Kondisi Fisik Kawasan Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah
97 Berdasarkan atas data perubahan tutupan lahan hutan pada wilayah
administratif yang sama, secara total luasan hutan di kawasan luar taman nasional antara tahun 1985 dan 1995 berkurang 4.8 112 164 hektar, sedangkan kawasan
hutan di dalam TNKS hanya berkurang 0.5 6 824 hektar. Hal yang sama antara tahun 1995 dan 2002 terlihat bahwa luas hutan di luar kawasan TNKS
berkurang 5.8 130 145 hektar sedangkan yang berada di dalam kawasan TNKS berkurang 0.9 19 220 hektar. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa
penetapan kawasan TNKS dapat efektif untuk mengurangi laju perubahan tutupan hutan atau deforestasi. Walaupun demikian, kelembagaan taman nasional bukan
merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk perlindungan kawasan hutan Hayes Ostrom 2005; Hayes 2006.
Tabel 9 Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS
No Wilayah
Tutupan Hutan ha Perubahan Tutupan
Hutan
1985 1995
2002 19851995
19952002 1
Bengkulu Utara 430 010
352 530 333 126
- 18.0 - 5.5
2 Bungo
131 269 133 016
120 309 1.3
- 9.6 3
Kerinci 221 649
220 274 212 692
- 0.6 - 3.4
4 Merangin
312 080 309 808
289 324 - 0.7
- 6.6 5
Musi Rawas 296 749
287 576 281 597
- 3.1 - 2.1
6 Pesisir Selatan
325 865 328 477
314 594 0.8
- 4.2 7
Rejang Lebong 149 162
141 384 130 762
- 5.2 - 7.5
8 Sawah Lunto
56 986 43 569
35 885 - 23.5
-17.6 9
Solok 432 639
427 612 395 812
- 1.2 - 7.4
Total 2 356 410
2 244 246 2 114 101
- 4.8 - 5.8
Sumber: TNKS
Desentralisasi kewenangan politik dan administratitif telah memberikan implikasi yang nyata terhadap cara pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya
hutan dan konservasi sumber daya alam hayati Kothari Pathak 2006. Tingkat
98 kerusakan kawasan hutan juga banyak dikaitkan dengan perubahan kelembagaan
politik setelah pemberlakuan
otonomi daerah McCarthy 2002.
Tabel 10 Tutupan hutan dan perubahannya di kawasan TNKS
No Wilayah
Tutupan Hutan ha Perubahan Tutupan
Hutan
1985 1995
2002 19851995
19952002 1
Bengkulu Utara 213 248
213 541 213 099
+0.1 -0.2
2 Bungo
37 016 36 945
36 945 -0.2
0.0 3
Kerinci 211 692
210 666 205 789
-0.5 -2.3
4 Merangin
140 754 141 419
139 554 +0.5
-1.3 5
Musi Rawas 224 193
223 934 220 971
-0.1 -1.3
6 Pesisir Selatan
256 140 254 913
252 736 -0.5
-0.9 7
Rejang Lebong 116 526
116 194 111 714
-0.3 -3.9
8 Sawah Lunto
3 560 3 534
3 534 -0.7
0.0 9
Solok 72 305
67 463 65 049
-6.7 -3.6
Total 1 275 434
1 268 610 1 249 390
-0.5 -1.5
Sumber: TNKS 2005a Implementasi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam di daerahnya, termasuk sumber daya hutan diduga meningkatkan laju
kerusakan hutan. Jika data perubahan tutupan hutan antara tahun 1985 dan 1995 dapat diasumsikan sebagai representasi sebelum otonomi daerah dan perubahan
antara tahun 1995 dan 2002 sebagai representasi era otonomi daerah maka pada era otonomi daerah cenderung menyebabkan penurunan tutupan lahan yang lebih
tinggi. Kecenderungan ini terjadi baik pada kawasan hutan di luar TNKS maupun di dalam TNKS, walaupun perubahan tutupan hutan di dalam TNKS lebih rendah.
Peningkatan laju kerusakan kawasan hutan diduga karena adanya perubahan peruntukan penggunaan lahan maupun penebangan liar.
Perubahan struktur politik setelah otonomi daerah menyebabkan Pemerintah Daerah mengusahakan
99 peningkatan pendapatan asli daerah melalui eksploitasi sumber daya alam, dan
sumber daya hutan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan dengan segera dan mudah McCarthy 2002.
Deforestasi secara langsung terjadi akibat adanya kebutuhan terhadap kayu, baik untuk pemenuhan kebutuhan domestik
maupun sebagai komoditas, dan kebutuhan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Sedangkan penyebab yang mendasarinya antara lain adalah pertumbuhan
penduduk, tingkat pendapatan, maupun tingkat kemiskinan Angelsen Kaimowitz 1999. Untuk memperbaiki kerusakan lahan hutan, TNKS melakukan
kegiatan reboisasi seluas 125 hektar pada tahun 2004, 200 hektar tahun 2005, 400 hektar tahun 2006 dan 600 hektar pada tahun 2007.
Salah satu jasa lingkungan adalah sumber daya air. Kawasan TNKS
merupakan hulu dari beberapa daerah aliran sungai DAS penting di Sumatera, seperti sungai Ketahun, Musi dan Batanghari Tabel 11.
Kawasan Sub DAS Ketahun paling luas di TNKS yang mencapai 100 195 hektar dan yang kedua
terluas adalah Sub DAS Batang Tebo. Kawasan DAS ini memiliki potensi untuk dikembangkan dalam skema imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan air
yang dapat dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga air Minimikro hidro, sumber air dalam kemasan, maupun pemanfaatan untuk pariwisata alam.
Beberapa kawasan yang dapat di kembangkan sebagai wisata alam air di kawasan TNKS, diantaranya Air Terjun Tembulun, Air Terjun Lumpo dan Air Terjun
Muara Sako di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat; Danau Gunung Tujuh, Air Terjun Gunung Tujuh, Danau Belibis, Air Terjun Telun Berasap, Air Terjun
Pauh Sago di Kabupaten Kerinci; dan Danau Pauh, Air Terjun Sungai Mendikit, Air Terjun Sungai Sako, Danau Depati Empat di Kabupaten Merangin.
100 Tabel 11 Luasan daerah aliran sungai di kawasan TNKS
No Provinsi
DAS Sub DAS
Luas ha
Luas di TNKS 1
Bengkulu Pantai Barat Teramang
Selagan Seblat
Ketahun Ipuh
Dikit Batang Manjunto
63 265 71 924
104 239 239 006
76 029 106 442
84 538 46.6
22.0 71.5
41.9 62.5
8.3 14.6
2 Jambi
Batanghari
Pantai Barat Sangir
Batang Tebo Batang Tabir
Batang Merangin
Selagan Indrapura
Dikit Batang Manjunto
31 659 184 658
294 347 331 663
5 919 50 718
87 659 27 603
60.1 30.4
7.8 10.4
100.0 87.1
82.1 96.9
Sumber: TNKS 2005b