Internal Manajemen Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah

88 Tabel 7 Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif No Wilayah Administratif Luas hektar Persentase Propinsi Total TNKS 1 Propinsi Jambi Kabupaten Kerinci 215 000 47.76 15.47 Kabupaten Bungo 86 364 19.18 6.22 Kabupaten Merangin 148 833 33.06 10.71 Sub Total 450 197 100.00 32.40 2 Prop. Sumatera Barat Solok dan Solok Selatan 81 165 23.31 5.84 Dharmasraya 5 993 1.72 0.43 Kab. Pesisir Selatan 260 968 74.96 18.78 Sub Total 348 125 100.00 25.05 3 Propinsi Bengkulu Kab. Bengkulu Utara dan Kab. Muko-Muko 188 474 55.34 13.56 Kab. Lebong dan Rejang Lebong 152 101 44.66 10.95 Sub Total 340 575 100.00 24.51 4 Prop. Sumatera Selatan Kab. Musi Rawas 243 997 97.36 17.56 Lubuk Linggau 6 616 2.64 0.48 Sub Total 250 613 100.00 18.04 Total 1 389 509 100.00 Sumber: TNKS 2005a Sampai tahun 2006, organisasi TNKS adalah Balai Taman Nasional dengan mandat tugas pokok dan fungsi yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1 menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional, 89 2 pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional, 3 perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran kawasan, 4 promosi, informasi, bina wisata dan cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 5 kerjasama pengelolaan taman nasional, dan 6 pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Taman nasional merupakan bagian dari suatu wilayah yang lebih luas dan keberadaannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan adanya interaksi, baik langsung maupun tidak langsung antara kawasan taman nasional beserta sumber daya alam hayati yang terkandung di dalamnya dengan daerah dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi taman nasional akan dipengaruhi oleh karakteristik kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non hayati oleh masyarakat sekitar. Interaksi antara masyarakat sekitar dengan taman nasional sampai saat ini masih cenderung kurang menguntungkan bagi pengelolaan taman nasional. Hal ini disebabkan karena batas kawasan TNKS yang panjangnya ± 2 503 km berbatasan langsung dengan kawasan budidaya sehingga memunculkan berbagai permasalahan, antara lain perambahan lahan, penebangan liar, pencurian satwa liar, konversi untuk pembangunan jalan, dan pemukiman TNKS 2005a. Pencurian hasil hutan dan penebangan liar dikarenakan masih terdapatnya ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumber daya alam yang terdapat di dalam kawasan baik berupa kayu dan non kayu. Permasalahan pengelolaan seperti perambahan dan penebangan liar tidak hanya dihadapi oleh pengelola taman nasional di Indonesia. Hal yang sama terjadi juga di negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Nepal Agrawal Gupta 2005. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola, baik karena luasnya kawasan maupun tekanan kegiatan manusia yang kurang mendukung maka melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional ditetapkan arahan pengelolaan yang mencakup kebijakan: 1 pengembangan kelembagaan, profesionalisme dan efisiensi pengelolaan, 90 2 pengelolaan konservasi kawasan, 3 pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati, 4 perlindungan dan pengamanan hutan, 5 pengembangan pariwisata alam, 6 pengendalian kebakaran hutan, 7 penyuluhan, informasi dan promosi, 8 pembinaan daerah penyangga dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, 9 pengembangan kerjasama kemitraan dan jejaring kerja. Sejak 1 Februari 2007 TNKS berubah status menjadi UPT Taman Nasional Kelas I atau Balai Besar Taman Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Perubahan status ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur internal organisasi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10. Pengelola taman nasional masih tetap berada dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sedangkan tugas pokoknya adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional. Tugas ini dilakukan dengan penyelenggaraan fungsi: 1 penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional, 2 pengelolaan kawasan taman nasional, 3 penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional, 4 pengendalian kebakaran hutan 5 promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 6 pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 7 kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan, 8 pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional, 9 pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan 10 pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. 91 Gambar 10 Struktur organisasi pengelola TNKS Berdasarkan struktur pengelolaan yang baru ini, tugas dan fungsi eksternal, seperti pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, penyuluhan dan informasi, pengembangan koperasi dan pemberdayaan masyarakat secara eksplisit telah dimandatkan dan diwadahi dalam struktur organisasi. Dalam pelaksanaan tugas yang bersifat eksternal ini akan sulit untuk berlangsung efektif jika tidak dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan di luar organisasi pengelola taman nasional. Untuk itu, upaya peningkatan koordinasi teknis secara khusus disiapkan oleh Bidang Teknis Konservasi meliputi bidang: 1 perlindungan dan pengamanan kawasan, penyiapan dan penegakan hukum, 2 pengawetan tumbuhan dan satwa liar, 3 pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan 92 4 penyuluhan, bina cinta alam, pengembangan koperasi dan pemberdayaan masyarakat. Untuk keperluan pengelolaan taman nasional, khususnya TNKS yang memiliki luasan yang besar, pembagian peruntukan kawasan ke dalam zona berdasarkan fungsi dan peruntukannya merupakan langkah utama sebagai landasan pengelolaan. Penetapan zona dalam kawasan TNKS oleh Pemerintah dilakukan dengan ketentuan berdasarkan fungsi dan peruntukannya, meliputi: 1 Zona Inti adalah bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alami, baik flora, fauna atau fisiknya masih asli dan atau belum terganggu oleh manusia yang mutlak perlu dilindungi agar dapat berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2 Zona Rimba adalah bagian dari taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan. 3 Zona Pemanfaatan adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya. 4 Zona Rehabilitasi adalah bagian taman nasional yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. 5 Zona Tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat adat yang kehidupannya memiliki ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona tradisional merupakan areal penyangga yang mengelilingi zona khusus. Sumber daya alam hayati tertentu yang berada dalam zona ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat dengan memperhatikan kelestariannya. 6 Zona Khusus adalah bagian dari taman nasional yang karena kondisinya tidak dapat dihindarkan dari keberadaan kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya sebelum wilayah TNKS ditetapkan sebagai taman nasional. Zona khusus di TNKS berupa kawasan pemukiman penduduk, sarana telekomunikasi, transportasi dan listrik yang memotong kawasan taman nasional. 93 Sedangkan penetapan luasan masing-masing zona TNKS yang digunakan sebagai dasar pengelolaannya meliputi: 1 Zona Inti seluas ± 744 990 atau 53.62 yang meliputi kawasan di punggung Bukit Barisan Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Muko-Muko, Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Lebong, Musi Rawas, dan Lubuk Linggau, 2 Zona Rimba seluas ± 463 394 hektar atau 33.35 yang meliputi kawasan yang mengelilingi Zona Inti, 3 Zona Pemanfaatan seluas ± 17 802 hektar atau 1.28, 4 Zona Rehabilitasi seluas ± 136 791 hektar atau 9.84, 5 Zona Khusus seluas ± 13 789 hektar atau 0.99, dan 6 Zona Tradisional seluas ± 12 733 hektar atau 0.92. Luasan zona yang terdapat di daerah penelitian disajikan pada Tabel 8, sedangkan sebaran luasan zona TNKS secara keseluruhan disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa proporsi zona inti dan rimba kawasan TNKS yang berada di Kabupaten Kerinci lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten Lebong. Sedangkan zona pemanfaatan dan rehabilitasi yang berada di Kabupaten Lebong lebih luas dibandingkan di Kabupaten Kerinci. Jika pemanfaatan sumber daya taman nasional hanya mungkin dilakukan di zona pemanfaatan maka dapat diartikan bahwa potensi manfaat ekonomi taman nasional secara langsung lebih besar di Kabupaten Lebong. Zona pemanfaatan di Kabupaten Lebong berada di Bukit Gedang Seblat dan Pal VIII yang dapat dimanfaatkan untuk wisata agro, situs budaya, pengamatan satwa, bird watching, perkemahan, pendakian, dan wisata alam. Namun, potensi pemanfaatan ini belum dikembangkan secara optimal. Sedangkan di Kabupaten Kerinci meskipun luasan zona pemanfaatannya lebih sempit tetapi objek wisata alamnya lebih banyak, antara lain Gunung Kerinci, Gunung Belerang, Gunung Masurai, panorama alam Bukit Tapan, air terjun Sungai Mentilin dan Mendikit, Danau Gunung Tujuh, Belibis, dan Danau Duo. Di samping itu, zona rehabilitasi yang luas di Kabupaten Lebong menunjukkan bahwa aktifitas penduduk yang dapat dikategorikan merusak taman nasional lebih besar di Kabupaten Lebong. Kerusakan ini 94 umumnya terjadi di wilayah perbatasan akibat kegiatan perambahan lahan untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan rakyat. Pada saat yang sama, jika upaya rehabilitasi akan dilakukan pada zona ini dengan melibatkan masyarakat sekitar maka potensi manfaat ekonomi langsung dari kegiatan rehabilitasi juga lebih besar untuk Kabupaten Lebong. Tabel 8 Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan LebongRejang Lebong No Zona Kabupaten Kerinci Kabupaten Lebong Rejang Lebong Luas ha TNKS Luas ha TNKS 1 Inti 109 480 7.9 48 880 3.5 2 Rimba 102 827 7.4 72 197 5.2 3 Pemanfaatan 6 0.0 1 855 0.1 4 Rehabilitasi 2 641 0.2 29 168 2.1 5 Tradisional - - - - 6 Khusus 46 - - Total 215 000 15.5 152 101 10.9 Sumber: TNKS 2005a Pendanaan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu isu kritis untuk efektfitas pengelolaan. Keterbatasan dana mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan personil dan sarana prasarana pendukung untuk menunjang aktifitas pengelolaan yang efektif. Pendanaan pengelolaan taman nasional selama ini masing bergantung pada Pemerintah melalui dana APBN dan untuk taman nasional tertentu juga memiliki dukungan dana debt for nature swap DNS. Berdasarkan data tahun 2006, biaya pengelolaan TNKS secara total berjumlah Rp.7 495 000 000,- yang diperuntukkan bagi berbagai kegiatan dengan proporsi seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Sebagian besar anggaran sejumlah 4.2 miliar rupiah 53.4 dipergunakan untuk administrasi umum. Jika alokasi dana mencerminkan prioritas maka pengamanan dan perlindungan hutan merupakan kegiatan paling penting di luar kegiatan administrasi. Selanjutnya 95 kegiatan konservasi kawasan dan pengembangan pariwisata alam. Alokasi anggaran sebesar ini masih berdampak pada keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung pengelolaan TNKS yang efektif. Alokasi belanja anggaran beberapa taman nasional di Amerika Serikat menunjukkan proporsi belanja untuk manajemen dan administrasi umum berkisar antara 7-15 dari total pengeluaran. Taman nasional Yellowstone membelanjakan anggarannya untuk manajemen dan administrasi umum sejumlah 7.8 dari total pengeluaran sebesar US 3.8 juta YPF 2005, sedangkan taman nasional Acadia Stevens 2006 dan Everglades proporsi pengeluaran untuk manajemen dan administrasi masing-masing sejumlah 15 dan 13. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa dukungan dana pengelolaan TNKS masih terbatas dan belum mampu untuk membiayai fungsi- fungsi manajemen yang lain seperti hubungan dengan masyarakat, pelayanan pengunjung maupun penelitian konservasi. Anggaran biaya optimal yang diperlukan untuk pengelolaan TNKS menurut McQuistan et al. 2006 diperkirakan sejumlah Rp.25 500.- per hektar per tahun sedangkan ketersediaan anggaran biaya pengelolaan aktual masih berkisar Rp.6 500.- per hektar per tahun. Gambar 11 Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS 2005a 96 Gambar 12 Proporsi belanja anggaran pengelolaan TNKS TNKS 2007

4.3 Kondisi Fisik Kawasan

Kebijakan penetapan taman nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Kawasan Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan taman nasional merupakan suatu kawasan pelestarian alam yang dikelola untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan. Jika salah satu indikator efektifitas tujuan pengelolaan adalah tingkat kerusakan tutupan hutan dalam kawasan maka penetapan taman nasional dapat diargumentasikan cukup efektif untuk mengurangi laju pengurangan tutupan lahan hutan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9 menunjukkan data perubahan tutupan lahan hutan di wilayah administratif kabupaten yang tidak berada di dalam kawasan TNKS, sedangkan luas tutupan lahan hutan yang berada dalam kawasan TNKS ditunjukkan pada Tabel 10. 97 Berdasarkan atas data perubahan tutupan lahan hutan pada wilayah administratif yang sama, secara total luasan hutan di kawasan luar taman nasional antara tahun 1985 dan 1995 berkurang 4.8 112 164 hektar, sedangkan kawasan hutan di dalam TNKS hanya berkurang 0.5 6 824 hektar. Hal yang sama antara tahun 1995 dan 2002 terlihat bahwa luas hutan di luar kawasan TNKS berkurang 5.8 130 145 hektar sedangkan yang berada di dalam kawasan TNKS berkurang 0.9 19 220 hektar. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa penetapan kawasan TNKS dapat efektif untuk mengurangi laju perubahan tutupan hutan atau deforestasi. Walaupun demikian, kelembagaan taman nasional bukan merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk perlindungan kawasan hutan Hayes Ostrom 2005; Hayes 2006. Tabel 9 Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS No Wilayah Tutupan Hutan ha Perubahan Tutupan Hutan 1985 1995 2002 19851995 19952002 1 Bengkulu Utara 430 010 352 530 333 126 - 18.0 - 5.5 2 Bungo 131 269 133 016 120 309 1.3 - 9.6 3 Kerinci 221 649 220 274 212 692 - 0.6 - 3.4 4 Merangin 312 080 309 808 289 324 - 0.7 - 6.6 5 Musi Rawas 296 749 287 576 281 597 - 3.1 - 2.1 6 Pesisir Selatan 325 865 328 477 314 594 0.8 - 4.2 7 Rejang Lebong 149 162 141 384 130 762 - 5.2 - 7.5 8 Sawah Lunto 56 986 43 569 35 885 - 23.5 -17.6 9 Solok 432 639 427 612 395 812 - 1.2 - 7.4 Total 2 356 410 2 244 246 2 114 101 - 4.8 - 5.8 Sumber: TNKS Desentralisasi kewenangan politik dan administratitif telah memberikan implikasi yang nyata terhadap cara pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan konservasi sumber daya alam hayati Kothari Pathak 2006. Tingkat