Pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematis siswa eksperimen di salah satu SMP Negeri di Depok

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE

PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP KEMAMPUAN

PENALARAN ADAPTIF MATEMATIS SISWA

Eksperimen di salah satu SMP Negeri di Depok

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Siti Heni Hanifah

(1110017000085)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

SITI HENI HANIFAH (1110017000085), “Pengaruh Model Pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Maret 2015.

Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP Negeri di Depok tahun ajaran 2014/2015, bertujuan untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematis siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi experiment

dengan desain penelitian randomized posttest only control group design. Sampel penelitian diperoleh sebanyak dua kelas dengan teknik Cluster Random Sampling

yang terdiri dari kelas eksperimen (CPS) sebanyak 40 siswa dan kelas kontrol (konvensional) sebanyak 40 siswa. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Uji-t pada taraf nyata 5% diperoleh nilai signifikansi 0,000 yang bernilai kurang dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan, bahwa kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dibandingkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek kemampuan penalaran adaptif paling menonjol yang dapat dikembangkan melalui model pembelajaran Creative Problem Solving adalah aspek induktif intuitif. Kedua aspek penalaran adaptif yaitu, induktif intuitif dan deduktif intuitif tersebut hampir seimbang dan tidak terlalu besar selisihnya. Model pembelajaran Creative Problem Solving dapat mengembangkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa. Model pembelajaran Creative Problem Solving dapat mewadahi perkembangan kemampuan penalaran adaptif matematis secara menyeluruh.

Kata kunci: Pembelajaran Creative Problem Solving, Penalaran Adaptif Matematis, Induktif Intuitif, Deduktif Intuitif.


(6)

ii

Skills”. Paper of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Maret 2015

This research was conducted in one of junior high school in Depok academic year 2014/2015. Aimed to analyze the effect of creative problem solving model on the students’ mathematical adaptive reasoning skills. The method used in this study was a quasi experimental method with randomized posttest only control group design. Samples were obtained as many as two classes by cluster random sampling technique consisting of experimental class (CPS) as many as 40 students and control class (convensional) as many as 40 students. Based on result of hypothesis testing with the t-test at significance level of 5%, it was obtained that significance 0,0000 is less than α = 0,05. This show that students’ mathematical adaptive reasoning skills who were taught by creative problem solving model was higher than the students’mathematical adaptive reasoning skills of those who were taught by conventional model

Result of this research showed that the most prominent aspect of adaptive reasoning that could be developed through a creative problem solving model was inductive intuitive. Two aspect of adaptive reasoning, which were inductive intuitive and deductive intuitive, were mostly balanced. Also the different between inductive intuitive and deductive intuitive aspect was not too big. Creative problem solving model can developed student mathematical adaptive reasoning skills. Creative problem solving model can facilitate development of mathematical adaptive reasoning skills thoroughly.

Keyword: Creative Problem Solving Model, Mathematical adaptive reasoning, Inductive intuitive, Deductive intuitive.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam tak lupa senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Femmy Diwidian, S.Pd, M.Si.,selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini. Terlepas dari segala perbaikan dan kebaikan yang diberikan, semoga Bapak dan Ibu selalu berada dalam kemuliaanNya.

2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Afidah Mas’ud, Dra., selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, waktu, nasihat, dan semangat dalam membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.


(8)

iv

8. Bapak Sokhani M.Pd, kepala SMP Negeri di Depok tempat penulis melakukan penelitian, yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di sekolah tersebut.

9. Bapak dan Ibu guru matematika di sekolah tempat penulis melakukan penelitian, terimakasih arahan dan bimbingan Ibu dan Bapak selama penelitian berlangsung.

10.Siswa dan siswi kelas VII tahun ajaran 2014/2015 di tempat penulis melakukan penelitian khususnya kelas VII-F dan VII-G yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian.

11.Keluarga besar tercinta, terutama kedua orang tua dan adik-adik yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Semoga kalian selalu berada dalam lindungan Allah Swt. Semangat sekolahnya adik-adikku Aziz dan Anwar, semoga kalian menjadi kebanggaan ibu dan bapak.

12.Sahabat seperjuangan selama perkuliahan, Dedew, Fani, Ida, Fatur, Dije, Zahra, Mae, Devi, Anis yang sudah memberi semangat, nasihat, dan bantuan kepada penulis selama kuliah maupun selama penyusunan skripsi ini. Semangat kawan, together we can.

13.Sahabat tersayang, Silvi, Husnul, Novi, Nadil yang sudah memberikan semangat dan doanya selama penyusunan skripsi ini. Semoga Allah mudahkan segala urusan kalian kawan.

14.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’10, Sparta, Wasabi, dan terutama Cuspid. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini baik langsung maupun tidak langsung.

15.Kakak kelas angkatan ’09 maupun ’08, dan adik kelas angkatan ‘11 yang sudah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

v

16.Keluarga besar Bimbingan dan Konsultasi Belajar Nurul Fikri Bogor yang telah memberikan pengertian, doa dan dukungan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat berdoa mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan, dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat. Amin yaa robbal ‘alamin.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih belum mendekati sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi kesempurnaan penulis dimasa datang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khusunya dan bagi pembaca sekalian pada umumnya.

Jakarta, Maret 2015

Penulis


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 10

A.Deskripsi Teoretis ... 10

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 10

a. Pengertian Matematika... 10

b. Matematika Sebagai Penalaran ... 11

c. Pengertian Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 12

2. Model Pembelajaran Creative Problem Solving ... 18

a. Problem Solving ... 18

b. Creative Problem Solving ... 20

3. Pembelajaran Konvensional ... 25

B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan ... 27

C.Kerangka Berpikir ... 28


(11)

vii

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

B.Desain Penelitian ... 32

C.Populasi dan Sampel ... 33

D.Instrumen Penelitian ... 34

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Analisis Instrumen ... 36

1. Validitas Instrumen ... 36

2. Taraf Kesukaran ... 37

3. Daya Pembeda ... 38

4. Reliabilitas Instrumen ... 40

G.Teknik Analisis Data ... 41

1. Uji Prasyarat ... 41

a. Uji Normalitas ... 41

b. Uji Homogenitas ... 42

2. Uji Hipotesis ... 42

H. Hipotesis Statistik ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Deskripsi Data ... 44

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 45

2. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 46

3. Perbandingan Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 47

B.Analisis Data ... 48

1. Uji Prasyarat ... 49

2. Uji Hipotesis ... 50

C.Pembahasan Hasil Penelitian ... 50


(12)

viii

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 32 Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematiss ... 34 Tabel 3.3 Kriteria Taraf Kesukaran ... 38 Tabel 3.4 Kriteria Daya Pembeda ... 39 Tabel 3.5 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda, dan

Taraf Kesukaran ... 39 Tabel 3.6 Kriteria Koefisien Reliabilitas ... 40 Tabel 4.1 Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis

Siswa... 44 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 45 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 46 Tabel 4.4 Perbandingan Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 47 Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 49 Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Kesamaan Dua Rata-Rata ... 49


(14)

x

Gambar 4.2 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Fakta Pada Aspek Induktif Intuitif ... 52 Gambar 4.3 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Masalah

Pada Aspek Induktif Intuitif ... 53 Gambar 4.4 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Ide Pada

Aspek Induktif Intuitif ... 53 Gambar 4.5 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Solusi Pada

Aspek Induktif Intuitif ... 54 Gambar 4.6 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Penerimaan

Pada Aspek Induktif Intuitif ... 55 Gambar 4.7 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Fakta Pada

Aspek Deduktif Intuitif ... 56 Gambar 4.8 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Ide Pada

Aspek Deduktif Intuitif ... 57 Gambar 4.9 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Ide Pada

Aspek Deduktif Intuitif ... 58 Gambar 4.10 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Solusi Pada

Aspek Deduktif Intuitif ... 58 Gambar 4.11 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Menemukan Penerimaan

Pada Aspek Deduktif Intuitif ... 59 Gambar 4.12 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Pada Aspek Induktif

Intutitif ... 61 Gambar 4.13 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Pada Aspek Induktif

Intuitif ... 61 Gambar 4.14 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Pada Aspek Deduktif

Intuitif ... 63 Gambar 4.15 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Pada Aspek


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematis Tahap Pra Penelitian ... 73

Lampiran 2 Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Tahap Pra Penelitian ... 74

Lampiran 3 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa Tahap Pra Penelitian ... 76

Lampiran 4 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa Tahap Pra Penelitian ... 78

Lampiran 5 Daftar Pertanyaan Wawancara Tahap Pra Penelitian ... 80

Lampiran 6 Hasil Wawancara Tahap Pra Penelitian ... 81

Lampiran 7 RPP Kelas Eksperimen ... 84

Lampiran 8 RPP Kelas Kontrol ... 100

Lampiran 9 LKS Kelas Eksperimen ... 113

Lampiran 10 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 159

Lampiran 11 Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis . 161 Lampiran 12 Daftar Pertanyaan Karakteristik Intuisi ... 164

Lampiran 13 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 165

Lampiran 14 Pedoman Penskoran Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 169

Lampiran 15 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 170

Lampiran 16 Perhitungan Uji Validitas ... 171

Lampiran 17 Validitas Instrumen Tes ... 173

Lampiran 18 Perhitungan Uji Realibilitas ... 174

Lampiran 19 Reliabilitas Instrumen Tes ... 175

Lampiran 20 Perhitungan Taraf Kesukaran ... 176


(16)

xii

Kelas Eksperimen ... 180 Lampiran 25 Hasil Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa

Kelas Kontrol... 182 Lampiran 26 Tabel “r” Product Moment ... 184 Lampiran 27 Tabel Uji Normalitas, Uji Homogenitas, Uji-t ... 185 Lembar Uji Referensi

Surat Izin Penelitian


(17)

xiii

DAFTAR BAGAN


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan aspek penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dikarenakan pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi segala macam tuntutan zaman. Melalui pendidikan, potensi yang ada didalam diri seseorang dikelola dan dikembangkan. Disinilah seseorang akan belajar dan mendapatkan pembelajaran serta pengalaman yang berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan untuk masa depan bangsa juga.

Mengingat peran penting pendidikan, maka sepatutnya mutu pendidikan harus terus dikembangkan. Hal tersebut terlihat dari usaha pemerintah selama ini dalam memperbaiki mutu pendidikan dengan terus menerus melakukan perubahan kurikulum. Tujuannya tidak lain hanya ingin membawa mutu pendidikan ke arah yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Jika mutu pendidikan semakin baik maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan pun semakin baik, yaitu sumber daya manusia yang mampu dan siap menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan. Pentingnya pendidikan juga tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003.

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangkanya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah matematika.2 Itu sebabnya matematika menjadi bidang studi wajib mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas

1Undang-Undang R.I. No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (http://www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf).

2Suhendra, dkk., Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h.7.11


(19)

2

(SMA), bahkan sampai Perguruan Tinggi. Fakta lainnya, bidang studi matematika memiliki proporsi waktu yang lebih banyak dibandingkan bidang studi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika memang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan potensi seseorang secara maksimal.

Bahrul Hayat dan Suhendra Yusuf menyatakan bahwa, kemampuan bernalar atau reasoning merupakan satu kompetensi yang paling utama dibutuhkan saat sekarang dan di masa depan dalam pembelajaran matematika.3 Terlebih lagi matematika memiliki salah satu ciri khusus yaitu sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik.4 Secara khusus dalam matematika siswa harus memahami bahwa penalaran baik induktif, deduktif dan intuitif memainkan peranan yang sangat penting. Siswa perlu menyadari bahwa kemampuan tingkat tinggi dalam matematika selain membutuhkan penalaran induktif dan deduktif juga memerlukan intuisi sebagai dasarnya.5

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bernalar serta kemampuan intuitif merupakan aspek yang sangat penting dalam matematika. Kemampuan bernalar dan kemampuan intuitif dijadikan modal untuk memahami konsep-konsep matematika dengan benar dan masuk akal baik melalui menduga ataupun melakukan pembuktian. Perlu disadari perkembangan zaman mengharusnya kita untuk berkembang dalam proses berpikir. Kita harus memiliki kemampuan tingkat tinggi untuk mampu mengimbangi perkembangan zaman. Kemampuan bernalar dan kemampuan intuitif inilah dua aspek kemampuan tingkat tinggi yang perlu dimiliki siswa guna mempersiapkan mereka di masa depan.

Selama pembelajaran matematika, dalam mempelajari konsep-konsep, siswa tidak terlepas dari suatu permasalahan matematis yang membutuhkan sebuah

3Bahrul Hayat & Suhendra Yusuf, Benchmark Internasional Mutu Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h.43

4Lia Kurniawati, Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMP, (Jakarta: Jurnal ALGORITMA, 2006), h.77

5Gelar Dwirahayu, Pengaruh Pendekatan Analogi terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP, (Jakarta: Jurnal ALGORITMA, 2006), h.58


(20)

solusi. Ketika mempelajari konsep dan menyelesaikan suatu permasalahan, siswa memiliki kebebasan akan memberikan solusi secara analisis menggunakan langkah-langkah yang jelas berdasarkan logika atau dapat pula menyelesaikan masalah tersebut secara intuitif yaitu, memberikan solusi secara spontan, cepat tetapi tepat. Dengan kata lain, ada siswa pada saat menyelesaikan masalah matematis telah mengetahui atau menemukan solusinya sebelum siswa tersebut menuliskan langkah-langkah dalam menemukan solusi.

Kemampuan intuitif dan bernalar keduanya terdapat didalam penalaran adaptif, yaitu kemampuan yang menghubungkan konsep dan situasi melalui penalaran induktif intuitif dan deduktif intuitif. Dalam prosesnya siswa harus mampu memberikan solusi dari permasalahan matematis menggunakan kemampuan intuitifnya untuk kemudian solusi tersebut dibuktikan dan diperkuat menggunakan langkah-langkah secara analisis atau melakukan justifikasi.

Melihat pemaparan sebelumnya mengenai betapa pentingnya kemampuan intuitif dan bernalar dapat disimpulkan bahwa penalaran adaptif merupakan bagian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan di dalam proses pembelajaran matematika yang harus terus dilatih dan dikembangkan agar pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Melalui penalaran adaptif, siswa akan mampu menyelesaikan permasalahan secara cepat, tepat dan siswa akan membangun pikirannya untuk menguasai konsep matematika secara utuh baik untuk sekarang, nanti dan menjadi landasan siswa dalam bertindak secara logis dalam kegiatan bermatematika ataupun dalam aktivitas sehari-hari lainnya.

Pada kenyataannya di satu sisi penalaran adaptif sangat penting untuk dimiliki dan dikembangkan akan tetapi di sisi lain ternyata kemampuan penalaran adaptif siswa masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes pra penelitian yang peneliti lakukan terhadap siswa di salah satu SMP Negeri di Depok. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa umumnya kemampuan penalaran adaptif matematis siswa masih rendah. Hal tersebut terlihat dari 40 siswa, 37 siswa diantaranya masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal dengan kemampuan penalaran adaptif, hanya 3 siswa yang mampu menyelesaikan soal dengan baik


(21)

4

pada aspek induktif intuitif dan deduktif intuitif. Dengan demikian hanya 49,75% siswa yang mampu menyelesaikan soal dengan kemampuan penalaran adaptif. Berdasarkan analisis tersebut, ini menandakan bahwa sebenarnya siswa memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan penalaran adaptifnya. Hal ini tidak sepatutnya dibiarkan begitu saja. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Untuk lebih rinci mengenai hasil pra penelitian tes kemampuan penalaran adaptif matematis siswa dapat dilihat pada lampiran 4.

Hasil pra penelitian tersebut sejalan dengan hasil wawancara pada lampiran 5 yang peneliti lakukan kepada guru matematika di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara hasilnya menunjukkan bahwa masih sebagian kecil dari siswa yang mampu menduga solusi permasalahan tanpa melakukan penyelesaian secara analisis, akan tetapi jika menggunakan penyelesaian sebagian siswa bisa. Sebagian kecil cenderung terjadi pada anak-anak yang memang pandai serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensinya. Kemampuan intuitif dan bernalar memang disadari penting dalam matematika akan tetapi saat ini siswa masih mengalami kesulitan, oleh karena itu perlu bimbingan lebih agar kemampuan-kemampuan tersebut meningkat.

Melihat kondisi ini, maka kompetensi penalaran adaptif yang merupakan aspek penting ketika belajar matematika haruslah ditingkatkan. Pada kenyataannya, pembelajaran konvensional yang masih diterapkan di sekolah belum dapat mengembangkan kemampuan penalaran adaptif siswa, karena siswa tidak berkesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri. Hal tersebut sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari siapa pun yang merasa berkepentingan di dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu diperlukan tindak lanjut untuk meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa agar tujuan pembelajaran matematika tercapai seutuhnya.

Siswa perlu dibiasakan untuk mampu mengembangkan sendiri pengetahuannya dan mampu menggunakan pengetahuannya tersebut untuk situasi yang berbeda bahkan lebih kompleks, sehingga pengetahuan tersebut akan melekat pada diri mereka sendiri untuk sekarang dan nanti. Dengan membiasakan anak bernalar dan berintuisi dengan benar sejak sekarang, maka kita dapat


(22)

menaruh harapan bahwa anak bisa bertanggung jawab atas pemikirannya serta sanggup menyelesaikan masalah yang baru baik menggunakan dugaan, atau secara analisis. Melalui penalaran adaptif menjauhkan siswa dari sekedar menghapal konsep tetapi lebih jauh dari pada itu.

Perlu disadari bahwa untuk meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa membutuhkan faktor dari dalam atau luar siswa tersebut. Salah satu faktor dari luar adalah model pembelajaran yang digunakan guru selama proses pembelajaran terlebih lagi kemampuan penalaran adaptif merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga perlu mendapatkan perhatian lebih untuk mengembangkannya. Baiknya memilih pembelajaran matematika yang lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang dirancang sedemikian rupa mencerminkan keterlibatan siswa secara aktif.

Untuk meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa diantaranya dengan memilih suatu model pembelajaran yang berdasarkan pada prinsip pemecahan masalah. Leeuw dalam Lia Kurniawati mengemukakan bahwa ketika seseorang belajar pemecahan masalah, pada intinya dia pun sedang belajar berpikir (learning to think) dan belajar bernalar (learning to reason) untuk mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh untuk memecahkan masalah yang belum pernah dijumpai.6 Selain itu Joakim Samuelsson mengatakan bahwa “Teaching methods where students are able to use their language in order to discuss mathematical problem seems to have positive effect on student conceptual understanding, strategic competence, and adaptive reasoning”.7 Uraian tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran pemecahan masalah dapat dijadikan alternatif untuk melatih penalaran adaptif matematis siswa dalam memahami matematika secara utuh. Terlebih lagi dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak terlepas dari masalah-masalah baik matematika atau non matematika yang perlu diselesaikan.

6Lia Kurniawati, op.cit, h. 79

7Samuelsson Joakim. The Impact of The Approaches on Student Mathematical Profiency in Sweden. International Electronic Journal of Mathematics Education, h.73


(23)

6

Pembelajaran pemecahan masalah ini dapat memberikan banyak sekali kesempatan kepada siswa untuk menggunakan penalaran adaptifnya dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru secara langsung dapat melatih penalaran adaptif matematisnya, karena siswa dituntut aktif selama pembelajaran. Aktif bertanya, aktif mengemukakan gagasan dan aktif menggunakan penalarannya untuk menemukan suatu solusi permasalahan matematika. Dengan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran yang lebih dipentingkan adalah membuat dugaan, penemuan dan pemecahan soal sehingga secara tidak langsung menjauhkan siswa dari tekanan menemukan jawaban berdasarkan hafalan rumus saja. Dengan begitu menjadikan logika dan bukti matematika sebagai alat pembenaran. Nantinya siswa diharapkan dapat memahami dan menggunakan matematika secara utuh.

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran pemecahan masalah yang menekankan penemuan berbagai alternatif ide atau gagasan untuk mencari penyelesaian berupa solusi yang paling efisien dari suatu permasalahan menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen. Proses berpikir divergen untuk menghasilkan banyak ide berdasarkan intuisi dalam menyelesaikan masalah, sedangkan berpikir konvergen berperan dalam pengambilan keputusan atas ide yang ada. Model pembelajaran ini dirasa mampu mengembangkan dan melatih penalaran adaptif matematis siswa, karena pada model pembelajaran ini menekankan siswa untuk melatih dan mengembangkan kemampuan penalaran baik induktif dan deduktif yang melibatkan kemampuan intuitif. Dengan CPS, siswa dilatih untuk mengidentifikasi sebuah permasalahan tetapi tidak seperti metode pemecahan masalah pada umumnya, model ini lebih menekankan pada kebutuhan untuk menunda judgment terhadap gagasan-gagasan dan solusi-solusi yang diperoleh hingga ada keputusan final yang dibuat. Sehingga pada tahap-tahap tersebut sangat berpotensi sekali untuk melatih dan meningkatkan penalaran adaptif matematis siswa. Berbagai solusi yang potensial diterima karena yang dibutuhkan dalam brainstorming (pengungkapan pendapat) dalam CPS adalah kuantitas ide, bukan kualitas ide.8

8Huda, Miftahul, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.148


(24)

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ” Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, identifikasi masalah yang ditemui yaitu:

1. Rendahnya kemampuan penalaran adaptif matematis siswa.

2. Guru tidak mengikutsertakan siswa dalam mengkonstruksi suatu pengetahuan, siswa cenderung pasif.

3. Metode pembelajaran yang biasa digunakan di kelas kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran adaptifnya.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini perlu diadakan pembatasan agar pengkajian masalah dalam penelitian ini terfokus dan terarah. Adapun pembatasan masalah penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS). Model pembelajaran CPS meliputi lima langkah yaitu menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan ide, menemukan solusi, menemukan penerimaan.

2. Penelitian ini terbatas pada kemampuan penalaran adaptif matematis siswa, dengan indikator: menduga dan menarik kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati (induktif intuitif), menduga dan menarik kesimpulan logis (deduktif intuitif).

3. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP Negeri di Depok, kelas VII semester 2 pada materi segi empat dan segitiga.


(25)

8

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)?

2. Bagaimana kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional?

3. Apakah kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

2. Mengetahui kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional.

3. Membandingkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa antara yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Apabila hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan penalaran adaptif matematis siswa, maka diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak diantaranya:

1. Bagi Siswa

Membantu siswa dalam melatih dan mengembangkan kemampuan penalaran adaptif matematisnya dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).


(26)

2. Bagi Guru

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika dan menjadikan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran matematika, serta sebagai sumber informasi mengenai penggunaan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) jika digunakan dalam pembelajaran matematika.

3. Bagi Sekolah

Dapat dijadikan referensi dan memberikan gambaran secara terperinci bahwa

Creative Problem Solving (CPS) merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematis siswa. Selain itu dapat pula dijadikan bahan pertimbangan bagi sekolah guna meningkatkan mutu pembelajaran matematika maupun pembelajaran bidang studi yang lain.

4. Bagi Pembaca dan Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan rujukan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Peneliti selanjutnya diharapkan mengembangkan penelitian ini lebih lanjut.


(27)

10

BAB II

DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

A. Deskripsi Teoretis

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis a. Pengertian Matematika

Istilah matematika berasal dari Bahasa Yunani yaitu mathematike, yang memiliki arti hal-hal yang berhubungan dengan belajar dan kata tersebut memiliki akar kata mathema yang artinya pengetahuan atau ilmu.1 Kata

mathematike pun berhubungan erat dengan kata lain, yaitu mathenein yang maknanya adalah belajar (berpikir). Berdasarkan asal katanya tersebut, maka matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat melalui proses berpikir (bernalar), hal tersebut dikarenakan dalam prosesnya matematika lebih menekankan pada penggunaan penalaran bukan hanya sekedar menekankan dari hasil eksperimen sehingga matematika terbentuk dari hasil pikiran manusia yang menghubungkan antara ide, proses dan penalaran. 2

Kline dalam Mulyono mengemukakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis yang memiliki ciri utama yaitu penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi tidak melupakan cara bernalar induktif.3 Matematika terbentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri, lalu pengalaman tersebut diproses melalui pembuktian dan logika untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran sehingga menghasilkan bentuk konsep-konsep matematika yang mudah dipahami.4 Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipastikan bahwa matematika di hasilkan melalui proses berpikir yang bedasarkan logika atau dengan kata lain logika merupakan dasar terbentuknya

1Suhendra, dkk, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h.7.4

2Erna Suwangsih, Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h.3

3Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h.203


(28)

matematika. Sementara itu, Suhendra mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian atau definisi matematika, yaitu5:

1) Matematika adalah disiplin ilmu yang bersifat abstrak

2) Matematika adalah bidang yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran

3) Matematika adalah disiplin ilmu yang penalarannya bersifat induktif dan deduktif

4) Matematika adalah bahasa simbol dan numerik yang didefinisikan secara cermat, jelas, dan akurat

5) Matematika adalah metode bernalar atau berpikir secara logis 6) Matematika adalah ilmu mengenai kuantitas dan besaran 7) Matematika adalah ilmu tentang berhitung

8) Matematika adalah ilmu tentang hubungan, pola, bentuk, dan struktur 9) Matematika adalah karya seni

10)Matematika adalah “ratu” ilmu pengetahuan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ide-ide atau konsep yang diproses dengan menggunakan penalaran, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk mengembangkan dan melatih kemampuan seseorang untuk berpikir secara logis, analisis, sistematis, bernalar, kritis, kreatif serta berpikir bagaimana suatu permasalahan matematis dapat diselesaikan. Sedangkan matematis atau matematik adalah sesuatu yang berkaitan dengan matematika atau bersifat matematika.

b. Matematika Sebagai Penalaran

Penalaran adalah proses berpikir untuk menentukan benar atau salahnya suatu kesimpulan berdasarkan argument, pernyataan, premis, aksioma yang diketahui. Penalaran dapat dikatakan bersifat logis jika kesimpulan dihasilkan oleh argumen, pernyataan atau premis yang benar. Hal tersebut berlaku sebaliknya jika kesimpulan yang dihasilkan dari argumen yang salah akan

5Suhendra, op.cit., h. 7.5-7.11.


(29)

12

menghasilkan penalaran yang tidak logis.6 Menurut Shadiq, penalaran adalah suatu kegiatan, proses, aktivitas berpikir untuk menyimpulkan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.7 Dapat diartikan bahwa penalaran bermula dari sesuatu yang sudah ada atau diketahui, kemudian dari sana ditarik suatu kesimpulan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penalaran adalah suatu proses untuk mencapai kesimpulan logis dengan berdasarkan pada fakta dan sumber lainnya yang relevan.

Matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami serta dilatihkan melalui belajar matematika.8 Besandar pada pendapat ahli tentang pengertian matematika yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penalaran memang memiliki hubungan yang erat sekali dengan matematika, hal tersebut juga didukung oleh pendapat Shadiq yang memperkuat bahwa matematika merupakan kegiatan yang menggunakan penalaran. Matematika dapat dijadikan wadah untuk meningkatkan kemampuan seseorang, terutama dalam kegiatan bernalarnya. Terlebih lagi matematika dan penalaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sehingga seharusnya dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika seharusnya siswa dikondisikan untuk menggunakan penalarannya.

c. Pengertian Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis

Penalaran adaptif merupakan salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh siswa untuk menunjukkan kemampuan belajarnya. Adapun menurut Killpatrick, Swafford dan Findell dalam bukunya Adding It Up, penalaran adaptif adalah kapasitas untuk berpikir secara logis, memperkirakan jawaban, memberikan penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang

6Ristyantoro, Rodemeus, Membangun Pemikiran Logis, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2012), h. 94

7Fajar Shadiq, Pemecahan masalah, Penalaran dan Komunikasi, Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMA Jenjang Dasar, (Yogyakarta, 6-19 Agustus 2004), h.2


(30)

digunakan dan menilai kebenarannya secara matematika.9 Kecakapan matematis ini bukanlah kecakapan bawaan dari siswa semata, melainkan gabungan pengetahuan serta kemampuan dan keyakinan yang diperoleh siswa dengan bantuan guru dan lingkungan belajar lainnya.

Kilpatrick mengemukakan bahwa penalaran adaptif tidak hanya mencakup penalaran deduktif saja yang hanya mengambil kesimpulan berdasarkan pembuktian formal secara deduktif, tetapi penalaran adaptif juga mencakup intuisi dan penalaran induktif dengan pengambilan kesimpulan berdasarkan pola, analogi, dan metafora.10 Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran adaptif memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan penalaran pada umumnya yang hanya mencakup penalaran induktif dan deduktif saja, karena dalam prosesnya penalaran adaptif juga melibatkan proses intuisi.

Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati, sedangkan penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang telah disepakati.11 Menurut Copi dalam Gelar, penalaran deduktif merupakan proses penalaran dalam penarikan kesimpulan yang diturunkan secara mutlak menurut pernyataan yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain.12 Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif diantaranya adalah13:

1) Menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat yang besifat khusus yang kemudian diterapkan pada kasus khusus yang lainnya.

2) Penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.

3) Penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati. 4) Memperkirakan jawaban.

9Jeremy Kilpatrick, Jane Swafford, Bradford Findell, Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics, (Washington DC: National Academy Press, 2001) h.5

10Jeremy Kilpatrick, dkk, op.cit, h.129

11Utari Sumarmo, Berpikir dan Disposisi Matematika: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik, (UPI, 2010), h.5-6

12Gelar Dwirahayu, Pengaruh Pendekatan Analogi terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP, (Jakarta: Jurnal ALGORITMA, 2006), h.60


(31)

14

5) Memberikan penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola yang ada.

6) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun konjektur.

Sementara kegiatan yang tergolong penalaran deduktif diantaranya adalah14: 1) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.

2) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan, dan menyusun argument yang valid. 3) Meyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian

dengan induksi matematika.

Istilah intuisi atau intuitif adalah kognisi yang ditangkap secara langsung tanpa atau sebelumnya membutuhkan pembenaran atau interpretasi.15 Pengetahuan intuitif adalah jenis pengetahuan yang tidak didasarkan pada bukti empiris yang cukup atau argument logis yang ketat dan meskipun seperti itu tetap diterima dengan yakin dan jelas.16Sementara pemahaman intuitif terjadi jika seseorang dapat memperkirakan atau menduga kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu dan tanpa terlebih dahulu menganalisis secara analitik.17 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan intuitif adalah proses atau kegiatan untuk menduga, menetapkan sesuatu tanpa terlebih dahulu melakukan pembukti atau penjelasan secara formal. Ada beberapa hal yang dijadikan ciri-ciri atau karakteristik intuitif, diantaranya18: 1) Self evident, karakteristik ini merupakan karakteristik yang mendasar atau

sangat penting dari intuisi. Konklusi yang diambil secara intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran suatu konklusi secara intuitif diterima berdasarkan feeling dan cenderung tidak memerlukan pembenaran lebih lanjut.

14Utari Sumarmo, op.cit, h.6

15Efraim Fischbein, Intuition Science and Mathematics: An Educational Approch, h.3 16Efraim Fischbein, op.cit, h.26

17Lia Kurniawati, Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMP, (Jakarta: Jurnal ALGORITMA, 2006), h.80


(32)

2) Intrinsic certainty, kepastian konklusi berasal dari dalam diri dan bersifat mutlak yang tidak perlu ada dukungan eksternal baik secara formal ataupun empiris untuk memastikan kebenarannya.

3) Perseverance, menunjukkan bahwa intuisi yang dibangun memiliki kekokohan atau bisa dikatakan stabil. Artinya bahwa intuisi merupakan strategi penalaran individual yang bersifat kokoh dan tidak mudah berubah.

4) Coerciveness, intuisi bersifat memaksa. Hal ini memiliki arti bahwa seseorang cenderung menolak representasi atau interpretasi alternatif yang berbeda dengan keyakinannya.

5) Theory status, intuisi bukan hanya teori saja melainkan teori yang dapat diungkapkan dalam sebuah representasi tertentu.

6) Extrapolativeness, intuisi dihasilkan berdasarkan meramal, menduga, memperkirakan. Artinya bahwa melalui intuisi, seseorang menangkap secara universal suatu prinsip, suatu relasi, suatu aturan melalui realitas khusus. Dengan kata lain bahwa intuisi yang bersifat extrapolativeness

juga dapat dipahami bahwa kognisi intuitif mempunyai kemampuan untuk meramalkan, menerka, menebak makna di balik fakta pendukung empiris. 7) Globality, intuisi bersifat global, utuh, bersifat holistik yang terkadang

berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, tidak selalu berurutan dan berpikir analitis. Dalam sifat ini, orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan objek dari pada bagian-bagian dan terkesan kurang detailnya.

8) Implicitness, intuisi bersifat tersembunyi, tidak tampak, berada dibalik fakta. Artinya dalam membuat interpretasi, keputusan atau konklusi tertentu atau dalam menyelesaikan masalah bersifat implisit dan tidak dinyatakan melalui langkah demi langkah seperti aturan inferensi dalam logika.

Didalam kognisi intuitif terdapat beberapa model yang disebut model intuitif. Model intuitif ini digunakan sebagai alat yang esensial untuk


(33)

16

membantu seseorang memahami dan menyelesaikan suatu permasalahan secara intuitif. Adapun model intuitif menurut Fischbein, diantaranya19:

1) Model Diagramatik

Model ini menganggap bahwa diagram atau grafik merupakan representasi dari suatu fenomena dan keterkaitannya. Sebagai contoh yang memenuhi kategori ini adalah diagram venn, diagram pohon, histogram yang digunakan untuk representasi statistik. Dalam hal ini diagram dipandang memiliki peran penting bagi munculnya intuisi seseorang, hal tersebut disebabkan karena intuisi mengarahkan sipnotik sebagai representasi global dari struktur atau proses dan berkontribusi terhadap karakteristik global dan mempercepat proses pemahaman, selain itu diagram adalah alat yang ideal atau sangat baik untuk menjembatani antara interpretasi konsep dan ekspresi praktis dalam realita tertentu, atau dengan kata lain bahwa diagram merupakan sintesis dari suatu representasi antara simbolik dan iconic.

2) Model Paradigmatik

Suatu model yang terdapat subkelas dari sistem yang di modelkan. 3) Model Analogi

Suatu model yang digunakan untuk dua konsep yang berbeda, namun sistem konsep yang satu juga dimiliki oleh sistem yang lain.

4) Model eksplisit dan implisit

Suatu model yang digunakan seseorang untuk mencari dan menentukan model untuk memudahkan atau mengarahkan dalam menyelesaikan masalah. Sebagai contoh menggunakan bantuan grafik diagram dan histogram.

Sebagaimana penjelasan beberapa model yang terdapat dalam kognisi intuitif di atas maka grafik, diagram, gambar dan model representasi lainnya dapat dijadikan alat bantu seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematis, tetapi tetap tidak melupakan bahwa intuisi adalah kegiatan

19Efraim Fischbein, op.cit, h.121-154


(34)

memperkirakan kebenaran tanpa ragu-ragu dengan tidak menganalisis secara analitik dalam menemukan dan menyelesaikan suatu permasalahan matematis. Penalaran adaptif secara khusus dibagi menjadi dua aspek yaitu penalaran induktif intuitif dan deduktif intuitif. Penalaran induktif intuitif merupakan proses penarikan kesimpulan dari khusus ke umum yang melibatkan proses intuisi. Dapat dikatakan bahwa penalaran induktif intuitif adalah proses berfikir berupa penarikan kesimpulan yang bersifat umum (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal-hal khusus (fakta) yang melibatkan proses intuisi. Artinya, dari fakta-fakta yang diperoleh kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Sedangkan, penalaran deduktif intuitif merupakan proses penarikan kesimpulan dari umum ke khusus berdasarkan aturan yang disepakati, melalui kegiatan yang melibatkan proses intuisi.

Penalaran adaptif adalah sebuah kapasitas untuk berpikir secara logis tentang hubungan konsep dan situasi. Didalam proses pembelajaran matematika, penalaran adaptif berperan sebagai perekat yang menyatukan kompetensi siswa, sekaligus menjadi pedoman dalam mengarahkan pembelajaran. Salah satu kegunaannya adalah melihat melalui berbagai macam fakta, prosedur, konsep, dan metode pemecahan untuk melihat bahwa segala sesuatu tepat dan masuk akal.20 Tidak sebatas bisa menentukan benar atau salah suatu penyelesaian permasalahan matematika, tetapi siswa dituntut untuk mengajukan pembenaran terhadap suatu permasalahan jika terjadi kesalahan.21 Dengan mengajukan pembenaran yang disertai bukti siswa juga lebih memahami jalan pikirannya dan jalan pikiran orang yang diperiksa pekerjaannya.

Berdasarkan uraian diatas, penalaran adaptif tidak hanya menekankan siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi siswa dituntut untuk berpikir secara logis yaitu masuk akal dan menggunakan penalarannya secara benar. Hal tersebut berdasarkan fakta yang diketahui sebelumnya, dan benar-benar mempertimbangkan bahwa prodesur penyelesaiannya memang sesuai

20Jeremy, Kilpatrick, dkk, op.cit h.129


(35)

18

dengan kaidah yang berlaku. Siswa dapat menunjukkan penalaran adaptif mereka ketika menemui tiga kondisi,22 yaitu:

1) Mempunyai pengetahuan dasar yang cukup.

2) Tugas yang dapat dipahami atau dimengerti dan dapat memotivasi siswa 3) Konteks yang disajikan telah dikenal dan menyenangkan bagi siswa.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan bahwa kemampuan penalaran adaptif matematis siswa dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk berpikir secara logis mengenai hubungan antara konsep dan situasi melalui penalaran induktif intuitif dan deduktif intuitif. Kemampuan intuitif dan penalaran baik induktif atau deduktif bukanlah suatu urutan, sehingga kemampuan intuitif bisa berada pada bagian apapun dalam proses penalaran induktif atau deduktif. Penalaran induktif intuitif adalah pengambilan kesimpulan dari khusus ke umum yang melibatkan proses intuisi. Penalaran deduktif intuitif adalah pengambilan kesimpulan dari umum ke khusus yang melibatkan proses intuisi. Proses intuisi adalah proses atau kegiatan untuk menduga, menetapkan sesuatu dengan atau tanpa menggunakan bantuan representasi tetapi tanpa terlebih dahulu melakukan pembukti atau penjelasan secara formal.

Akan tetapi dalam penelitian ini difokuskan pada dua indikator, yaitu: 1) Kemampuan menduga dan menarik kesimpulan umum berdasarkan

sejumlah data yang teramati (induktif intuitif).

2) Kemampuan menduga dan menarik kesimpulan logis (deduktif intuitif).

2. Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) a. Problem Solving (Pemecahan Masalah)

Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika dapat dipandang sebagai pendekatan dan kegiatan. Pemecahan masalah sebagai pendekatan pembelajaran digunakan umtuk menemukan kembali dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika yang diawali dengan penyajian masalah untuk


(36)

kemudian siswa menemukan konsep matematika.23 Sehingga dapat dikatakan bahwa problem solving merupakan salah satu dasar teoretis dari berbagai strategi pembelajaran yang menjadikan masalah (problem) sebagai isu utamanya.

Problem Solving bukan hanya sekedar metode mangajar, akan tetapi sebagai metode berpikir yang dimulai dengan mencari data sampai menarik sebuah kesimpulan. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang berorientasi “learner centered” dan berpusat pada pemecahan suatu masalah oleh siswa melalui kerja kelompok yang dimulai dari langkah merumuskan masalah, merumuskan jawaban sementara, mengumpulkan dan mencari fakta, menarik kesimpulan dan mengaplikasikannya.24

Berbicara tentang pemecahan masalah tidak terlepas dari tokoh utamanya, yaitu Polya. Menurut Polya dalam pemecahan masalah terdiri dari 4 langkah yang harus dilakukan,25 yaitu:

1) Memahami masalah (Understanding The Problem)

 Apa yang diketahui? Apa data yang diberikan?

 Bagaimana kondisi soal? Apakah mungkin soal tersebut dinyatakan kedalam bentuk lain atau hubungan lainnya?

 Apakah kondisi soal cukup atau tidak cukup untuk menyelesaikan soal atau saling bertentangan?

 Gambarkan dan tuliskan notasi yang cocok. 2) Merencanakan penyelesaian (Devising A Plan)

 Pernahkan kamu melihat kondisi soal yang sama seperti ini? Atau pernah melihat masalah yang sama dalam bentuk lain?

 Tahukah kamu masalah yang mirip dengan masalah ini? Taukah kamu teorema yang dapat digunakan untuk menjawab masalah ini?

 Perhatikan apa yang ditanyakan, coba pikirkan permasalahan yang sering dijumpai dengan pertanyaan yang sama atau serupa. Jika ada

23Utari Sumarmo, op.cit, h.5

24Abdul Majid, Strategi Pembelajaran,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.212-213 25Polya, G, How To Solve It, (America: Pricenton University Press, 1973), h. xvi


(37)

20

masalah yang mirip dan pernah diselesaikan, dapatkah digunakan kembali pada masalah yang sekarang. Bisakah menggunakan hasil metode tersebut disini?

 Apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan masalah semula? Dapatkah mengulang soal tadi? Dapatkah kamu menyatakan dalam bentuk yang lain? Dan kembali pada definisi.

3) Mengoperasionalkan rencana (Carrying Out The Plan)

 Melakukan rencana penyelesaian dan memeriksa setiap langkah apakah sudah benar. Bagaimana cara kamu membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar?

4) Memeriksa kembali proses dan hasil (Looking Back)

 Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh?

 Dapatkah diperiksa bantahannya? Dapatkah diselesaikan dengan cara yang lain?

 Dapatkah kamu melihatnya secara sekilas? Dapatkah hasil itu ataupun cara tersebut digunakan untuk soal-soal yang lain?

Selama kegiatan pemecahan masalah, kreatifitas, keaktifan dan bagaimana siswa menyelesaikan permasalahan matematis harus ditumbuhkembangkan. Kemampuan berpikir siswa akan lebih berkembang jika dihadapkan dengan situasi yang meminta berbagai pernyelesaian, dan selanjutnya memilih solusi yang paling tepat. Dengan begitu keuletan siswa dalam memecahkan masalah sangat diperlukan dan dapat membantu siswa untuk mengevaluasi pemahaman mereka sendiri serta dapat mengidentifikasi ide-ide yang ada dalam pemikiran mereka.

b. Creative Problem Solving (CPS)

Creative problem solving (CPS) berasal dari kata creative, problem, solving. Creative artinya banyak ide baru dan unik dalam mengkreasi solusi serta mempunyai nilai dan relevan, problem artinya suatu situasi yang


(38)

memberikan tantangan, kesempatan, yang saling berkaitan, sementara solving

artinya merencanakan suatu cara untuk menjawab dari suatu problem.26 Didalam problem solving siswa tidak terlepas dari ide yang diajukan dalam menyelesaikan permasalahan matematis. Untuk mengefektifkan

problem solving dengan banyak ide yang dihasilkan, menurut Mitchell dan Kowalik sebaiknya menggunakan model Osborn-Parnes yaitu model pemecahan masalah kreatif.27 Model tersebut dikembangkan oleh pencipta

brainstorming, yaituAlex Osborn dan Dr. Sidney Parnes.28

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan pengembangan dari pembelajaran problem solving. Tahapan dalam model pembelajaran ini merepresentasikan prosedur sistematik dalam mengidentifikasi tantangan, menciptakan gagasan, dan menerapkan solusi-solusi inovatif. Melalui praktik dan penerapan proses tersebut secara berkelanjutan, siswa dapat memperkuat teknik-teknik kreatif dan penalaran adaptif mereka dan belajar menerapkannya dalam situasi-situasi yang baru. Dimana teknik-teknik kreatif memelurkan kemampuan intuitif. Model pembelajaran ini tidak seperti metode pemecahan masalah pada umumnya, model ini lebih mengutamakan kuantitas ide yang diberikan dan selanjutnya tidak langsung ada keputusan final atau masih ada penundaan solusi.29

Peran guru dalam pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS) lebih banyak menempatkan diri sebagai fasilitator (membantu memberikan kemudahan kepada siswa dalam proses pembelajaran), motivator (memberikan motivasi kepada siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran), dan dinamisator (guru berusaha memberikan rangsangan dalam mencari, mengumpulkan, dan menentukan

26Mitchell E, Kowalik, Thomas, Creative Problem Solving, (Genigraphics Inc: 1999), cet ke-3, h. 4

27Mitchell E, Kowalik, Thomas, op.cit, h. 4

28Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.147


(39)

22

informasi untuk pemecahan masalah).30 Selama proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran CPS, siswa diberikan kesempatan secara luas untuk memecahkan masalah yang diberikan, hal tersebut merupakan prasyarat bagi siswa yang ingin belajar mandiri. Tujuan yang ingin dicapai adalah siswa diarahkan aktif dalam membangun pengetahuannya melalui pengalaman langsung sehingga diharapkan tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai dengan baik.

Model pembelajaran CPS memiliki aspek kreatif. Menurut Pehkonen, berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen berdasarkan intuisi. CPS memiliki karakteristik dalam prosesnya yaitu menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen. Berpikir divergen adalah pola berpikir yang menyebar atau dengan kata lain berpikir yang bervariasi, berbagai ide dari pengertian sudut pandang yang berbeda-beda. Pola-pola dalam berpikir divergen diantarannya, menangguhkan adanya sebuah pembenaran, melihat atau memperhatikan kumpulan ide, menerima seluruh ide, menambahkan ide sendiri pada ide yang telah dikumpulkan, mencoba mengkombinasikan. Berpikir konvergen adalah pola berpikir yang mengumpul. Pola-pola dalam berpikir konvergen diantaranya, tenang tidak tergesa-gesa, berhati-hati, tegas dan jelas, menghindari keputusan yang terlalu dini, mencari kejelasan, membangun kebenaran, jangan menyimpang dari tujuan.31

Osborn-Parnes mengatakan bahwa model pembelajaran CPS mempunyai tiga komponen utama, yaitu32:

1) Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan.

2) Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah

3) Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah

30Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009), h. 201 31Mitchell E, Kowalik, Thomas, op.cit,h.5


(40)

Langkah-langkah dalam model pembelajaran Creative Problem Solving, menurut William E.Mitchell dan Thomas F. Kowalik berdasarkan model pemecahan masalah Osborn-Parnes,33 yaitu:

1) Mess-finding (Menemukan masalah yang dirasakan sebagai pengganggu) Tahap pertama merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang dirasakan mengganggu.

2) Fact-finding (Menemukan Fakta)

Tahap kedua yaitu menemukan fakta. Pada tahap ini siswa mendaftar semua fakta yang diketahui dan berhubungan dengan situasi tersebut untuk menemukan informasi yang tidak diketahui tetapi esensial pada situasi yang sedang diidentifikasi dan dicari. Pada tahap kedua ini melibatkan cara berpikir divergen dan konvergen. Saat mengungkapkan hal yang dianggap fakta merupakan proses berpikir divergen, sedangkan saat mempertimbangkan dan memutuskan apa saja yang merupakan fakta terpenting digunakan proses berpikir konvergen.

3) Problem-finding (Menemukan Masalah)

Tahapan ketiga yaitu menemukan masalah. Tahapan dimana diupayakan siswa dapat mengidentifikasi semua kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih apa yang paling penting atau yang mendasari masalah. Tahapan ini melibatkan berpikir divergen yaitu ketika siswa mencatat semua yang dirasa menjadi masalah persoalan yang diberikan. Ketika mempertimbangkan dan memutuskan suatu pernyataan adalah sebuah masalah maka digunakan proses berpikir konvergen.

4) Idea-finding (Menemukan Ide)

Tahapan keempat yaitu menemukan ide. Pada tahapan ini diupayakan untuk menemukan sejumlah ide dan gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada tahapan ini siswa hanya menggunakan proses berpikir divergen, yaitu mencoba untuk menduga dan mendaftarkan ide-ide yang mungkin dapat menjadi penyelesaian permasalahan yang ada.


(41)

24

5) Solution-finding (Menemukan Solusi)

Tahap kelima yaitu menemukan solusi. Pada tahapan ini siswa menyeleksi solusi, ide dan gagasan yang telah diperoleh pada tahap idea-finding

untuk menemukan ide yang paling tepat dalam memecahkan masalah dengan cara sistematik. Pada tahapan ini, siswa menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen. Berpikir divergen digunakan ketika siswa menduga ide apa yang paling tepat dijadikan solusi, sedangkan berpikir konvergen digunakan ketika siswa memberikan justifikasi atas dugaan yang diberikan sebelumnya secara analitik.

6) Acceptance-finding (Menemukan Penerimaan)

Tahapan terakhir dalam model pembelajaran ini yaitu menemukan peneriman. Pada tahapan ini siswa berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana tindakan, dan mengimplementasikan solusi tersebut. Penerimaannya berupa hasil konsep atau solusi yang diterima. Pada tahapan ini siswa menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen untuk memutuskan kembali bahwa solusi yang mereka dapatkan tepat.

Berdasarkan kedua pendapat diatas, pada umumya memiliki tahapan-tahapan yang sama. Hanya pengelompokkannya saja yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena, model pembelajaran ini dibuat menjadi flexible atau mudah disesuaikan, dalam artian pengguna model pembelajaran ini diberikan kebebasan untuk menghilangkan satu tahapan atau mungkin membuat tahapan yang baru.34 Dalam penelitian ini, langkah yang akan digunakan adalah menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan ide, menemukan solusi, menemukan penerimaan.

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving merupakan pengembangan dari problem solving, yang membedakannya hanyalah penguatan kreatifitas dalam model pembelajaran

34Arthur B VanGundy, Creative Problem Solving: A Guide For Trainers and Management,


(42)

CPS dan adanya berpikir konvergen serta divergen dalam model pembelajaran tersebut. Langkah-langkah pada model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) memiliki kesamaan dengan langkah pemecahan masalah pada umunya khususnya menurut Polya. Langkah mess finding, fact finding, problem finding pada CPS merupakan tahapan menemukan masalah pada pemecahan masalah Polya, sedangkan idea finding pada CPS merupakan tahapan merencanakan penyelesaian pada pemecahan masalah Polya. Solution finding pada CPS merupakan tahapan mengoperasionalkan rencana pada pemecahan masalah Polya, dan acceptance finding pada CPS merupakan memeriksa kembali proses dan hasil pada pemecahan masalah.

Berdasaran pemaparan diatas, dapat dirumuskan pembelajaran dengan

Creative Problem Solving (CPS) dalam penelitian ini yaitu suatu model pembelajaran pemecahan masalah yang menekankan penemuan berbagai alternatif ide atau gagasan yang melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen untuk mencari penyelesaian berupa solusi yang paling efisien dari suatu permasalahan. Berpikir divergen yaitu menghasilkan banyak ide berdasarkan intuisi dalam menyelesaikan masalah. Berpikir konvergen adalah kegiatan pengambilan keputusan atas ide yang ada. Tahapan CPS yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1) Menemukan fakta

Pada tahap ini siswa mendaftar semua fakta yang diketahui terkait dengan masalah yang ingin dipecahkan dan mencari data lain yang diperlukan dengan melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen.

2) Menemukan masalah

Pada tahap ini siswa mengidentifikasi pernyataan masalah dan menentukan hal-hal penting yang mendasari masalah dengan melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen.

3) Menemukan ide

Pada tahap ini siswa diupayakan dapat mengembangkan sejumlah gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan proses berpikir divergen.


(43)

26

4) Menemukan solusi

Pada tahap ini siswa menyeleksi gagasan-gagasan yang diperoleh untuk menemukan gagasan yang paling tepat dalam memecahkan masalah dengan cara yang sistematik dengan melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen.

5) Menemukan penerimaan

Pada tahap ini siswa berupaya untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah yang telah ditemukan atau memastikan solusi berhasil, dan mengimplementasikan solusi tersebut dengan melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa digunakan guru ketika mengajar di sekolah. Pembelajaran konvensional yang dilaksanakan di sekolah tempat dilaksanakan penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari guru kepada siswanya dengan tujuan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran yang diberikan secara optimal. Selama pembelajaran, materi pembelajaran disampaikan langsung oleh guru, siswa tidak dituntut untuk menemukan materi tersebut. Fokus utama dari pembelajaran ini adalah kemampuan akademik siswa.35

Langkah-langkah pembelajaran dengan metode ekspositori dapat dirinci sebagai berikut36 :

a) Persiapan, dalam tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.

b) Penyajian, dalam tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Guru berusaha semaksimal mungkin agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa.

35Abdul Majid, op.cit, h.216-217 36Abdul Majid, op.cit.,h. 219-220.


(44)

c) Korelasi, dalam tahap ini guru menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa untuk memberikan makna terhadap materi pembelajaran. d) Menyimpulkan, adalah tahapan memahami inti dari materi pembelajaran yang

disajikan.

e) Mengaplikasikan, merupakan tahapan unjuk kemampuan siswa setelah menyimak penjelasan dari guru.

Dalam pembelajaran ekspositori, materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi tersebut dan materi pelajaran seakan-akan sudah jadi saat diberikan. Begitu juga dengan memberikan relevansi materi dalam kehidupan sehari-hari dilakukan sebagai kegiatan tambahan bukan suatu keharusan. Pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru yang berarti peran guru sangat dominan dalam pembelajaran

Pembelajaran ekspositori memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari pembelajaran ekspositori sehingga sering dan banyak digunakan diantaranya adalah guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, pembelajaran ini sangat efektif jika materi yang harus dikuasai cukup luas sedangkan waktunya terbatas, dan pembelajaran ini bisa digunakan pada kelas besar yang memiliki jumlah yang cukup banyak. Adapun kekurangan yang dimilikinya adalah pembelajaran ini tidak dapat melayani perbedaan setiap individu, pembelajaran ini sangat bergantung pada apa yang dimiliki guru, kesempatan mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan terbatas pula.37

B. Kajian Hasil Penelitian Relevan

Sebelum peneliti melakukan penelitian tentang pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), terlebih dahulu peneliti melakukan kajian terhadap penelitian yang relevan, yaitu:

1. Rosita Mahmudah (2013) dengan judul penelitian “Pengaruh Model

Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir

37Abdul Majid, op.cit, h.220-221


(45)

28

Kritis Matematis Siswa. Kesimpulan dari penelitiannya adalah kemampuan berpikir kritis matematis yang diajarkan dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih baik dari pada kemampuan berpikir kritis matematis yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelas eksperimen 59,00 dan rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelas kontrol 48,00. Dengan demikian model pembelajaran Creative Problem Solving memberikan pengaruh lebih efektif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.38

2. Yulisa Desriyanti (2014) dengan judul penelitian “Pengaruh Motode

Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa”. Kesimpulan dari penelitiannya adalah kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan metode TAPPS lebih tinggi dari pada kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang menggunakan metode konvensional. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang menggunakan metode TAPPS sebesar 63,80 dan rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang menggunakan metode konvensional sebesar 47,18. Dengan demikian penggunaan metode TAPPS memberikan pengaruh terhadap kemampuan penalaran adaptif matematis siswa dibandingkan metode konvensional.39

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan hasil pra penelitian yang peneliti lakukan di salah satu SMP Negeri di Depok, kemampuan penalaran adaptif matematis siswa baik pada aspek induktif intuitif dan deduktif intuitif pada umumnya masih rendah. Akan tetapi

38Rosita Mahmudah, “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Skripsi Universitas Islam Negeri Jakarta 39Yulisa Desriyanti, “Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis Siswa”, Skripsi Universitas Islam Negeri Jakarta


(46)

disisi lain kemampuan penalaran adaptif matematis memiliki peranan penting dalam matematika seperti yang dipaparkan sebelumnya. Melihat kondisi yang demikian, tidak seharusnya dibiarkan secara terus menerus. Perlu adanya perhatian khusus guna meningkatkan kemampuan yang memegang peranan penting dalam matematika. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan melakukan perubahan pola pembelajaran yang biasa diterapkan.

Berdasarkan pengkajian teori, model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) ini dapat memupuk kemampuan penalaran adaptif matematis siswa, karena tahapan-tahapan (menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan ide, menemukan solusi, menemukan penerimaan) yang terdapat dalam model pembelajaran ini memberikan kesempatan siswa mengembangkan kemampuan penalaran adaptif matematisnya melalui proses berpikir divergen dan konvergen. Berpikir divergen untuk menghasilkan banyak ide berdasarkan intuisi sedangkan berpikir konvergen berperan dalam pengambilan keputusan atas ide yang ada. Melalui berpikir divergen dalam model pembelajaran CPS melatih kemampuan intuitif siswa karena proses berpikir divergen ada berdasarkan intuisi, sedangkan proses berpikir konvergen dalam model pembelajaran CPS melatih kemampuan penalaran siswa. Kemampuan intuitif bisa terdapat dalam bagian apapun dalam kemampuan penalaran. Kemampuan intuitif, penalaran induktif dan deduktif ketiganya terdapat dalam penalaran adaptif. Hal tersebut juga terlihat dari langkah-langkah creative problem solving yang bertujuan menemukan solusi terbaik melalui fakta-fakta, konsep, prosedur. Tujuan tersebut erat kaitannya dengan penalaran adaptif matematis yang melihat segala sesuatu tepat dan masuk akal berdasarkan fakta, konsep, prosedur.

Pada awal pembelajarannya guru memulai dengan memberikan suatu permasalahan matematis. Lalu siswa diberikan waktu untuk memahami permasalahan matematis yang diberikan dan kemudian menemukan fakta serta informasi apa saja yang terdapat dari permasalahan tersebut. Tahapan selanjutnya siswa memahami apa yang menjadi permasalahan mendasar dari permasalahan matematis yang diberikan. Permasalahan mendasar inilah yang harus mereka temukan penyelesaiannya. Pada kedua tahap ini, siswa menggunakan kemampuan


(47)

30

intuitifnya untuk menduga dan mendaftar apa yang dijadikan fakta dan masalah dan selanjutnya dengan menggunakan penalaran siswa mempertimbangkan dan memutuskan apa saja yang dijadikan fakta dan masalah dari permasalahan yang diberikan.

Pada tahapan selanjutnya, siswa diminta untuk mengemukakan seluruh ide-ide yang mungkin untuk menyelesaikan permasalahan. Tahapan ini mengharuskan siswa berpikir secara kreatif dan tentunya menggunakan kemampuan intuitifnya. Siswa hanya bertugas mendaftar semua ide-ide yang mungkin dijadikan penyelesaian permasalahan matematis yang diberikan tanpa melakukan analisis lebih lanjut. Pada tahapan ini siswa boleh merepresentasikan permasalahan yang diberikan dengan tujuan mempermudah mendaftar ide yang mungkin dengan kemampuan intuitifnya. Setelah mendaftar ide-ide yang mungkin, tahapan selanjutnya yaitu menemukan solusi. Pada tahapan menemukan solusi, siswa memilih ide mana saja yang dirasa paling tepat untuk dijadikan solusi permasalahan. Ketika memilih solusi yang paling tepat siswa menggunakan kemampuan intuitifnya untuk selanjutnya solusi yang dipilih dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan penalaran baik induktif atau deduktif. Solusi yang dipilih disertai penjelasan berupa penyelesaian matematis atau pembuktian. Tahapan ini memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran adaptif siswa.

Tahapan terakhir yaitu, menemukan penerimaan. Pada tahapan ini siswa berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana tindakan, dan mengimplementasikan solusi tersebut. Penerimaannya berupa hasil konsep atau solusi yang diterima. Penerimaan dilakukan untuk memastikan apakah solusi yang ditentukan sudah tepat dan masuk akal. Penerimaan dilakukan ketika siswa berada di dalam kelompok dan di depan kelas ketika melakukan presentasi kelompok. Tahapan ini memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran adaptifnya. Selain itu siswa ditugaskan untuk memeriksa pekerjaan kelompok lain, sehingga siswa dapat mengajukan pembenaran serta menjelaskan jika terjadi kesalahan. Secara sederhana kerangka berpikir pada penelitian ini digambarkan sebagai berikut:


(48)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teoretis dan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: kemampuan penalaran adaptif matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran secara konvensional.

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

Menemukan Ide

Menemukan Solusi

KPAM Siswa

lebih baik

Menemukan Penerimaan Menemukan Masalah

Menemukan Fakta

KPAM Siswa Rendah

Model Pembelajaran

CPS

Induktif Intuitif dan

Deduktif Intuitif


(49)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP Negeri di Depok. Pelaksanakan penelitian di sekolah tersebut dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 di kelas VII selama 9 pertemuan (8 pertemuan proses pembelajaran dan 1 pertemuan posttest) dengan pokok bahasan Segi Empat dan Segitiga. Jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

No Jenis Kegiatan Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar 1 Persiapan dan

Perencanaan √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2

Observasi (Wawancara Guru dan Pra Penelitian)

√ √

3

Pelaksanaan di Lapangan

(Proses Pembelajaran dan Post Test)

√ √

4 Analisis Data √

5 Laporan

Penelitian √

B. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode quasi experimental (eksperimen semu), yaitu suatu jenis eksperimen yang memiliki kelompok kontrol tetapi ada keterbatasan dalam mengontrol seluruh variabel yang juga mempengaruhi pelaksaan eksperimen.1 Dalam penelitian ini kelompok sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

1Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 114


(50)

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Randomized Post-test Only Control Group Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang pemilihan dan penempatannya dilakukan secara acak, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan treatment (perlakuan khusus) berupa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan dengan menggunakan pembelajaran secara konvensional yaitu pembelajaran ekspositori. Setelah tenggang waktu tertentu kedua kelompok tersebut diamati, kemudian diberi posttest untuk mengetahui perbedaan antara kedua kelompok tersebut. Jika terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, maka disimpulkan bahwa perbedaan yang terjadi itu disebabkan dari perlakuan yang diberikan.

Adapun skemanya sebagai berikut2 :

Dimana:

R1 = Kelompok eksperimen yang dipilih secara acak

R2 = Kelompok kontrol yang dipilih secara acak

X = Perlakuan saat pembelajaran dengan model pembelajaran CPS O3 = Posttest kelompok eksperimen

O4 = Posttest kelompok kontrol

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII salah satu SMP Negeri di Depok pada semester genap tahun ajaran 2014/2015. Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Teknik ini mengambil 2 kelas dari sembilan kelas yang ada. Kemudian dari 2 kelas tersebut diundi, kelas mana yang akan dijadikan kelas eksperimen dan

2Ibid, h. 112.

R1 X O3


(51)

34

kontrol, maka terpilih kelas VII-G dengan jumlah siswa 40 orang sebagai kelas eksperimen dan VII-F dengan jumlah siswa 40 orang sebagai kelas kontrol.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes untuk mengukur kemampuan penalaran adaptif matematis siswa berupa soal-soal uraian sebanyak 6 butir soal yang diberikan dalam bentuk posttest. Instrumen tes ini diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pokok bahasan segi empat dan segitiga, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut adalah sama. Adapun indikator yang akan diukur melalui tes uraian akan dijelaskan sebagaimana terdapat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.2

Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis

KD: Mengembangkan kemampuan penalaran adaptif matematis pada materi segi empat dan segitiga.

Indikator Soal

Indikator Kemampuan

Penalaran Adaptif

No. Butir

Soal

Jumlah Butir

Soal

1 2

Memberikan dugaan dan kesimpulan logis tentang bangun datar yang terbentuk dari ruas garis di dalam bangun persegi panjang

√ 4 1

Memberikan dugaan dan kesimpulan logis dari jumlah dua buah sudut dalam segitiga sama dengan besar sudut luar segitiga yang berpelurus dengan sudut dalam segitiga yang lainnya.

√ 5 1


(52)

Indikator Soal

Indikator Kemampuan

Penalaran Adaptif

No. Butir

Soal

Jumlah Butir

Soal

1 2

logis tentang luas daerah dan keliling bangun datar yang terbentuk dari hasil modifikasi bangun layang-layang.

Memberikan dugaan dan kesimpulan umum luas pada pola ke-n dari bangun persegi panjang dan belah ketupat yang saling berhubungan.

√ 3 1

Memberikan dugaan dan kesimpulan umum keliling segitiga pada pola ke-n.

√ 1 1

Memberikan dugaan dan kesimpulan umum dari permasalahan matematis tentang luas daerah bangun datar jajargenjang dan trapesium.

√ 2 1

Jumlah 3 3 6

Keterangan: Indikator kemampuan penalaran adaptif matematis

1. Kemampuan menyusun dugaan dan menarik kesimpulan logis (deduktif intuitif).

2. Kemampuan menyusun dugaan dan menarik kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati (induktif intuitif).

Untuk memperoleh skor kemampuan penalaran adaptif matematis siswa, diperlukan pedoman penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal, pedoman tersebut seperti pada lampiran 14.


(53)

36

E. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan penalaran adaptif matematis siswa dalam belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes, yaitu tes kemampuan penalaran adaptif matematis. Tes ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, tes kemampuan intuitif selama 10 menit dan tes kemampuan penalaran selama 70 menit. Kedua bagian tes ini dilakukan pada hari yang sama pada masing-masing kelas. Tes kemampuan penalaran adaptif matematis diberikan kepada kelas eksperimen yaitu kelas VII-G yang dalam proses pembelajarannya diberikan perlakuan dengan model pembelajaran CPS dan kelas kontrol yaitu kelas VII-F yang diberikan perlakuan secara konvensional yaitu dengan pembelajaran ekspositori. Tes kemampuan penalaran adaptif matematis yang diberikan terdiri dari 6 butir soal berbentuk uraian.

Adapun variabel dan sumber data dalam pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Variabel yang diteliti

Variabel bebas: Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Variabel terikat: Kemampuan penalaran adaptif matematis siswa

2. Sumber data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sampel yang terdiri dari siswa kelas eksperimen dan siswa kontrol.

F. Analisis Instrumen

Instrumen terlebih dahulu di uji cobakan sebelum digunakan sehingga di dapatkan instrumen yang baik. Uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh validitas, taraf kesukaran, daya pembeda, dan reliabilitas instrumen.

1. Validitas Instrumen

Validitas adalah derajat ketetapan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur. Untuk menghitung validitas tes esai dapat menggunakan


(1)

185

Lampiran 27

UJI NORMALITAS, UJI HOMOGENITAS, UJI-T

1.

Uji Normalitas

Test Statistics

eksperimen

kontrol

Chi-Square

9.600

a

18.200

b

df

7

11

Asymp. Sig.

.212

.077

2.

Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

posttest

Levene

Statistic

df1

df2

Sig.

3.246

1

78

.075

3.

Uji-t

Independent Samples Test Levene's Test

for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

posttest

Equal variances

assumed 3.246 .075 4.940 78 .000 2.90000 .58704 1.73129 4.06871

Equal variances not


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di Kelas Xi Ipa Sma Muhammadiyah 25 Pamulang)

3 26 192

Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Menggunakan Masalah Kontekstual Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa

1 43 0

Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa

6 49 0

Pengaruh penggunaan model pembelajaran creative problem solving: CPS termodifikasi terhadap hasil belajar siswa pada konsep hukum newton tentang gravitasi

3 36 0

Pengaruh model creative problem solving terhadap Pemahaman Konsep Persamaan Linear Satu Variabel (PLSV) (penelitian quasi eksperimen di kelas VII SMP Nusantara Plus Ciputat)

1 35 0

Pengaruh Model Pembela jaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

1 27 309

PENGARUH CREATIVE PROBLEM SOLVING DAN KEMAMPUAN Eksperimen Pembelajaran Matematika dengan Strategi Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Pemahaman Konsep Ditinjau dari Kemampuan Komunikasi Matematis pada Siswa Kelas VIII SMP Muhammadiyah 7 Surakarta Ta

0 3 11

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMP DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING : Studi Kuasi Eksperimen terhadap siswa salah satu SMP Negeri di Kota Bandung.

1 1 46

PENGARUH PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS), PROBLEM SOLVING (PS), DAN DIRECT INSTRUCTION (DI), TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP.

0 2 84

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan

0 2 6