16 spesies Sonneratia apetala Buch-Ham lebih efektif meremove nutrien daripada
logam berat. Pada pencemaran organik, Tam dan Wong 1995, 1996, 1999 dan Tam et
al., 2009 telah membuktikan efisiensi penggunaan lahan basah mangrove dalam
meremove nitrogen dan polutan lainnya. Lahan basah merupakan sistem ekologi yang memanfaatkan sumber daya alam melibatkan vegetasi, tanah, dan kumpulan
mikroba yang berhubungan untuk pemurnian limbah. Sistem ini menarik, karena memberikan alternatif biaya rendah, pemeliharaan yang mudah dan sederhana
dalam upaya pengolahan air limbah Tam et al., 2009. Karakteristik dan perendaman pasang surut yang unik di lahan basah mangrove menyediakan
alternatif lingkungan berupa aerobik dan anaerobik, yang sesuai untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi Tam et al., 2009. Selanjutnya Sartoris et al., 2000
menambahkan bahwa kemampuan removing nitrogen berbanding lurus dengan luas lahan basah dan biomassa tanamannya.
Boto 1982 in Prasad dan Ramanathan 2008 menambahkan bahwa ekosistem mangrove secara general berfungsi juga sebagai penyerap sink
nutrien-nutrien dan materi terlarut serta berfungsi pula sebagai sumber materi organik. Mangrove di wilayah terlindung mampu mendeposisikan sedimen halus
yang pada umumnya mengandung banyak nutrien, logam berat dan mineral. Silva et al.
2007 menambahkan bahwa mangrove berfungsi penting dalam mengendalikan eutrofikasi pada area pantai tropis. Oleh karena itu mangrove
sangat sesuai untuk penelitian biogeochemical, hydrogeochemical dan hidrological processes
Prasad dan Ramanathan, 2008.
2.2 Pencemaran Lingkungan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
2.2.1 Pengertian Pencemaran
Definisi pencemaran adalah perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak diinginkan oleh udara, tanah dan air Oddum, 1971.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, Pencemaran didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
17 Pramudianto
1999 mendefinisikan
pencemaran laut
sebagai dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan fungsinya. Demikian juga Kennish 2001 mendefinisikan bahan pencemar sebagai introduction matterial atau ekstraksi material dan energi oleh
manusia kepada lingkungan, sehingga konsentrasi zat ini menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah di bawah tingkat alami sehingga kondisi lingkungan berubah.
Perubahan terhadap lingkungan tersebut membahayakan bagi kelangsungan hidup biota maupun manusia yang disebabkan oleh limbah dari proses baik yang
diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. UNEP 1993 in Anna 1999 menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
antara pencemar pollutants dan limbah waste. Pencemar merupakan bahan dan energi yang dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh
makhluk hidup maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Adapun limbah rumah tangga yang sering disebut sebagai limbah domestik
merupakan buangan dari rumah tangga, institusi, fasilitas komersial, dan fasilitas- fasilitas lain yang sejenis yang bervariasi kuantitas dan komposisinya dari waktu
kewaktu Mukhtasor, 2007. Limbah tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish 2001 memberikan contoh dampak antropogenik pada
ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga kategori : 1 terjadinya pencemaran; 2 hilangnya habitat dan terjadi perubahan; dan 3 pemanfaatan
sumberdaya dan eksploitasi yang berlebihan.
2.2.2 Bahan Pencemar
Bahan pencemar atau disebut pulutan merupakan bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang merusak
ekosistem sehingga mengganggu fungsinya dari fungsi asalnya Effendi, 2003. Pulutan sendiri berdasarkan cara masuknya ke lingkungan diklasifikasikan
menjadi dua macam yaitu secara alami misalnya letusan gunung berapi, banjir dan fenomena alam lainnya dan antropogenik misalnya kegiatan perindustrian,
rumah tangga, pertanian, dan perikanan.
18 Sedangkan beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan
pencemar yang masuk ke lingkungan dalam hal ini perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari
berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan
di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut Suharsono, 2005. Selanjutnya menurut Jeffries dan Mils 1996 in Effendi 2003 berdasar
sifat toksiknya, polutan dibagi menjadi 2 yaitu polutan tak toksik dan polutan toksik.
a. Polutan tak toksik Pada dasarnya jenis polutan ini telah ada di alam. Bahan ini menjadi
polutan ketika melebihi ambang batas yang dapat ditolelir sehingga menyebabkan terganggunya kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses sifat fisika-
kimia perairan. Sebagai contoh adalah pasokan nutrien zat hara yang berlebihan pada perairan, maka akan menyebabkan peristiwa eutrofikasi yang pada akhirnya
akan memacu terjadinya blooming algae yang dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem. Contoh lain adalah bahan tersuspensi. Bahan tersuspensi dapat
mempengaruhi sifat fisik perairan berupa penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya kedalam perairan dapat terhambat sehingga menyebabkan terganggunya proses
fotosintesis.
b. Polutan toksik Polutan toksik pada umumnya berupa bahan yang bukan alami, misalnya
pestisida, deterjen dan bahan artifisial lainnya. Polutan ini dapat menyebabkan kematian. Selain menyebabkan kematian, polutan ini juga dapat mengganggu
pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi. Pulutan ini bersifat stabil persisten sehingga sulit untuk terdegradasi. Mason 1993 in Effendi 2003
mengelompokkan polutan ini menjadi lima, yaitu : 1. Logam metals meliputi timbal, nikel, cadmium, zinc, copper, dan merkuri
2. Senyawa organik, meliputi pestisida organoklorin, herbisida, PCB, hydrocarbon petroleum, aromatic polinuklir, dibenzodioksin berklor, senyawa