Gambaran Persepsi atas Kontrol Perilaku Orang tua Pengasuh terhadap

yang anak sebagai pengganjal perut sementara bahkan informan C akan memaksa anaknya makan jika anak masih tidak mau makan. ”.. Tapi saya kan suka capek. Habis joki masi harus nyuci. Daripda dia ngotorin rumah lagi, saya masuk-masukin aja ke mulut dia itu biar dia makan. Kalo ngga mau makan juga saya paksa masukin..” Informan C Berbeda dengan informan B dan D yang juga memiliki hambatan dalam memberikan makan anak karena nafsu makan anak yang kurang, namun upaya menghadapi hambatan yang berbeda dari informan C. Informan B dan D hanya berusaha untuk menyediakan dan membelikan makanan yang anak suka tetapi tidak akan memaksa jika anaknya tidak mau makan. Informan B dan D akan mengganti makanan pokok dengan makanan selingan jika anak sulit makan. Orang tua juga merasa kurang memiliki sumber daya untuk memaksakan anaknya makan. Melihat hal ini dapat dikatakan jika persepsi informan B dan D lemah terhadap kesempatan agar dapat memberikan makanan bergizi kepada anak. ”..Suka-suka dia aja makannya. Gitu maunya dia, jajan mulu. Ya saya sih bolehin aja. Asal ngga ciki cikian, bisa bikin dia sakit…” Informan B Disimpulkan, persepsi atas kontrol perilaku beberapa informan terhadap pemberian makanan sudah kuat karena informan merasa yakin dapat mengatasi hambatan yang mereka alami untuk memenuhi kebutuhan gizi anak HIV, seperti informan A, informan C dan informan E. Sedangkan dua informan lainnya yaitu informan B dan informan D memiliki persepsi atas kontrol perilaku yang lemah untuk memberikan makanan yang bergizi pada anak mereka.

5.7 Gambaran Niat Orang tua Pengasuh terhadap Pemberian Makanan bergizi

Berdasarkan hasil wawancara, kelima informan memiliki niat memberikan makanan bergizi kepada anak mereka. Besarnya niat ini dipengaruhi oleh sikap informan dan norma subjektif informan yang baik, serta persepsi atas kontrol perilaku yang kuat. Dalam penelitian ini, jika orang tua meyakini memberikan makanan bergizi kepada anak akan menunjang kesehatan anak, orang tuapengasuh juga meyakini adanya dukungan kepada orang tua untuk memenuhi kebutuhan gizi anak serta keyakinan orang tuapengasuh mengatasi hambatan membuat orang tuapengasuh memiliki niat untuk memberikan anak makanan yang bergizi. Persepsi atas kontrol perilaku sangat mempengaruhi kekuatan niat pada penelitian ini. Pada orang tua yang memiliki persepsi atas kontrol perilaku yang kuat, maka akan memiliki niat yang kuat pula. Dalam penelitian ini, tiga informan memiliki niat yang kuat dalam memberikan makanan bergizi kepada anak. Dua infroman lainnya yaitu informan B dan informan D tidak memiliki niat yang kuat karena persepsi atas kontrol perilaku mereka yang lemah. Meski mereka berupaya untuk menyediakan makanan dan mempertahankannya, namun karena persepsi atas kontrol perilaku mereka lemah sehingga niat untuk mempertahankan perilaku tersebut menjadi lemah. Diakui informan B yang menyatakan bahwa niat untuk memberikan makanan bergizi berkurang karena adanya hambatan yang informan tidak dapat mengatasinya.

5.8 Gambaran Perilaku Orang tua Pengasuh terhadap Pemberian Makanan

bergizi Perilaku pemenuhan asupan gizi anak tergambar dari makanan yang anak makan sehari-hari. Melalui catatan makan harian anak dapat diketahui apakah energi harian yang dibutuhkan anak sudah terpenuhi atau belum. Pengambilan data asupan makan anak dilakukan sebanyak tiga kali dengan hari pengambilan data tergantung pada kesediaan informan untuk diwawancara. Penilaian perilaku makan ini diperkuat dengan observasi terhadap makanan yang disediakan orang tua. Peneliti menanyakan bagaimana perilaku orang tuapengasuh pemberian makan yang baik untuk anak HIV. Sebagian orang tua menjawab anak terinfeksi HIV memerlukan perhatian khusus dalam pemberian makan mereka, seperti lebih teliti dan sabar dalam pemberian makan anak. Namun masih ada orang tua yang menjawab bahwa anak terinfeksi HIV tidak memerlukan perhatian khusus, seperti informan D, sehingga orang tua memerlakukan anak terinfeksi HIV sama dengan anak yang tidak terinfeksi. Kebutuhan gizi anak yang terinfeksi HIV tidak sama dengan anak yang tidak terinfeksi. Penghitungan kebutuhan energi pada anak terinfeki HIV digunakan rumus untuk menghitung kebutuhn energi dalam keadaan sakit dengan mempertimbangkan aktivitas fisik serta trauma. Faktor aktivitas yang diambil adalah aktivitas tidak terikat di tempat tidur 1,2, karena anak dapat melakukan aktivitas tidak hanya ditempat tidur. Faktor trauma yang digunakan adalah stress ringan 1,4 dengan pertimbangan meskipun tidak ada cedera namun anak terinfeksi HIV rentan terhadap stress. Jika menentukan kebutuhan gizi dengan mempertimbangkan aktivitas dan jenis trauma rata-rata, kebutuhan mereka diatas dari AKG untuk anak seusianya. Berikut gambaran keterpenuhan asupan gizi pada anak : Tabel 5.2 Keterpenuhan Asupan Zat gizi Makro pada Anak HIV Informan anak Kebutuha n energi Kkal Rata-rata Asupan energi anak Kkal Kebutuha n protein gr Rata-rata Asupan protein anak gr Kebutuhan lemak gr Rata-rata Asupan lemak anak gr A F 1830,92 4027 54,9 251,7 20,3 164,2 B G 1567,02 1057,3 47,01 35,4 17,4 36,7 C C 1682,04 1884,7 50,45 58,4 18,6 125,8 D Z 1734,8 865,1 52 36,5 19,26 28,7 E A 1091,5 1447,7 32,5 50,8 12,1 34,5 Dari tabel diatas dapat dilihat keterpenuhan asupan gizi pada anak informan sangat beragam. Pada informan A asupan makan anaknya sangat baik karena jumlah energi, protein dan lemak yang dibutuhkan sudah melebihi angka kebutuhan gizi yang dianjurkan. Hal ini karena informan A sangat telaten memberikan makan kepada anak. Informan A mengolah sendiri makanan untuk anak asuhnya serta menyuapi anak A. Anak A memiliki frekuensi makan sebanyak lima kali dalam sehari dengan menu makanan yang sama. Orang tua anak A juga melengkapi kebutuhan gizi anak dengan memberikan beberapa jenis vitamin, susu, dan madu. Sedangkan pada informan B kebutuhan energi dan protein anak rata-rata belum mencukupi angka kecukupan gizi yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan nafsu makan anak G yang buruk. Berbeda dengan asupan lemak yang melebihi dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal ini karena anak G senang mengonsumsi makanan yang tinggi kandungan lemak seperti bakso, telur bebek yang kandungan lemaknya lebih tinggi dari telur ayam. Pada informan C anak memiliki nafsu makan yang baik. Terlihat dari terpenuhinya kebutuhan energi, protein dan lemak C. Konsumsi susu anak C terkadang melebihi dari anak biasanya. Anak C akan meminta susu jika merasa lapar. Selain nafsu makan anak yang baik, keterpenuhan gizi anak C didukung oleh informan C yang telaten dalam memberikan makan anak. Informan C akan menyediakan makan sebelum anak merengek karena lapar, informan C juga akan memaksakan anaknya makan jika anak sedang memiliki nafsu makan yang buruk. Informan D memiliki rata-rata asupan makanan yang masih jauh dari keterpenuhan energi dan protein yang disarankan. Hal ini dikarenakan nafsu makan anak yang kurang baik dan perilaku orang tua yag kurang memperhatikan kebutuhan anaknya. Informan D merasa sudah cukup meskipun anak hanya memakan lauk saja atau membeli makanan instan dari luar. Anak asuh dari informan terakhir memiliki asupan makan yang bagus. Tidak ada yang kurang dan tidak sangat berlebihan. Anak A memiliki nafsu makan yang baik dan orang tua yang telaten menyediakan makanan pokok serta makanan cemilan untuk anak. Sehingga asupan gizi yang diberikan sangat baik.