Uji Normalitas Tes Penalaran Analogi Matematik Siswa

Berdasarkan Gambar 4.5 di atas, terlihat bahwa nilai t hitung , yaitu 1,76 lebih besar dari t tabel yaitu 1,67, artinya jelas bahwa t hitung jatuh pada daerah penolakan H daerah kritis. Sehingga dapat disimpulkan H ditolak dan H 1 diterima dengan taraf signifikansi 5. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model CPS lebih tinggi secara signifikan daripada rata- rata hasil tes kemampuan penalaran analogi matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional.

D. Pembahasan

1. Proses Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Penelitian ini dilakukan di sekolah yang tidak menerapkan pengklasifikasian antara kelas unggul dan kelas tidak unggul, sehingga dalam proses pembelajaran hanya siswa yang memiliki kemampuan lebih cepat yang dapat mengikuti pembelajaran. Penelitian ini dilakukan sebanyak 8 kali pertemuan dengan rincian 7 kali pertemuan untuk memberikan perlakuan dan 1 kali pertemuan untuk posttest. Peneliti menggunakan dua kelas yang dijadikan sebagai sampel penelitian, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol yang ditetapkan sebelum awal penelitian dilakukan. Hasil pengamatan sebelum dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran Creative Problem Solving CPS, kegiatan pembelajaran berpusat pada guru teacher centered. Siswa hanya datang, duduk, dengar, catat dan hafal di kelas sehingga mereka kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan ide-ide dalam pikiran mereka guna menyelesaikan soal yang ada, akibatnya kemampuan penalaran analogi mereka masih tergolong rendah. Sebagai bukti ketika siswa diberi soal yang berbeda dari soal-soal yang pernah diberikan oleh guru, mereka mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan mereka tidak memahami soal akan tetapi mereka hanya terbiasa menghafal soal saja. Selain itu, ketika siswa diminta membuat model matematika dari soal cerita kebanyakan dari mereka tidak mengerti dan ketika diminta menjelaskan hasil pekerjaannya banyak siswa yang masih kebingungan. Sehingga pada akhirnya hasil belajar mereka rendah. Selain itu, pembelajarannya juga monoton dan tidak mengaktifkan siswa. Pada penelitian ini diketahui bahwa perbedaan rata-rata kemampuan penalaran analogi matematik siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Creative Problem Solving CPS lebih baik dari pada pembelajaran dengan metode konvensional yang diterapkan di sekolah tersebut. Model pembelajaran Creative Problem Solving CPS dalam penelitian ini terdiri dari lima tahapan pembelajaran yang diadaptasi dari pendapat para ahli, yaitu: menemukan informasi, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan menemukan penerimaan. Pada proses pembelajarannya siswa diberikan Lembar Kerja Siswa LKS yang akan didiskusikan dan dikerjakan siswa secara berkelompok. Dengan adanya diskusi dengan teman sekelompok maka akan terjadi proses bertukar pendapat antar siswa. Proses bertukar pendapat ini merupakan salah satu cara yang baik untuk menambah informasi yang akan digunakan siswa untuk memikirkan berbagai kemungkinan solusi dari masalah yang disajikan. Gambar 4.6 Siswa Berdiskusi dalam Menyelesaikan LKS dengan Model CPS Tahapan pertama dalam pembelajaran matematika dengan model CPS yaitu menemukan fakta. Siswa diberikan suatu ilustrasi permasalahan diawal, kemudian siswa diminta untuk menuliskan hal apa saja yang diketahui dari ilustrasi yang disajikan. Tahap ini mengembangkan kemampuan siswa untuk