Implikasi keberagaman keagamaan Keberagaman Agama

238 Pakar teologi protestan dan filusuf Paul Tillich 1959, dalam DuBois Miley, 2005: 182 mengajukan suatu konsep tentang agama yang mencakup pluralisme agama-agama dan spiritualitas agnostika. Tillich yakin bahwa agama adalah lebih sebagai dimensi kedalaman di dalam semua fungsi- fungsi kehidupan daripada suatu fungsi khusus dari kehidupan spiritual seseorang. Ia menggunakan gaya bahasa metafora kedalaman untuk mengartikan bahwa “aspek keagamaan menunjukkan mana yang akhir, pasti dan tidak bersyarat di dalam kehidupan spiritual seseorang. Agama, di dalam arti kata yang paling besar dan paling dasar, ialah persoalan akhir.” Pertanyaan-pertanyaan spiritual yang fundamental antara lain ialah tentang makna dan tujuan kehidupan, pemahaman akan kematian di dalam konteks kehidupan, dan bagaimana kita sebaiknya bertindak. Jawaban kita terhadap pertanayaan-pertanyaan spiritual ini mempengaruhi apakah kita merasa penuh pengharapan atau putus asa, menentukan arah yang kita ambil ketika kita mencapai titik balik di dalam kehidupan kita, menembus relasi kita dengan orang lain, menginformasikan pilihan-pilihan moral kita, dan mengaitkan kita dengan semua aspek kemanusiaan. Spiritualitas membentuk bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan orang lain, bagaimana kita memahami dilema, dan bagaimana kita mendefinisikan solusi-solusi yang ada. Spiritualitas mendefinisikan rasa tanggung jawab, kesalahan, dan kewajiban kita kepada orang lain, dan interpretasi tentang keadilan sosial.

4. Implikasi keberagaman keagamaan

Di dalam konteks masyarakat spiritualitas dan keagamaan inilah kita dapat menemukan makna penting keberagaman keagamaan bagi pekerjaan sosial. Loewenberg 1988, dalam DuBois Miley, 2005: 183 menunjukkan hubungan antara agama dan pekerjaan sosial ketika ia mengatakan: “Tidak ada pekerja sosial menyatakan bahwa pengalaman- pengalaman keagamaan ialah suatu benih bagi setiap masalah atau bagi setiap orang, tetapi ada peningkatan pengakuan bahwa, bagi orang-orang percaya, agama ialah suatu sumberdaya yang seharusnya tidak boleh diabaikan.” Di unduh dari : Bukupaket.com 239 Pekerja sosial harus memahami diamika isu-isu nilai dan mengembangkan suatu perspektif yang tidak menghakimi. Nilai-nilai keagamaan merupakan satu dari beberapa perangkat nilai-nilai yang mempengaruhi praktek pekerjaan sosial. Perangkat nilai mana yang paling berpengaruh di dalam setiap situasi-situasi tetyentu bergantung pada kekuatan dan kejelasan nilai-nilai serta tuntutan-tuntutan situasi. Ada “bidang-bidang praktek yang spesifik termasuk abosi, homoseksualitas, dan euthanasia dimana nilai-nilai keagamaan benar-benar membuat suatu perbedaan, khususnya ketika bidang-bidang praktek ini melibatkan perilaku praktisioner atau klien yang melanggar nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan ini” Loewenberg, 1988: 84, dalam DuBois Miley, 2005: 184. Masalah-masalah yang klien sajikan seringkali berfokus pada dilema moral. Pertanyaan “Apa yang aku harus lakukan?” atau sebaliknya pencarian identitas, makna, dan tujuan pribadi menandakan adanya suatu isu nilai. Pekerja social harus mengases peran yang dimainkan oleh agama bagi klien dengan menanyakan, “Bagaimana agama mempengaruhi peran-peran dan interaksi-interaksi keluarga?” “Peran apa yang dimainkan oleh agama bagi klien?” Solusi-solusi harus disesuaikan dengan sistem keyakinan klien. Dimensi keagamaan atau spiritual meningkatkan relevansi dan makna dalam krisis. Studi M. Vincetta Joseph 1988, dalam DuBois Miley, 2005: 184 tentang peran agama dan pekerjaan sosial melaporkan data bahwa “mencerminkan secara jelas peran Tuhan dan agama yang menonjol pada waktu sakit dan krisis”. Ia menambahkan bahwa “fenomena semacam ini sangat sulit diabaikan di dalam praktek pekerjan sosial”. Dalam kenyataan, apabila pekerjaan sosial mengabaikan faktor-faktor keagamaan, pengabaikan ini pasti akan menghasilkan kehancuran dalam kemampuannya untuk bekerja secara efektif dengan klien Loewenberg, 1988, dalam DuBois Miley, 2005: 184. Di unduh dari : Bukupaket.com 240 Beberapa pertanyaan berikut ini membantu pekerja sosial untuk menguji perasaan-perasaan pribadinya terhadap klien dan agama: a. Mampukah aku menerima keyakinan-keyakinan keagamaan klien sebagai bagian dari sistem klien itu dan berusaha memahami sistem itu, tidak menjadi soal betapa berbeda keyakinan-keyakinan keagamaan ini berbeda dari masyarakat luas? b. Maukah aku menerima bahwa doktrin keagamaan klien memiliki implikasi yang besar bagi keberhasilan intervensi? c. Maukah aku mengakui bahwa usaha-usaha untuk mengubah sistem keyakinan klien akan berbahaya bagi relasi pemberian bantuan dan dapat berbahaya bagi kesejahteraan klien? York, 1987: 42, dalam DuBois Miley, 2005: 184.

5. Sumberdaya-sumberdaya masyarakat keagamaan