Partisipasi Masyarakat Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah

21 pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Masyarakat akan berpartsisipasi jika terdapat faktor pendorong, seperti kebutuhan, harapan, keuntungan dan tersedianya kelembagaan untuk berpartisipasi. Berdasarkan definisi tersebut maka secara garis besar partisipasi masyarakat memiliki karakteristik yang mencakup: 1 partisipasi publik diaplikasikan dalam pengambilan keputusan administratif lembaga pemerintah, 2 tidak hanya penyediaan informasi kepada publik melainkan terjalinnya interaksi antara organisasi pengambil keputusan dengan masyarakat yang ingin berpartisipasi, 3 partisipasi publik melibatkan proses yang terorganisasi dan terencana untuk melibatkan publik, bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja, dan 4 partisipan berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat Creighton 2005. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan untuk mengeksplorasi persoalan pengelolaan dalam tahap penetapan tujuan, perencanaan, implementasi, maupun monitoring. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik karena informasi dan perspektif para pihak yang penting untuk efektifitas pengelolaan akan tertangkap secara efektif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang beragam akan mendorong tumbuhnya pembelajaran sosial karena memungkinkan berlangsungnya transformasi relasi, perubahan persepsi dan mengidentifikasi cara baru untuk bekerja sama mencapai tujuan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dapat digunakan sebagai sarana komplementer untuk menutupi kelemahan pendekatan topdown yang selama ini banyak diterapkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga legitimasi dan dukungan masyarakat akan meningkat Stringer et al. 2006. Secara umum terdapat tiga faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional, mencakup: 1 kemauan, 2 kemampuan, dan 3 kesempatan. Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kerugian yang diperolehnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, seperti tingkat pendidikan formal, non formal dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat, serta variabel kebijakan Brännlund et al. 2009. Oleh karena itu, faktor-faktor penting yang 22 menentukan partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan taman nasional perlu dipahami dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan. Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional pada umumnya telah mempunyai hubungan yang panjang dengan taman nasional dan dapat mempunyai peran penting dalam pengelolaan taman nasional. Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional akan mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi antara masyarakat lokal dengan taman nasional. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif terhadap taman nasional, yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan taman nasional Ormsby Kaplin 2005. Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya dari masyarakat. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnik dapat secara signifikan membentuk persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional Mehta Heinen 2001; Jim et al . 2002; Cihar Stankova 2006; Allendorf 2007; Allendorf et.al. 2007. Persepsi masyarakat lokal terhadap taman nasional dipengaruhi oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumber daya taman nasional Badola 1998, Soto et al. 2001; Silori 2007, maupun pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional Ormsby Kaplin 2005. Selanjutnya, pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman nasional Kideghesho et al. 2007; Spiteri Nepal 2008. Mengingat kondisi masyarakat lokal yang tidak homogen dan memiliki tata nilai yang mungkin tidak sama maka akan menyebabkan relasi dan sikap masyarakat lokal terhadap sumber daya alam atau taman nasional akan sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga Geoghehan Renard 2002. Pengabaian terhadap perbedaan ini dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang Agrawal Gibson 1999. Dengan demikian, identifikasi stakeholder Achterkamp Vos 2007 dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap stakeholder terhadap upaya konservasi dan 23 taman nasional sangat diperlukan sebagai masukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi untuk peningkatan peran serta masyarakat agar efektifitas pengelolaan taman nasional dapat meningkat.

2.4 Pembangunan Berkelanjutan

Alternatif lain dari keberlanjutan secara implisit hanya ada satu, yaitu ketidak berlanjutan. Namun, karena keberlanjutan melibatkan dimensi waktu maka ancaman terhadap keberlanjutan untuk menjadi keadaan yang tidak berkelanjutan sangat jarang mengimplikasikan suatu ancaman yang akibatnya dapat segera dirasakan. Terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara ancaman terhadap keberlanjutan dengan realisasi kondisi menjadi ketidak berlanjutan. Di masa lampau, pembangunan lebih ditekankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pelaku pembangunan kurang menyadari adanya ancaman terhadap keberlanjutan pembangunan. Ancaman ini muncul karena pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas yang berbasis pada sumber daya yang terbatas merupakan hal yang tidak mungkin untuk dapat berlanjut secara terus menerus. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan masyarakat dunia akan aktifitas manusia yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan manusia telah berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, didefinisikan untuk pertama kalinya dalam World Conservation Strategy IUCN 1980 sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED 1987 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan kemanusiaan yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pengertian ini, 24 pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan kondisi harmoni yang statis terhadap pemenuhan kebutuhan antar generasi, tetapi lebih merupakan proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, kegiatan investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan diarahkan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan mempunyai 3 dimensi utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan. Dimensi ekonomi didasari oleh prinsip bahwa kemiskinan dihilangkan dan kesejahteraan masyarakat ditingkatkan, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Dimensi sosial mengacu kepada keterkaitan antara alam dan manusia, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemenuhan standar minimal keamanan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dimensi ini juga mengacu kepada pembangunan keragaman budaya, pluralisme dan pelibatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Aspek keadilan equity, yaitu distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dari dimensi ekonomi dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Dimensi lingkungan meliputi upaya konservasi dan perbaikan basis sumber daya fisik, biologi dan ekosistem. Sedangkan Barbier 1987 menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di negara berkembang tujuan utamanya sebaiknya adalah mengurangi kemiskinan absolut melalui penyediaan penghidupan yang layak dan berkelanjutan dan yang meminimalkan deplesi sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan ketidak stabilan sosial budaya.