Taman Nasional Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah
10 6 mengakomodasikan
kepentingan masyarakat
lokal, termasuk
untuk pemanfaatan secara subsisten sepanjang tidak mengabaikan tujuan penetapan
kawasan. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional
didefinisikan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Suatu kawasan dapat ditetapkan menjadi taman nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998
tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu: 1
kawasan yang akan ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami,
2 memiliki sumber daya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan
maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami,
3 memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh,
4 memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam, 5
merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya yang karena pertimbangan kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Sistem zonasi merupakan landasan pengelolaan taman nasional di
Indonesia. Masing-masing zona memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Zona inti merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak harus dilindungi dan
tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Penetapan zona ini didasarkan atas 6 kriteria.
Pertama, memiliki keanekaragaman jenis
11 tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Kedua, mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. Ketiga, mempunyai kondisi alam, baik
biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. Keempat, mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. Kelima, mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh
yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. Keenam, mempunyai
komunitas tumbuhan danatau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Zona pemanfaatan merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dikhususkan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Penetapan zona ini didasarkan atas 3 kriteria.
Pertama, mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya
yang indah dan unik. Kedua, mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Ketiga, kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam. Di samping itu dapat ditetapkan zona lain, yaitu zona di luar zona inti dan
pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, atau zona rehabilitasi. Zona
rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang melindungi zona inti dimana pembangunan fisik yang bersifat permanen tidak diperbolehkan serta dapat
dikunjungi secara terbatas. Zona ini mempunyai 3 kriteria. Pertama, kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang biakan dari jenis satwa
yang perlu dilakukan upaya konservasi. Kedua, memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Ketiga,
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Taman
nasional yang
merupakan kawasan
pelestarian alam
dan pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi memungkinkan kawasan tersebut
memenuhi seluruh fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari sumber daya
12 alam hayati dan ekosistemnya. Pemeliharaan dan peningkatan fungsi ini dalam
pengelolaan taman nasional akan dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan taman nasional dan sekaligus dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi
masyarakat. Jika hal ini dapat berlangsung dengan baik maka pengelolaan taman nasional dapat digunakan untuk menggambarkan pola hubungan timbal balik
antara manusia dengan alam yang saling menguntungkan. Hal ini akan
menunjukkan bahwa integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat
ini dan generasi yang akan datang dapat dilakukan. Namun, kenyataannya
keberadaan taman nasional masih belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Pengelolaan taman nasional sampai saat ini menunjukkan masih
dalam taraf upaya untuk mempertahankan dan melindungi eksistensi potensi dan kawasan taman nasional dari berbagai faktor penyebab kerusakan dan penyusutan
luasan kawasan. Aspek pemanfaatan taman nasional untuk kesejahteraan
masyarakat belum berkembang dengan baik dan belum mampu memberikan kontribusi direct use value yang berarti bagi daerah dimana kawasan tersebut
berada. IUCN 2005 menekankan bahwa sebenarnya taman nasional dapat
memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan sekaligus dalam berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini
disebabkan karena taman nasional dapat menjadi faktor kunci dalam pencapaian Millennium Development Goals
, khususnya yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan dan dapat menjadi kontributor penting
terhadap salah satu target pembangunan berkelanjutan yang mempunyai tujuan mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati secara nyata. Namun, beberapa
kalangan masyarakat masih melihat bahwa taman nasional merupakan pembatas aspirasi dan aktifitasnya.
Di samping itu, dewasa ini taman nasional juga menghadapi berbagai tantangan yang semakin meningkat sebagai akibat adanya
perubahan lokal maupun global, semisal perubahan iklim, demografi, ekonomi, politikkepemerintahan, dan teknologi.
Sistem pengelolaan taman nasional menjadi semakin kompleks, khususnya karena menyangkut pengaruh antara
13 pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengelola taman nasional. Karenanya,
aturan dan peran dari masing-masing pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional harus terdefinisikan dengan jelas dan dipahami
bersama. Tantangan utama yang harus dihadapi bersama dalam pengelolaan
taman nasional adalah rekonsiliasi antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal, kepentingan nasional dan global, dan antara kebutuhan masyarakat generasi
sekarang dan yang akan datang. Evaluasi terhadap efektifitas pengelolaan kawasan konservasi yang
dilakukan oleh WWF terhadap 600 kawasan konservasi di dunia mengindikasikan bahwa ancaman utama dari kawasan konservasi adalah perburuan satwa liar,
pembalakan dan perambahan lahan untuk aktifitas pertanian. Sedangkan
kelemahan pengelolaan
kawasan konservasi
yang paling
utama adalah
keterbatasan pendanaan dan staf, lemahnya penegakan hukum dan hubungan dengan masyarakat yang kurang bagus.
Namun, meskipun kelemahan pengelolaan kawasan konservasi secara umum telah diketahui, upaya secara
sistematis dan terkoordinasi yang ditujukan untuk mengatasi ancaman yang paling umum dan merusak masih belum banyak dilakukan IUCN 2005. Kondisi ini
seharusnya direspon dengan peningkatan efektifitas pengelolaan taman nasional melalui kebijakan yang tepat agar taman nasional dapat berperan secara optimal
dalam mendukung keberkelanjutan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan.
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sumber daya alam hayati yang sangat tinggi di dunia, dan sebagian bersifat endemik. Sampai saat ini
telah teridentifikasi 515 jenis mamalia 12 dari jenis mamalia dunia, 511 jenis reptilia 7,3 dari jenis reptilia dunia, 1 531 jenis burung 17 dari jenis burung
dunia, 270 jenis amfibi, serta lebih dari 38 000 yang diantaranya 1 260 jenis bernilai medis Dephut 2008. Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur
hayati di alam yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang bersama dengan unsur non hayati di lingkungannya secara keseluruhan membentuk sistem hubungan
timbal balik, saling bergantung dan mempengaruhi. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi sumber pangan dan tanaman obat, daerah tujuan wisata maupun
14 penyerap karbon dunia. Sumber daya ini merupakan aset untuk pembangunan
bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pengelolaan terhadap aset ini bukan hal yang mudah. Sejauh ini, sumber daya alam hayati dipandang sebagai sumber
daya yang dapat dieksploitasi dengan mudah tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya Bappenas 2003. Peran pelestarian sumber daya alam yang
terbarukan bagi pembangunan berkelanjutan menurut MacKinnon 2001 dapat dicapai melalui:
1 menjaga proses dan sistem pendukung kehidupan yang penting bagi
kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, 2
melestarikan keanekaragaman plasma nutfah bagi program budidaya agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya.
3 menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh
manusia, yang mendukung kehidupan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang keberadaannya tidak dapat
digantikan. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia maka upaya konservasi menjadi kewajiban bagi
setiap generasi. Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui penetapan kawasan konservasi.
IUCN 1994 mendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu kawasan daratan atau laut yang didedikasikan untuk proteksi dan pemeliharaan keanekaragaman
hayati dan sumber daya alam yang terkait dengan sosial budaya dan dikelola berdasarkan hukum atau cara lain yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi.
Pada awalnya dalam sejarah peradaban manusia, motivasi untuk mengkonservasi kawasan alam ditujukan untuk keperluan rekreasi dan untuk melindungi spesies
tertentu dalam kaitannya dengan aktifitas wisata berburu dan kepentingan lainnya. Pada waktu itu, sumber daya alam dipersepsikan tidak terbatas dan dapat
dimanfaatkan kapanpun diperlukan. Namun, persepsi ini mulai berubah sejak disadari bahwa ketersediaan kawasan alam mulai terus menurun.
Sejak itu, pembentukan kawasan konservasi tidak hanya ditujukan semata-mata untuk
15 wisata dan rekreasi saja, tetapi juga untuk melindungi keseluruhan ekosistem.
Karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kawasan konservasi merupakan manifestasi dari respon manusia menanggapi
adanya ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya alam Dixon Sherman 1990.
Taman Nasional
Yellowstone merupakan
tonggak sejarah
awal pengembangan kawasan konservasi modern. Hingga saat ini, kawasan konservasi
telah menjadi satu bentuk penggunaan lahan yang paling signifikan di muka bumi. Namun, paradigma pengembangan kawasan konservasi telah bergeser dengan
pendekatan konsep yang lebih luas, menurut Chape et al. 2005 mencakup: 1 formulasi kategori pengelolaan kawasan konservasi yang lebih spesifik
dengan mempertimbangkan lingkup dan nilai dari tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang berbeda-beda;
2 integrasi konservasi
ke dalam
agenda pembangunan
dengan mengharmonisasikan tujuan konservasi dan pemanfaatan sumber daya yang
berkelanjutan; 3 pemahaman terhadap pentingnya nilai sosial dan budaya; dan
4 pemahaman terhadap peran kawasan konservasi sebagai indikator kunci untuk menilai pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global.
Ekosistem yang
sehat merupakan
prasyarat untuk
keberlanjutan pembangunan dan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan karena
sumber daya alam hayati mendukung kehidupan manusia melalui keragaman dan fungsi ekosistem yang memberikan jasa lingkungan yang mendukung berbagai
sektor ekonomi. Namun, kecenderungan yang terjadi pada pembangunan
ekonomi secara tipikal kurang menghargai jasa dan proses ekosistem sehingga mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam hayati.
Eksploitasi yang berlebihan dari kegiatan pembangunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan kepunahan spesies dan degradasi habitat. Kondisi yang seperti ini
tidak memungkinkan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan hanya akan tercapai jika pembangunan ekonomi juga
mengintegrasikan strategi konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang efektif. Pendekatan tradisional konservasi sumber daya hayati adalah dengan melakukan
16 konservasi spesies dan mengembangkan berbagai berbagai bentuk kawasan
konservasi. Namun, keanekaragaman hayati tidak mungkin dapat terkonservasi secara efektif hanya melalui pembentukan kawasan konservasi saja.
Tekanan terhadap kawasan konservasi yang mengakibatkan fragmentasi dan degradasi
habitat akan menyebabkan penurunan viabilitas kawasan konservasi dalam jangka panjang sebagai akibat meningkatnya kerentanan spesies terhadap erosi genetik
dan perubahan iklim. Pada sisi yang lain, manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem alam. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi dan
kesejahteraan manusia sangat bergantung kepada komponen lain dan interaksi manusia dengan komponen lain dalam ekosistem. Kondisi tersebut memunculkan
pemahaman bahwa untuk mempertahankan eksistensi sumber daya alam hayati hanya mungkin dicapai melalui pengelolaan kawasan terpadu yang dapat
memenuhi kebutuhan manusia, memelihara dan merestorasi integritas ekosistem dan mengkonservasi sumber daya hayati secara simultan Pirot et al. 2000.