Struktur Vegetasi Mangrove Ekostruktur Mangrove
                                                                                65 Tabel 12 Indek Nilai Penting INP mangrove setiap 300 m
2
Spesies INDEKS NILAI PENTING
TTB PNP
PJB TJK
PB2 1
2 3
1 2
3 1
2 3
1 2
3 1
Aegiceras foridum 191,16
Avicennia officinalis 154,38
139,09 190,82
88,25 216,90
Bruguiera gymnorrhiza 60,61
108,84 85,17
Ceriops decandra 119,42
71,11 27,69
40,26 Ceriops tagal
26,20 29,19
83,69 27,95
179,37 111,78
Pandanus tectorius 300,00
300,00 300,00
Rhizophora apiculata 70,95
120,63 142,25
224,46 182,64
Rhizophora mucronata 25,49
40,17 53,00
71,32 Sonneratia alba
77,31 75,54
64,36
Sumber : Analisis data lapang 2011 Tabel 13 Indek keanekaragaman
H’, E keseragaman, dan Dominansi D
Stasiun Keanekaragaman H
Keseragaman E Dominansi D
TJT 1
0,930 2,875
0,426 2
1,039 3,343
0,408 3
0,659 2,172
0,534 PNP
1 1
2 1
3 1
PJB 1
0,927 2,776
0,435 2
0.876 2.746
0.102 3
0,863 3,139
0,452 TJK
1 0,996
3,033 0,483
2 0,199
0,595 0,905
3 0,689
2,129 0,624
PB2 1
1,046 3,080
0,368
Sumber : Analisis data lapang 2011
66 5.2
Karakteristik Biofisik Lingkungan 5.2.1
Parameter Fisika Kimia Perairan
Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pengukuran  kualitas  air  ini  dilengkapi  dengan  suhu  udara  sebagai  faktor
pendukung.  Pengukuran  kualitas  air  ini  dibagi  pada  beberapa  stasiun  penelitian yang  didasarkan  pada  lokasi  dimana  didapat  pusat  pencemaran,  ekosistem
mangrove,  dan  juga  perairan  setelah  ekosistem  mangrove.  Pengambilan  sample dan  pengukuran  kualitas  lingkungan  dilaksanakan  berdasar  informasi  pasang
tertinggi  dan  surut  terendah  pada  siang  hari  yaitu  pada  pukul  10.00-13.00  WIB pasang  dan  pukul  15.00-17.00  WIB  surut.  Pembagian  stasiun  tersebut
dijelaskan pada Tabel 10.
Sumber : Data Dishidros 2011 Gambar 13 Kondisi pasang surut pada lokasi penelitian a Bulan Maret b Bulan
April Tahun 2011 Berdasarkan  data  sekunder  yang  diperoleh  dari  Dinas  Hidrooseanografi
TNI AL DISHIDROS menunjukkan bahwa tipe pasang surut permukaan air laut di Pulau Sepanjang adalah bersifat harian tunggal diurnal tide. Tipe pasang surut
ini  memiliki  pengertian  bahwa  pada  pulau  ini  hanya  terdapat  satu  kali  periode pasang  dan  satu  kali  surut  dalam  sehari.  Pasang  surut  pada  penelitian  ini
a
b
67 berpengaruh bagi waktu sampling. Pengambilan sample penelitian dilakukan pada
saat  pasang  tertinggi  dan  surut  terendah.  Adapun  kondisi  pasang  surut  dilokasi
penelitian saat dilakukan sampling adalah sebagai berikut Gambar 13.
Pasang surut memiliki peran penting terhadap keberadaan bahan pencemar disuatu  lingkungan.  Pasang  surut  juga  berpengaruh  signifikan  terhadap
keberlangsungan  ekosistem  mangrove.  Bagi  mangrove,  pasang  surut  sangat berpengaruh terhadap perpindahan massa air tawar dan laut yang secara langsung
mempengaruhi  distribusi  vertikal  spesies  mangrove dan  zonasi  Bengen  dan
Dutton,  2004.  Selain  itu,  rentang  pasang  surut  dapat  mempengaruhi  sistem perakaran dan penyebaran propagul mangrove. Di daerah dengan rentang pasang
yang  lebar,  pneumatofora  Rhizophora,  Sonneratia,  dan  Aegialites  tumbuh  lebih tinggi  daripada  di  daerah  yang  rentangnya  sempit.  Terkait  dengan  pencemaran,
pasang  surut  memiliki  peran  penting  dalam  mendistribusikan  bahan  pencemar kelaut.
Suhu  merupakan  salah  satu  parameter  fisika  yang  menjadi  faktor  utama dalam  mempengaruhi  kondisi  lingkungan.  Suhu  sangat  mempengaruhi  proses
fisika maupun kimia perairan sehingga berperan penting bagi ekosistem perairan khususnya  biota  yang  berada  di  dalam  perairan.  Hasil  penelitian  menunjukkan
bahwa suhu udara pada saat pasang dari seluruh stasiun berkisar antara 28,83 C
– 30,83
C  dan  surut  28 C
–  30,33 C  Gambar  14,  15,  dan  16.  Secara  umum
perbedaan  suhu  tidak  terlalu  signifikan.  Pada  umumnya  lokasi  yang  memiliki suhu  udara  rendah  adalah  pada  stasiun  yang  berada  pada  daerah  mangrove  dan
point  source .  Hal  tersebut  dikarenakan  stasiun-stasiun  tersebut  masih  berada  di
daerah yang tidak mendapatkan penyinaran langsung dari sinar matahari. Adapun stasiun  yang  memiliki  suhu  tinggi  yaitu  pada  stasiun  yang  berada  pada  daerah
perairan laut yang mendapatkan pemaparan sinar matahari secara langsung. Pengambilan  data  suhu  air  dilakukan  dalam  waktu  yang  sama  dengan
pengambilan  data  suhu  udara.  Hasil  pengukuran  yang  dilakukan  di  12  stasiun penelitian menunjukkan bahwa  suhu air pada saat pasang berkisar antara 28,5
C - 30.5
C dan pada saat surut perkisar antara 28,17 C
– 30,67 C Gambar 14, 15, dan
16.  Suhu  udara  dan  suhu  air  memiliki  korelasi  yang  kuat  diantara  keduanya. Demikian  halnya  yang  terjadi  pada  lokasi  penelitian  yang  menunjukkan  bahwa
68 perbedaan  suhu  antara  atmosfer  dan  air  berkorelasi  positif  dengan  cuaca  dan
waktu  pengambilan  data.  Stasiun  Tanjung  Tembing  dan  stasiun  Panamparan adalah bukti bahwa cuaca sangat berpengaruh, dikarenakan saat pengambilan data
dilakukan pada saat cuaca mendung sedangkan stasiun lainnya pada saat kondisi cuaca  cerah.  Tingginya  suhu  pada  saat  pasang  dari  pada  saat  surut  di  hampir
seluruh  stasiun  dikarenakan  pengambilan  data  dilakukan  pada  siang  hari  yaitu pada  pukul  10.00
–  13.00  WIB  sehingga  menyebabkan  suhu  air  tinggi  karena mendapatkan  sinar  matahari  secara  langsung.  Sedangkan  data  surut  dilakukan
pengambilan  pada  sore  hari  jam  15.00-17.00  WIB  dimana  intensitas  matahari yang diterima lebih sedikit dibandingkan siang hari.
Suhu  memiliki  peranan  penting  bagi  kehidupan  biota  perairan.  Effendi 2003 menyatakan bahwa suhu memiliki peran terhadap proses fisika kimia dan
biologi.  Setiap  organisme  yang  memiliki  kisaran  suhu  maksimum  maupun minimum  dalam  melangsungkan  kehidupannya.  Kenaikan  suhu  dapat
meningkatkan  laju  metabolisme  pada  organisme  Affandi  dan  Tang,  2002. Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat pula laju metabolisme yang terjadi
dan mengakibatkan oksegen terlarut DO yang ada di perairan semakin menurun karena  banyak  dimanfaatkan  oleh  organisme.  Siagian  2001  in  Suwondo  et  al.,
2010 menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25 - 32
C. Welch 1980 in Diniarti 2010 menambahkan bahwa suhu  diatas  34
– 40 C  merupakan  suhu  letal  yang  dapat  menyebabkan  kematian
bagi makroavertebrata bentik.  Saenger 2002 menambahkan bahwa laju respirasi dan  fotosintesis  memiliki  dampak  yang  sangat  signifikan  dengan  laju  terendah
apda suhu 17 C dan tertingggi pada suhu 25
C. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis,
seperti  fotosintesis  dan  respirasi.  Pertumbuhan  mangrove  yang  baik  memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20
C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5
C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10
C Kusmana, 2008. Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya  : musim, ketinggian dari permukaan laut,  limbah, lintang, penutupan
awan,  sirkulasi  udara,  aliran,  serta  kedalaman  suatu  perairan  Effendi  2003; Nurjaya 2006.
69
Gambar 14 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun pusat pencemaran
70 Salinitas  khususnya  diwilayah  pesisir  terlebih  lagi  di  ekosistem  mangrove
memiliki  tingkat  fluktuasi  yang  tinggi.  Hal  tersebut  dikarenakan  wilayah  pesisir merupakan daerah peralihan pasang surut dimana pengaruh darat dan laut sangat
berpengaruh  terhadap  mangrove  maupun  habitat  biota  akuatik.  Pada  lokasi penelitian  untuk  salinitas  terbagi  menjadi  3  yaitu  :  pertama,  untuk  lokasi  point
source pencemaran  A1,  A4,  A7  dan  A10  yaitu  berkisar  antara  4,33
– 16,67
00
pada  saat  surut  dan  4,00 –  17,00
00
pada  saat  pasang;  kedua,  pada  ekosistem mangrove  A8,  A11  dan  A13  berkisar  antara  28,50
– 29,67
00
saat  pasang  dan 28,00
– 28,33
00
saat surut; ketiga, yaitu pada lokasi kearah laut setelah ekosistem mangrove  A3,  A6,  A9,  A12  dan  14  memiliki  salinitas  28,83
–  33,67
00
saat pasang  dan  28,17
–  32,50
00
saat  surut  Gambar  14,  15,  dan  16.  Rendahnya salinitas  di  stasiun  A1,  A4,  A7  dan  A10  dikarenakan  pada  stasiun  tersebut  air
yang diukur adalah air payau dari limbah penduduk yang berasal dari sumur yang ada di sekitar rumah mereka. Adapun stasiun A8, A11 dan A13 dimana mangrove
ditemukan, salinitas berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan mangrove yaitu sampai dengan 34
00
Kep Men  LH  No 51 Tahun 2004. Sedangkan untuk stasiun  A3,  A6,  A9,  A12  dan  14  dimana  perairan  tersebut  adalah  perairan  laut
dimana  memiliki  rata-rata  nilai  salinitas yang  tinggi  dan  sangat  mendukung  bagi kehidupan  terumbu  karang  dan  lamun  berdasarkan  Kep  Men  LH  No  51  Tahun
2004. pH  yang  biasa  dikenal  sebagai  derajat  keasaman  digunakan  sebagai
penunjuk  apakah  suatu  larutan  tersebut  bersifat  asam  atau  basa.  pH  di  perairan khususnya  pesisir  sangat  fluktuatif  tergantung  dari  masukan  air  tawar  dari  darat
maupun  air  laut.  pH  juga  sangat  dipengaruhi  oleh  pasang  dan  surut  air  laut. Sebagian  besar  biota  akuatik  memiliki  sensitifitas  yang  sangat  terhadap  pH.  pH
optimum  yang  disukai  adalah  berkisar antara  7 – 8,5 Effendi, 2003. pH sangat
mempengaruhi  proses  biokimiawi  perairan  misalnya  proses  nitrifikasi  akan berakhir  apabila  pH  rendah.  Nilai  pH  di  lokasi  penelitian  pada  saat  pasang
berkisar  antara  6,74
– 7,52 Gambar 14, 15, dan 16. Nilai pH terendah terletak
pada  stasiun  A1  dimana  pusat  pencemaran  di  desa  tersebut  berkumpul  dan tertinggi  pada  stasiun  A14  yaitu  di  Desa  Sepanjang.  Adapun  pada  saat  surut
71
Gambar 15 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun mangrove
72 berkisar antara 6,76 - 7,48 dengan nilai pH terendah berada pada stasiun A7 pusat
pencemaran dan tertinggi pada stasiun  A14 setelah ekosistem mangrove. Nilai pH tertinggi baik pasang maupun surut berada di stasiun yang  sama dikarenakan
perairan  tersebut  bersubstrat  pasir  tanpa  vegetasi  mangrove.  Berdasarkan  baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai pH pada seluruh stasiun pengamatan
berada  pada  kisaran  7,0 –  8,5  sehingga  memiliki  kondisi  yang  baik  bagi
kehidupan  organisme  dan  mangrove.  Nilai  pH  juga  sangat  berpengaruh  pada kehidupan  makrozoobentos  khususnya  kelas  gastropoda,  dimana  nilai  pH  yang
disukai adalah  7 Moss in Suwondo et al., 2006. Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh bahan organik maupun
anorganik  yang  terdapat  di  perairan  tersebut.  Kecerahan  berbanding  terbalik dengan kekeruhan dan TSS. Semakin tinggi kecerahan maka semakin rendah nilai
Kekeruhan  dan  TSS.  Demikian  pula  sebaliknya  semakin  rendah  nilai  kecerahan maka  semakin  tinggi  nilai  kekeruhan  dan  TSS.  Apabila  suatu  perairan  memiliki
nilai  kekeruhan  dan  TSS  yang  tinggi,  maka  penetrasi  cahaya  kedalam  perairan akan terganggu sehingga menyebabkan terganggunya produktivitas suatu perairan
Nybakken,  1992.  Dari  keseluruhan  stasiun  pengamatan,  nilai  kecerahan menunjukkan  angka  100.  Hal  tersebut dikarenakan  lokasi  pengambilan  sample
adalah aliran air yang kecil dan dangkal serta di pantai yang dangkal pula. Nilai  kekeruhan  menunjukkan  bahwa  stasiun  A1,  A4,  A7  dan  A10
memiliki  nilai  kekeruhan  yang  sangat  tinggi  yaitu  berkisar  antara  40,05 – 43,04
NTU  saat  pasang  45,62 –  49,13  NTU  saat  surut.  Fenomena  ini  diduga
dikarenakan  stasiun  tersebut  merupakan  kawasan  yang  paling  besar  menerima beban limbah langsung dari penduduk. Adapun stasiun A8, A11, dan A13 dimana
ekosistem mangrove berada memiliki tingkat kekeruhan yang bervarisi baik disaat pasang  maupun  surut.  Pada  saat  pasang  nilai  kekeruhan  berkisar  antara  13,1
– 30,6  NTU,  sedangkan  saat  surut  berkisar  antara  16
– 34,64 NTU. Bervariasinya nilai  tersebut  dikarenakan  kawasan  tersebut  memiliki  karakteristik  yang  berbeda
dalam  kaitannya  dengan  faktor  oseanografi  maupun  masukan  dari  daratan. Adapun stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 merupakan daerah yang memiliki nilai
kekeruhan  paling  kecil,  yaitu  berkisar  3,43 –  3,85  NTU  saat  pasang  dan  4,55  –
73
Gambar 16 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun setelah ekosistem mangrove
74 8,81  NTU  saat  surut.  Meskipun  stasiun  ini  adalah  berbatasan  langsung  dengan
laut  yang  seharusnya  memiliki  nilai  kekeruhan  yang  tinggi,  namun  demikian hampir  keseluruhan  stasiun  memiliki  nilai  kekeruhan  yang  rendah  dan  baik  bagi
biota  laut.  Berdasarkan  Kep  Men  LH  No  51  Tahun  2004  nilai  kekeruhan maksimum  untuk  biota  laut  adalah  5  NTU.  Namun    demikian  hanya  sebagian
kecil  dari  seluruh  stasiun  yang  memiliki  kekeruhan  yang  memenuhi  syarat, diantaranya  yaitu stasiun  A3,  A6,  A9, A12, dan A14 dan itupun hanya pada saat
pasang,  namun  saat  surut  hampir  seluruhnya  memiliki  kekeruhan  lebih  dari  5 NTU.  Nilai  kekeruhan  sangat  ditentukan  oleh  besarnya  nilai  kandungan  nutrien
dalam  dari  sedimen  Prartono  dan  Hasena,  2009.  Semakin  tinggi  nutrien  yang ada, maka semakin besar pula nilai kekeruhan dalam suatu perairan.
Nilai  TSS  di  seluruh  lokasi  penelitian  memiliki  nilai  yang  berbanding lurus  dengan  kekeruhan.  Pada  stasiun  A1,  A4,  A7  dan  A10  memiliki  nilai  TSS
rata-rata berkisar antara 152,79 – 183,54 mgL pada saat pasang dan 154,48-182,1
mgL  pada  saat  surut.  Tingginya  nilai  TSS  dikarenakan  banyaknya  beban pencemar  yang  terakumulasi  di  stasiun  tersebut.  Penurunan  kualitas  air  yang
dibarengi  dengan  peningkatan  nilai  TSS  akan  berdampak  langsung  dalam menghambat  laju  fotosintesis  tumbuhan  perairan  sehingga  secara  langsung  pula
menurunkan  nilai  DO  dalam  perairan  yang  diakibatkan  terhambatnya  penetrasi sinar  matahari.  Pada  stasiun  A8,  A11,  dan  A13  nilai  TSS  pada  saat  pasang
berkisar antara 87 - 106 mgL, dan pada saat surut 98 - 128 mgL. Adapun stasiun yang  berbatasan  langsung  dengan  laut  yaitu  stasiun  A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14
memiliki nilai TSS pada saat pasang berkisar antara  31 - 36 mgL dan pada saat pasang  rata-rata  berkisar  antara  37  -  69  mgL  Gambar  14,  15,  dan  16.  Secara
umum nilai TSS pada saat surut di seluruh stasiun penelitian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan saat pasang.
Kadar  oksigen  terlarut  pada  perairan  sangat  dipengaruhi  oleh  kualitas  air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan
atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis,  respirasi,  dan  limbah  Effendi,  2003.  Terkait  dengan  limbah,  kadar
oksigen bisa jadi menjadi sangat rendah sebagai akibat aktivitas mikroorganisme pengurai  yang  membutuhkan  oksigen  dalam  proses  penguraian  yang
75 mengakibatkan do menjadi rendah. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di Pulau
Sepanjang  tersebar  merata  dan  hampir  seragam  pada  stasiun  pengamatan  yang sama karakteristiknya. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai DO yang
rendah yaitu berkisar antara 4,12 – 4,33 mgL pada saat pasang dan antara 4,08 -
4,25  mgL  pada  saat  surut.  Hal  tersebut  dikarenakan  titik  pengambilan  sample merupakan  pusat  pertemuan  pencemaran  sehingga  DO  yang  ada  banyak
dimanfaatkan  oleh  bakteri  pengurai  dalam  proses  penguraian.  Adapun  pada stasiun A8, A11, dan A13 yang diambil pada wilayah mangrove diketahui bahwa
konsentrasi DO berkisar antara 5,45 – 5,80 mgL pada saat pasang dan antara 5,33
– 5,96 mgL. Sedangkan stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi do antara 5,67
– 6,34 mgL pada saat pasang dan antara 5,10 – 6,22 mgL. Berdasarkan  standar  baku  mutu  air  laut  bagi  peruntukan  biota  laut  Kep
Men LH No 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut adalah  5.  Suwondo  et  al.,  2006  menambahkan  bahwa  organisme  di  pantai
dapat  hidup  minimal  dengan  kondisi  DO  4  ppm  tergantung  dari  ketahanan organisme,  keaktifan,  kehadiran  bahan  pencemar,  dan  suhu  air.  Oleh  karena  itu
untuk seluruh stasiun yang merupakan ekosistem mangrove stasiun A8, A11, dan A13 dan stasiun di sisi laut stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 masih memenuhi
syarat  dan  baik  dalam  kondisi  pasang  maupun  surut.  Namun  untuk  stasiun  A3, A6,  A9,  A12,  dan  A14  yang  merupakan  pusat  asal  pencemaran  sudah  tidak
memenuhi  syarat  bagi  kehidupan  biota  menurut  Kep  Men  LH  No  51  Tahun 2004 namun masih sesuai menurut Suwondo et al.,  2006.
Konsentrasi bahan organik total dalam air pada stasiun pengamatan sangat bervariasi  tergantung  dimana  lokasi  pengamatan  dilakukan.  Berdasarkan  hasil
penelitian didapatkan informasi bahwa konsentrasi TOM pada stasiun A1, A4, A7 dan  A10  pada  saat  surut  adalah  sebesar  55,1
– 57,82 mgL dan pasang berkisar antara 51,05
– 55,54 mgL. Konsentrasi terbesar ditemukan pada stasiun A7 yaitu 57,82 mgL saat surut dan 55,54 saat pasang. Besarnya nilai tersebut diakibatkan
oleh banyaknya penduduk yang mendiami stasiun tersebut dan banyak membuang limbah serta pada stasiun tersebut terdapat dermaga perahu yang cukup aktif yang
berpotensi  meningkatkan  konsentrasi  bahan  organik.  Konsentrasi  bahan  organik pada  stasiun  A8,  A11,  dan  A13  saat  surut  berkisar  antara  13,66  -  30  mgL  dan
76 pasang  berkisar  antara  24,37
–  30,43  mgL.  Adapun  pada  stasiun  A3,  A6,  A9, A12, dan  A13 konsentrasi bahan organik pada saat  surut berkisar antara 10,18
– 13,93 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 12,32
– 28,65 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Secara umum konsentrasi bahan organik semakin kearah laut semakin
mengecil  khususnya  di  rentetan  stasiun  yang  melewati  ekosistem mangrove.  Hal tersebut dikarenakan bahan organik  yang melawati mengendap ke dasar perairan
dan mengalami pencucian. Fosfor  merupakan  salah  satu  nutrien  yang  dimanfaatkan  dalam
pertumbuhan alga Effendi, 2003. Fosfor yang ditemukan dalam perairan berupa ortofosfat  dan  polifosfat.  Fosfat  banyak  ditemukan  di  perairan  apabila  perairan
tersebut  mengalami  pencemaran  bahan  organik  baik  yang  berasal  dari  limbah penduduk maupun pertanian yang menggunakan pupuk dalam usaha pertaniannya.
Konsentrasi  fosfat  pada  stasiun  A1,  A4,  A7  dan  A10  pada  saat  surut  berkisar antara  0,23
– 0,29 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,18 – 0,28 mgL Gambar  14,  15,  dan  16.  Besarnya  konsentrasi  fosfat  di  stasiun-stasiun  tersebut
dikarenakan  banyaknya  limbah  organik  dari  buangan  penduduk.  Adapun  pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut konsentrasi fosfat berkisar antara 0,04
– 0,07 mgL  dan pada saat surut berkisar antara 0,06
– 0,1 mgL. Sedangkan pada stasiun  A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14  konsentrasi  fosfat  pada  saat  surut  berkisar
antara 0,02 – 0,16 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,04 – 0,13 mgL.
Berdasarkan  standar  baku  mutu  air  laut  bagi  peruntukan  biota  laut  dalam  Kep Men  LH  No  51  Tahun  2004  kandungan  fosfat  maksimum  adalah  0,015  mgL,
maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan memiliki konsentrasi fosfat yang tidak  memungkinkan  bagi  kehidupan  biota  laut.  Effendi  2003  menjelaskan
bahwa perairan yang memiliki kandungan fosfat melebihi 0,1 merupakan perairan eutrofik yang berpotensi terjadi blooming.
Konsentrasi  deterjen  pada  hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut 1,27
– 1,46 mgL, pasang 0,99 - 1,24 mgL.  Konsentrasi  deterjen  tertinggi  ditemukan  pada  stasiun  A1  dikarenakan
stasiun  pengamatan  sangat  dekat  dengan  aktifitas  penduduk  yang  cukup  padat. Adapun  konsentrasi  deterjen  pada  stasiun  A8,  A11,  dan  A13  pada  saat  surut
berkisar antara 0,44 – 1,04 mgL dan pada saat pasang berkisar antara 0,86 – 0,92
77 mgL.  Sedangkan  pada  stasiun  A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14  konsentrasi  deterjen
pada saat surut adalah 0,36 – 0,96 mgL dan pada saat pasang 0,37 – 0,64 mgL
Gambar  14,  15,  dan  16.  Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  seluruh  stasiun yang berada pada point source pencemaran memiliki konsentrasi deterjen diatas 1
mgL.  Adapun  untuk  stasiun  ekosistem  mangrove  dan  stasiun  setelah  ekosistem mangrove  secara  umum  memiliki  konsentrasi  deterjen  yang  cukup  rendah  yaitu
dibawah  1  mgL.  Berdasarkan  standar  baku  mutu  air  laut  bagi  peruntukan  biota laut dalam Kep Men  LH No 51 Tahun 2004, kandungan  deterjen yang diizinkan
adalah 1 mgL sehingga secara umum kondisi perairan di Pulau Sepanjang adalah mendukung bagi kehidupan biota akuatik.
BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan  organik  oleh  organisme  yang  terdapat  dalam  air,  pada  keadaan  aerobik
yang  diinkubasi  pada  suhu  20 C  selama  5  hari  BOD5  APHA,  2005.  Nilai
BOD
5
di  suatu  perairan  dapat  dijadikan  petunjuk  dalam  menentukan  tingkat pencemaran bahan organik suatu perairan Effendi, 2003. Nilai BOD
5
berbanding lurus  dengan  konsentrasi  bahan  organik  yang  terdekomposisi  menggunakan
sejumlah oksigen di perairan. Nilai BOD
5
berkisar antara 2,36 – 4,07 mgL pada
saat  pasang  dan  2,27 –  3,96  mgL  saat  surut  Gambar  14,  15,  dan  16.  Nilai
tertinggi  pada  seluruh  stasiun  rata-rata  diperoleh  pada  stasiun  pusat  pencemaran, sedangkan nilai BOD
5
terendah rata-rata ditemui setelah ekosistem mangrove. hal tersebut sesuai dengan kondisi DO di lokasi penelitian berbanding terbalik dengan
nilai BOD
5
.  Hal tersebut dikarenakan oksigen dipakai oleh oleh mikroorganisme dalam proses oksidasi bahan organik.
Nitrat  merupakan  senyawa  nitrogen  yang  paling  banyak  ditemukan  di perairan. Nitrat juga merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman air
dan  alga  Effendi,  2003.  Nitrat  nitrogen  merupakan  senyawa  yang  mudah  larut dalam air dan bersifat stabil. Dalam bentuk nitrat, nitrogen mampu dengan mudah
dimanfaatkan  oleh  fitoplankton,  sehingga  nitrat  memiliki  peranan  penting  dala mengendalikan  maupun  memacu  kesuburan  perairan.  Hasil  penelitian
menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrat 0,18
– 0,32 mgL dan pada saat surut sebesar 0,21 – 0,28 mgL. Sedangkan  pada  stasiun  A8,  A11,  dan  A13  konsentrasi  nitrat  pada  saat  pasang
78 adalah  0,13
– 0,16 mgL dan pada saat surut sebesar 0,09 – 0,18 mgL. Adapun pada  stasiun    A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14  memiliki  konsentrasi  nitrat  pada  saat
pasang sebesar 0,05 – 0,16 mgL dan pada saat surut 0,07 – 0,12 mgL Gambar
14,  15,  dan  16.  Stasiun  A1,  A4,  A7,  dan  A10  memiliki  konsentrasi  nitrat  yang tinggi  dibandingkan  dengan  stasiun  lainnya.  Tingginya  konsentrasi  nitrat  di
stasiun-stasiun  tersebut  diduga  karena  banyaknya  bahan  organik  yang  ada  di stasiun  tersebut  sebagai  akibat  buangan  limbah  dari  penduduk  yang  berupa
berbagai  macam  sampah  organik  dan  juga  sampah  lainnya.  Pada  ekosistem mangrove nitrat selain dihilangkan melalui proses denitrifikasi, juga dimanfaatkan
langsung oleh tumbuhan mangrove itu sendiri Wu et al., 2008. Nitrit  merupakan  bentuk  peralihan  antara  amonia  dan  nitrat  nitrifikasi
dan  antara  nitrat  dangan  nitrogen  denitrifikasi.  Pada  perairan  alami,  nitrit ditemukan  sangat  sedikit  sekali  dan  lebih  sedikit  dari  pada  nitrat  karena  bersifat
tidak stabil dengan keberadaan oksigen Effendi, 2003. Hal tersebut dikarenakan nitrit  segera  dioksidasi  menjadi  nitrat.  Meskipun  sedikit,  nitrit  memiliki  sifat
toksik bagi biota. Berdasarkan hasil penelitian secara jelas ditemukan konsentrasi nitrit  di  seluruh  stasiun  memiliki  konsentrasi  sangat  kecil  bahkan  ada  yang
mencapai 0 mgL. Konsentrisi nitrat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 saat pasang memiliki  konsentrasi  antara  0,002
–  0,017  mgL  dan  pada  saat  surut  berkisar antara 0,003
– 0,014 mgL. Sedangkan pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada  yaitu  stasiun  A8,  A11,  dan  A13  pada  saat  pasang  memiliki  konsentrasi
nitrit sebesar 0,003 – 0,014 mgL dan pada saat surut 0,002 – 0.01 mgL. Adapun
pada  stasiun  A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14  konsentrasi  nitrit  pada  saat  pasang berkisar antara 0,00
– 0,004 mgL dan pada saat surut 0,00 – 0,002 mgL Gambar 14, 15, dan 16. Mayoritas sumber nitrit berasal dari limbah domestik dan limbah
industri Effendi, 2003. Pada perairan alami konsentrasi nitrit hanya sekitar 0,001 mgL  dan  tidak  lebih  dari  0,06  mgL  CCREM,  1987  dalam  Effendi,  2003.
Apabila  dibandingkan  dengan  yang  ada  di  likasi  penelitian  maka  dapat disimpulkan  bahwa  perairan  di  lokasi  penelitian  masih  bisa  memenuhi  syarat
untuk kehidupan biota laut. Amonia  merupakan  salah  satu  senyawa  nitrogen  yang  dihasilkan  dari
pemecahan  nitrogen  organik  dan  nitrogen  anorganik  yang  terdapat  dalam  tanah
79 dan kolom air yang bersumber dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan
jamur  dan  biasa  dikenal  sebagai  proses  amonifikasi  Effendi,  2003.  Sumber amonia diantaranya adalah feses dari hewan akuatik, difusi dari atmosfer, limbah
industri dan limbah domestik.  Konsentrasi amonia pada seluruh stasiun memiliki variasi  yang  sangat  beragam.  Pada  stasiun  A1,  A4,  A7  dan  A10  konsentrasi
amonia  pada  saat  pasang  berkisar  antara  0,29 –  0,36  mgL  dan  pada  saat  surut
berkisar  antara  0,23 –  0,38  mgL,  sedangkan  pada  stasiun  A8,  A11,  dan  A13
konsentrasi amonia pada saat pasang adalah 0,18 – 0,29 mgL dan pada saat surut
0,18 –  0,24  mgL.  Adapun  pada  stasiun  A3,  A6,  A9,  A12,  dan  A14  pada  saat
pasang memiliki konsentrasi amonia antara 0,13 – 0,20 mgL dan pada saat surut
0,16 –  0,19  mgL  Gambar  14,  15,  dan  16.  Pada  perairan  alami,  konsentrasi
amonia  pada  umumnya  kurang  dari  0,1  mgL  McNeely  et  al.,  1979  in  Effendi, 2003.  Tingginya  nilai  amonia  mengindikasikan  terjadinya  pencemaran  bahan
organik  yang  berasal  dari  limbah  domestik,  industri,  limpasan  pupuk  pertanian dan  sebagainya  Effendi,  2003.  Berdasarkan  standar  baku  mutu  air  laut  bagi
peruntukan  biota  laut  dalam  Kep  Men  LH  No  51  Tahun  2004,  kandungan maksimum  amonia  yang  dizinkan  adalah  0,3  mgL.  Nilai  tersebut  apabila
dibandingkan  dengan  hasil  penelitian,  maka  diketahui  bahwa  hampir  seluruh stasiun  penelitian  masih  sangat  memenuhi  syarat  bagi  kehidupan  biota  akuatik,
kecuali stasiun-stasiun yang berada pada puast pencemaran yaitu A1, A4, A7 dan A10  yang  hampir  seluruhnya  memiliki  kadar  amonia  lebih  tinggi  diantara  yang
lainnya.
                