Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan
187
Laju_Pengurangan
Fr_Penambahan_Pdd
Laju_Partisipasi Partisipasi
Fr_Rambah L_Degradasi_KE
Fr_Pengetahuan P_Pendapatan
Pendapatan_Masy Fr_Klahan
L_KLahan Kepemilikan_Lahan
Laju_Penambahan
Laju_Investasi Jumlah_Investasi
Fr_Investasi Jumlah_UMKM
Laju_UMKM Fr_UMKK
L_Alternatif_MP Fr_Alternatif_MP
L_Rehab_Hutan Ls_Rehabilitasi
Fr_Rehab_Hutan Fr_Kerusakan
L_Kerusakan Perambahan
Luas_Kerusakan_TN L_Perbaikan
Fr_Partisipasi Jumlah_Penddk
Fr_Pengurangan_Pdd Laju_Tumbuh_Neto
Laju_Tumb_KK
Penyerapan_TK Ls_Rehabilitasi
Fr_Serap_LB Fr_Serap_Rehab
Fr_DKE Pengetahuan
Reboisasi Fr_Perbaikan
L_Keb_Lahan Fr_JKK
Fr_Keb_Lahan
Fr_KTN
Kes_Ekosistem L_Peningkatan_KE
Fr_Tingkat_KE
L_Dana_Pengamanan L_Kurang_DP
Fr_KDP Dana_Pengamanan
Fr_Dana_Kelola Fr_Manfaat
Pengamanan_TN
Pengamanan_TN Manfaat
Kbth_Lahan_Bud Kbth_Lahan_Bud
P_Kerusakan_TN
L_Pendapatan Pendapatan_Masy
M_Penc_Alternatif Fr_JMP_Alternatif
Gambar 37 Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional
188
Gambar 38 Proyeksi tingkat pendapatan masyarakat setelah kebijakan
Gambar 39 Proyeksi tingkat partisipasi setelah kebijakan
Gambar 40 Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan
189 Kebijakan
pengelolaan taman
nasional dengan
Sistem TaNaBEM
memungkinkan peningkatan manfaat taman nasional bagi masyarakat secara langsung tanpa mengorbankan tujuan konservasi. Namun, implementasi Model
MTN, KPTN dan PTN hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh peraturan dan kebijakan daerah yang tepat. Pada tingkat nasional, peraturan dan
kebijakan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional telah ditetapkan melalui berbagai peraturan antara lain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor
68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Di samping itu, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor
38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota. Dengan
demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya
ekosistem melalui inisiatif terhadap pengembangan dan penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas.
Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola
taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun
sinergi melalui konsensus. Penetapan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional
dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Pokja ini merupakan
wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil UPT Taman Nasional, wakil pemanfaat taman nasional,
190 wakil masyarakat umum dan akademisi. Pokja ini merupakan organisasi non
struktural yang melaporkan kegiatannya kepada BLU-TN, Gubernur dan Bupati untuk membantu tugas-tugas dalam mengkoordinasikan pengembangan manfaat
taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten. Mandat yang diberikan kepada Kelompok Kerja sebaiknya diarahkan pada tugas dan
fungsi: 1 memberikan masukan kebijakan operasional untuk memelihara
dan meningkatkan manfaat taman nasional bagi masyarakat,
2 merumuskan masukan rencana yang sinergis pengembangan
ekonomi masyarakat sekitar taman nasional,
3 merekomendasikan prioritas
alokasi dana
sektoral untuk
mendukung terpeliharanya sumber daya taman nasional,
4 memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan pengelolaan taman nasional, dan
5 memberikan masukan untuk pemberian ijin pemanfaatan taman nasional, serta 6 melaporkan hasil kegiatan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur dan Bupati.
Penetapan status BLU Taman Nasional ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perubahan status menjadi BLU dan sistem pengelolaan taman nasional berbasis
ekosistem dan masyarakat memerlukan penyesuaian struktur organisasi pengelola. Perubahan status BLU berimplikasi pada perlunya perubahan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Taman nasional saat ini secara teknis dibawah
pengelolaan Ditjen PHKA, maka kalau status berubah menjadi BLU, pengelolaan sebaiknya berada di bawah koordinasi Menteri Kehutanan karena fungsinya lintas
Ditjen dan juga memerlukan penanganan khusus dari aspek keuangan dan perencanaan yang terkait dengan fungsi Setjen Kementerian Kehutanan.
Sehingga BLU Badan Pengelola Taman Nasional bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan yang secara teknis dibina oleh Direktur Jenderal
PHKA dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
Perubahan struktur pengelola TNKS ini diperlukan juga untuk mewadahi pengembangan potensi sumber-sumber pendanaan alternatif dari
191 pemanfaatan sumber daya taman nasional yang terencana dan dengan resiko yang
terkelola serta pengelolaan keuangan yang efisien dan produktif. Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat
memerlukan pengelola yang sifatnya multidisplin dan profesional. Karakteristik multidisiplin ini diperlukan untuk dapat mengaitkan pengelolaan taman nasional
dengan kawasan sekitarnya dan mampu melibatkan serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Karakteristik pengelola
yang multidisplin ini diharapkan akan membantu mewujudkan keseimbangan yang dinamis antara kepentingan konservasi dan pemanfaatan taman nasional
secara ekonomi untuk masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Sedangkan
profesionalitas pengelola diperlukan agar pengelolaan taman nasional dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab.
Untuk lebih meningkatkan profesionalitas maka pengelolaan taman nasional dilaksanakan dengan berbasis kinerja operasional dan keuangan serta perekrutan
personalia pengelola didasarkan atas kemampuan. Personalia pengelolanya dapat direkrut baik dari kalangan pegawai negeri sipil maupun non-pegawai negeri sipil
yang profesional sesuai dengan ketentuan PP 23 tahun 2005 Pasal 33. Di samping itu, untuk
memberikan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan maka struktur organisasi BLU Badan Pengelola Taman Nasional seyogyanya bersifat
profesional non eselon. Di tingkat propinsi bertugas untuk mengembangkan pelatihan-pelatihan
pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem dan melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam
upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem, Di tingkat kabupaten bertugas untuk menetapkan kawasan-kawasan prioritas
pengembangan masyarakat, mengembangkan penerapan partisipasi masyarakat dan mengembangkan pendidikan lingkungan dan pelatihan teknis. Pemerintah
Kabupaten memprakarsai pembentukan BUMDes melalui penetapan Peraturan Daerah Kabupaten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal 78 sampai dengan 81.
192
Gambar 41 Bagan organisasi hipotetik BLU Badan Pengelola TNKS Melalui studi komparatif pada organisasi pengelola Lembaga Penjamin
Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Lampiran 14 dan
mempelajari organisasi
yang terdapat
pada BLU
Badan Pembiayaan
Pembangunan Hutan Kementerian Kehutanan Lampiran 15 maka secara hipotetik dapat diusulkan bagan organisasi BLU Badan Pengelola TNKS Gambar
41 yang masih memerlukan pendalaman fungsi dan struktur lebih lanjut. Untuk menindaklanjuti kelayakan terhadap bagan organisasi hipotetik tersebut dapat
dilakukan Kementerian Kehutanan dan Keuangan sebagai pengambil kebijakan terkait penetapan BLU.
Apabila BLU Badan Pengelola TNKS dapat direalisasikan maka konsep kelembagaan tersebut dapat diterapkan pada taman
nasional yang lainnya.
7 KESIMPULAN DAN SARAN