dapat mengungkapkan situasi yang terdapat dalam permasalahan sehingga dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pada tahap ini siswa diminta untuk
menuliskan terlebih dahulu apa saja informasi-informasi penting yang terdapat dalam ilustrasi soal kemudian siswa diminta untuk menganalogikan
ilustrasi soal ke dalam bentuk gambar. Dengan demikian siswa dapat lebih mudah memahami apa yang digambarkan oleh ilustrasi soal. Berikut ini
ilustrasi yang disajikan pada LKS-3 beserta hasil pekerjaan siswa pada tahap menemukan fakta dari ilustrasi yang disajikan.
Gambar 4.7 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa pada LKS-3 Tahap Menemukan
Informasi
Tahapan yang kedua yaitu menemukan masalah. Pada tahapan ini siswa diminta untuk menganalogikan susunan batang korek api tersebut
menjadi bentuk suatu barisan bilangan sehingga siswa dapat memahami bahwa sebenarnya ilustrasi soal tersebut merupakan konsep dari barisan
aritmatika.
Gambar 4.8 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa pada LKS-3 Tahap Menemukan Masalah
Tahapan ketiga
yaitu menemukan
gagasan. Tahapan
ini memungkinkan
siswa membangun
pengetahuannya sendiri
dengan memunculkan ide-ide penyelesaian masalah yang terkait dengan barisan
aritmatika. Melalui tahapan ini, siswa dapat menganalogikan susunan batang korek api menjadi suatu barisan bilangan kemudian menyimpulkan bahwa
barisan yang terbentuk dari susunan-susunan batang korek api tersebut merupakan barisan aritmatika.
Gambar 4.9 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa pada LKS-3 Tahap Menemukan Gagasan
Tahapan keempat yaitu menemukan solusi. Ide dan gagasan yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya diterapkan untuk memecahkan masalah
yang disajikan pada ilustrasi. Pada tahapan ini diharapkan siswa dapat menemukan solusi terbaik dalam penyelesaian permasalahan.
Gambar 4.10 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa pada LKS-3 Tahap Menemukan Solusi
Tahapan terakhir yaitu menemukan penerimaan. Pada tahapan ini siswa diminta melakukan pengecekan terhadap solusi-solusi yang telah
dilakukan, kemudian kembali memberikan sebuah kesimpulan.
Gambar 4.11 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa pada LKS-3 Tahap Menemukan
Penerimaan
Setelah seluruh tahapan pada LKS telah selesai, salah satu siswa perwakilan dari kelompoknya mempresentasikan jawaban mereka. Hal ini
bertujuan untuk meluruskan apabila terdapat jawaban yang tidak sesuai.
Gambar 4.12 Siswa Mempresentasikan Hasil Diskusi Kelompoknya
Pada kel
as kontrol,
pembelajarannya menggunakan
model konvensional dalam hal ini sekolah tempat penelitian menggunakan metode
ekspositori. Sama seperti kelas eksperimen, sebelum memulai pembelajaran guru membuka pelajaran dengan kegiatan pendahuluan. Guru menjelaskan
sebagian materi di depan kelas kemudian guru membagi siswa ke dalam enam
kelompok untuk mengerjakan LKS. Kemudian siswa mengerjakan LKS secara berkelompok serta mengerjakan latihan soal yang ada di dalam LKS
secara berkelompok pula.
a b
Gambar 4.13 a
Siswa Memperhatikan Guru Menerangkan Materi, dan b Siswa Mengerjakan LKS dan Latihan Soal Secara Berkelompok
Latihan soal yang dikerjakan kelas kontrol sama dengan soal-soal yang diberikan di kelas eksperimen. Guru membimbing siswa yang
mengalami kesulitan dalam mengerjakan latihan soal. Setelah latihan soal selesai, beberapa siswa dari perwakilan kelompoknya menuliskan jawabannya
di papan tulis untuk di bahas bersama dengan guru guna meluruskan jawaban dan pemahaman yang salah.
2. Hasil Posttest Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa
Post test yang diberikan pada akhir proses pembelajaran bertujuan untuk mengetahui kemampuan penalaran analogi matematik siswa. Dalam hal
ini pada pokok bahasan Barisan dan Deret. Kemampuan penalaran analogi matematik siswa dapat dilihat dari jawaban yang diberikan. Perbedaan cara
menjawab soal siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Gambar 4.14 Cara Menjawab Siswa Kelompok Eksperimen pada Nomor 1
Sebagian besar siswa pada kelas eksperimen menjawab soal nomor 1 seperti gambar 4.9. siswa dapat menuliskan informasi dari soal sebelah kiri,
yaitu pola bangun datar pada soal sebelah kiri adalah 3, 4, dan 5… sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pola tersebut memliki beda 1. Kemudian
siswa menganalogikan gambar yang terdapat pada soal sebelah kiri menjadi sebuah barisan bilangan yang memiliki pola yang sama
Gambar 4.15 Cara Menjawab Siswa Kelompok Kontrol pada Nomor 1
Sedangkan sebagian besar siswa pada kelas kontrol menjawab soal nomor 1 seperti gambar 4.10. siswa tidak menuliskan informasi dari soal
sebelah kiri, kemudian langsung menjawab pertanyaan pada soal sebelah kanan tanpa menganalogikan gambar yang terdapat pada soal sebelah kiri
menjadi sebuah barisan bilangan yang memiliki pola yang sama.
Gambar 4.16 Cara Menjawab Siswa Kelompok Eksperimen pada Nomor 3
Sebagian besar siswa pada kelas eksperimen menjawab soal nomor 3 seperti gambar 4.11. Siswa dapat menuliskan informasi dari soal sebelah kiri,
kemudian menemukan gagasan bahwa keserupaan dari kedua soal adalah merupakan barisan geometri. Barisan geometri erat kaitannya dengan rasio,
sehingga siswa diminta untuk menemukan rasio pada soal sebelah kiri terlebih dahulu. Setelah siswa dapat menemukan rasio pada soal sebelah kiri, maka
siswa dapat menemukan barisan bilangan yang memiliki rasio yang sama dengan soal sebelah kiri.
Gambar 4.17 Cara Menjawab Siswa Kelompok Kontrol pada Nomor 3
Sebagian besar siswa pada kelas kontrol menjawab soal nomor 3 seperti gambar 4.12. Siswa tidak menuliskan informasi dari soal sebelah kiri,
kemudian langsung menjawab tanpa memberikan alasan dengan cara menarik keserupaan dari kedua soal.
Dari gambar 4.9 sampai 4.12 dapat terlihat adanya perbedaan dari cara menjawab siswa pada tes akhir kemampuan penalaran analogi matematik
siswa. Siswa pada kelompok eksperimen dapat memberikan alasan dengan menemukan pola yaitu dengan mengumpulkan informasi yang ada pada
gambar atau soal sebelah kiri terlebih dahulu kemudian memahami masalah yang terdapat pada soal dan selanjutnya menjawab pertanyaan pada soal
dengan memberikan alasan yang benar dan lengkap. Sedangkan siswa pada kelompok kontrol cara menjawab secara
langsung tanpa menuliskan informasi yang terdapat pada soal sebelah kiri dan tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Hal tersebut menunjukan adanya
perbedaan perlakuan pada saat pembelajaran dikelas antara kelompok eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model CPS dengan
kelompok kontrol yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.
Beberapa siswa pada kelompok kontrol mampu memberikan alasan analogi dengan benar baik lengkap, kurang lengkap maupun tidak lengkap
walaupun alasan analoginya terlihat masih kaku seperti terlihat pada gambar 4.12. Tapi Sebagian besar siswa pada kelompok kontrol tidak tepat dalam
memberikan alasan analogi bahkan banyak yang tidak memberikan alasan. mereka mengeluh karena soal yang diberikan sangat sulit dan tidak bisa
menemukan keserupaannya. Sedangkan pada kelompok eksperimen sebagian besar siswa mampu memberikan alasan analogi dengan benar baik lengkap,
kurang lengkap maupun tidak lengkap. Pada kelompok eksperimen siswa yang memperoleh nilai di bawah
rata-rata kelas kebanyakan dikarenakan kekurangtelitian dalam berhitung. Hal ini dapat diidentifikasi dari jawaban siswa, mereka salah dalam menjawab
pilihan soal tapi mereka dapat memberikan alasan analogi dengan benar baik lengkap, kurang lengkap maupun tidak lengkap. Selain itu, ada yang
menjawab pilihan jawaban dengan benar dan memberikan alasan analogi dengan benar tapi tidak lengkap. Setidaknya siswa yang memperoleh nilai di
bawah rata-rata pada kelompok eksperimen bisa terlihat kemampuan penalaran analoginya namun masih perlu dikembangkan lagi. Sedangkan pada
kelompok kontrol siswa yang memperoleh nilai di bawah rata-rata kelas dikarenakan salah dalam menjawab pilihan soal dan salah dalam memberikan
alasan analogi bahkan banyak yang tidak memberikan alasan sehingga belum terlihat adanya kemampuan penalaran analogi. Seperti ditunjukan pada
gambar berikut:
Gambar 4.18 Cara Menjawab Kelompok Eksperimen yang Nilainya Dibawah Rata-
Rata
Berdasarkan gambar 4.13 terlihat bahwa siswa memilih jawaban yang salah, tetapi pada kolom alasan siswa dapat menuliskan informasi yakni
keserupaan dari kedua soal yakni rasio dan suku terakhir dari kedua soal sama. Siswa juga menuliskan rumus yang akan dipakai, namun keliru dalam
melakukan perhitungan yang mungkin disebabkan karena kekurang telitian siswa dalam berhitung atau siswa tergesa-gesa dalam melakukan perhitungan
dan tidak memeriksa kembali jawabannya tersebut. Namun demikian, siswa sudah dapat memberikan alasan analogi meskipun kurang lengkap.
Gambar 4.19 Cara Menjawab Kelompok Kontrol yang Nilainya Dibawah Rata-Rata
Berdasarkan gambar 4.14 terlihat bahwa siswa tidak menjawab soal tersebut dan tidak dapat memberikan alasan analogi dari soal tersebut. Siswa
langsung menjawab dengan rumus tanpa menjelaskan apa yang akan ia cari pada soal tersebut. Sehingga dari gambar 4.13 dan 4.14 dapat disimpulkan
bahwa kemampuan penalaran analogi dari kelompok eksperimen lebih baik dari kelompok kontrol.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Osborn-Parnes yang menyatakan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving CPS dapat
mengembangkan kreativitas siswa dalam memecahkan permasalahan matematik dimana dalam mengembangkan kreativitasnya siswa akan
menggunakan kemampuan penalarannya.
E. Keterbatasan Penelitian
Penulis menyadari penelitian ini belum sempurna. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini agar diperoleh hasil yang
optimal. Walaupun demikian, masih ada beberapa faktor yang sulit dikendalikan sehingga membuat penelitian ini mempunyai beberapa
keterbatasan diantaranya.: 1.
Penelitian ini hanya diteliti pada pokok bahasan Barisan dan Deret saja,
sehingga belum bisa digeneralisasikan pada pokok bahasan lain.
2. Kondisi siswa di awal yang sedikit kesulitan beradaptasi dengan model
pembelajaran Creative Problem Solving CPS mengingat dalam proses pembelajaran yang biasa mereka jalani cenderung pasif dan berpusat
pada guru.
3. Kontrol terhadap kemampuan subjek penelitian hanya meliputi variabel
model pembelajaran Creative Problem Solving CPS, kemampuan penalaran analogi, dan hasil belajar matematika siswa. Variabel lain
seperti minat, motivasi, inteligensi, lingkungan belajar, dan lain-lain tidak terkontrol. Karena hasil penelitian dapat saja dipengaruhi variabel lain di
luar variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini.
68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan mengenai pembelajaran matematika dengan model Creative Problem Solving CPS terhadap
kemampuan penalaran analogi matematik siswa di SMA Negeri 66 Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan model Creative Problem Solving CPS memiliki nilai rata-rata sebesar 74,62 Adapun nilai rata-rata untuk
masing-masing indikator penalaran analogi matematik dari yang paling tinggi yaitu memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda
berdasarkan keserupaan data atau proses analogi dari pola barisan bilangan sebesar 81,25, dan yang paling rendah adalah memberikan
kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses analogi dari jumlah n suku pertama deret aritmatika atau deret
geometri sebesar 66,54. 2.
Kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model konvensional memiliki nilai rata-
rata sebesar 67,62 Adapun nilai rata-rata untuk masing-masing indikator penalaran analogi matematik dari yang paling tinggi yaitu memberikan
kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses analogi dari pola barisan bilangan sebesar 72,79, dan yang paling
rendah adalah memberikan kesimpulan dari dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan data atau proses analogi dari jumlah n suku
pertama deret aritmatika atau deret geometri sebesar 56,62. 3.
Kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model Creative Problem Solving CPS lebih tinggi
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari
hasil pengujian hipotesis
dengan statistik uji-t,
diperoleh t
hitung
= 1,76 dan t
tabel
= 1,67 dengan taraf signifikan 5, atau
= 0,05 sehingga t
hitung
lebih besar dari t
tabel
1,76 1,67.
Dengan demikian, kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajar
dengan model Creative Problem Solving CPS lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penerapan model Creative Problem Solving CPS berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran
analogi matematik siswa.
B. Saran
Berdasarkan hasil
penelitian yang
diperoleh, peneliti
merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model Creative Problem Solving CPS mampu
meningkatkan kemampuan penalaran analogi matematik siswa, sehingga model pembelajaran ini dapat menjadi salah satu alternatif pembelajaran
matematika yang dapat diterapkan oleh guru. 2.
Model Creative Problem Solving CPS membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu, bagi guru yang hendak menggunakan model Creative
Problem Solving CPS dalam pembelajaran matematika di kelas diharapkan dapat mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran
dengan seefektif mungkin agar pembelajaran dapat selesai tepat pada waktunya.
3. Pengontrolan variabel dalam penelitian ini yang diukur hanya pada
kemampuan penalaran analogi, sedangkan aspek lain tidak dikontrol. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya melihat pengaruh penggunaan model
Creative Problem Solving CPS terhadap kemampuan matematik lainnya.
4. Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini,
sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti tentang pembelajaran dengan model Creative Problem Solving CPS pada pokok
bahasan lain, mengukur aspek lain atau jenjang sekolah yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Dwirahayu, Gelar. Pengaruh Pendekatan Analogi Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP. Algoritma. 2006.
Herdian. Pengaruh Metode Discovery terhadap kemampuan Analogi dan Generalisasi Matematis Siswa SMP. Tesis Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung : Perpustakaan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. 2010.
Kadir. Statistika untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rosemata Sampurna. 2010.
Lawshe, C. H . A quantitative approach to content validity. By Personnel Psychology INC, 1975.
Maarif, Samsul. Meningkatkan Kemampuan analogi dan Generalisasi Matematis Siswa SMP Menggunakan Pembelajaran Dengan Metode Discovery. Tesis
Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
2012.Tersedia: http:repository.upi.edu
[akses 13 April 2014, 10.00 WIB] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum Sekolah Menengah KejuruanMadrasah Aliyah Kejuruan. 2013.
Mitchell, William E. dan Kowalik, Thomas F. Creative Problem Solving. Genigraphics Inc. 1999.
Pepkin, Karel L, Creative Problem Solving in Math, dari: http:m2s-
conf.uh.eduhonorshonors-and-the-schoolshouston-teachers- institutecurriculum-unitspdfs2000articulating-the-creative-
experiencepepkin-00-creativity.pdf 8 Februari 2014, pukul 12.38 WIB
Putra, Harry Dwi. Pembelajaran Geometri Dengan Pendekatan SAVI Berbantuan WINGEOM Untuk Meningkatkan Kemampuan Analogi Matematis Siswa
SMP. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Volume 1. 2011.