; Wilson 2003. Kawasan konservasi perlu dikelola secara
adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan masyarakat lokal dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhinya dan memberikan perhatian yang lebih kepada nilai-nilai budaya lokal Phillips 2003; Borrini-Feyerabend et al. 2004.
3 Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya
konservasi sumber daya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas, yaitu merekonsiliasi ketegangan antara sistem
alam dengan sistem manusia. Kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai mekanisme
untuk mengantarkan
tercapainya tujuan-tujuan
pembangunan berkelanjutan Barker Stockdale 2008. Tekanan dari faktor-faktor perubahan
lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan,
perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat Shadie Epps 2008 jika kebijakan pengelolaannya hanya fokus pada sistem ekologi.
Perubahan- perubahan ini tidak bisa dihindari. Perubahan pendekatan ini memerlukan
kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi Jeanrenaud 2002.
Mengingat kompleksitas dan adanya saling keterkaitan yang kuat antara aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi dalam pengelolaan taman nasional serta
melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional, maka formulasi kebijakan pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan
sistem Eriyatno 2003. Jackson 2006 mengemukakan bahwa critical system thinking
dapat memberikan arahan bagaimana menggunakan teori sistem, metodologi dan metode dalam menganalisis kebijakan. Checkland 1999 dan
Christis 2005 menyebutkan bahwa perihal yang kompleks dan tidak terstruktur dapat ditangani dengan baik melalui penggunaan soft system methodology.
Dengan demikian diharapkan pengelolaan taman nasional dapat mencapai tujuan konservasi, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dunia
usaha dan Pemerintah secara berkelanjutan.