Gambaran Norma Subjektif Orang tua Pengasuh terhadap Pemberian

“…belom ada sih tentang gizi atau makanan gitu, paling kesehatan buat HIV biasa, ngga tentang makanan- makanannya” informan F Selain penyuluhan, yayasan juga memiliki program kerja berupa pendampingan orang tua yang memiliki anak terinfeksi HIV. Pendampingan ini memungkinkan penyampaian informasi dan dorongan yang lebih personal kepada orang tuapengasuh. Namun penyampaian informasi dan dorongan ini sangat terbatas karena hanya terjadi saat orang tua melakukan kunjungan rutin di rumah sakit. Program kerja yang lainnya adalah pertemuan rutin bulanan. Pertemuan rutin ini membuat orang tuapengasuh dapat bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang HIV. Orang tuapengasuh juga mengakui berkumpul dengan teman sebaya membuat mereka lebih termotivasi untuk memberikan makanan bergizi kepada anak. Selain memiliki orang yang mereka anggap penting yang mendukung informan untuk memberikan makanan bergizi pada anak, informan juga memiliki respon positif terhadap saran yang diberikan orang yang mereka anggap penting tersebut. ”... Ya saya jalanin aja. Kan nambah pengetahuan. Kalo baik kenapa kita ngga jalanin kan?..” Informan E ”.. Saya jadi semangat ngasih dia makan, minum susu. Biar dia sehat. Ngga apa- apa deh kerja ini itu, yang penting bisa beli makan..” Informan C Pada penelitian ini dapat dikatakan jika orang tuapengasuh memiliki norma subjektif yang positif, karena orang tuapengasuh yakin orang yang mereka anggap penting akan mendukung perilaku mereka dan orang tuapengasuh juga memiliki motivasi untuk memenuhi harapan dari orang yang mereka anggap penting.

5.6 Gambaran Persepsi atas Kontrol Perilaku Orang tua Pengasuh terhadap

Pemberian Makanan bergizi Berdasarkan hasil wawancara, hampir semua informan memiliki hambatan dalam upaya memberikan makanan yang bergizi kepada anak. Sebagian besar informan memiliki hambatan dalam memberikan makanan pada anak dikarenakan nafsu makan anak yang kurang. Seperti informan B, informan C, dan informan D. Ketiganya mengakui jika anak mereka sering kali susah makan. Hal ini sangat mempengarui orang tua dalam menyediakan makanan pada anak. Orang tuapengasuh akan menuruti makanan yang anaknya ingin makan atau membeli makanan instan yang lebih disukai anaknya. ”.. Suka-suka dia sih makannya. Ngga bisa dipaksain jam segini harus makan.. Dikit juga sih dia makannya..” Informan D “..Anaknya susah makan. Mood-mood-an makannya. Suka-suka dia aja makannya..” Informan B Hambatan lainnya adalah kelelahan dalam menyediakan makanan kepada anak, seperti yang dialami informan A dan C. Kelelahan yang dialami informan A disebabkan dalam upaya menyediakan makanan anak terinfeksi HIV, tidak seperti menyediakan makanan anak yang tidak terinfeksi. Anak F masih belum bisa menerima makanan yang kasar dan terlalu padat, sehingga orang tua harus membuat makanan lunak dan halus. Setiap hari orang tua harus merebus dan menghaluskan makanan yang akan dimakan F, dan menghangatkan makanan agar dapat dikonsumsi kembali pada waktu makan selanjutnya. F juga memiliki frekuensi makan yang lebih banyak dibandingkan anak yang lain yaitu 5 kali sehari. ”.. Capek mba. Kan dia ngga kaya anak biasa atau sepupunya. Kalo sepupunya kan makan sama kaya yang kita makan. Kalo F kan ngga. Harus ngerebus ayam dulu…” Informan A Sedangkan informan C merasa kelelahan karena sebagai orang tua tunggal yang harus mencari nafkah dan mengurus anak. ”.. Tapi kalo makan sendiri, berantakannyaa..nasi tumpah dimana-mana, harus ngepel lagi, padahal baru diberesin. Terus sukanya makan sambil lari- larian. Capek saya ngejarnya keluar…”Informan C Informan E merasa tidak memiliki hambatan dalam memberikan makanan yang bergizi untuk anak. Anak A memiliki nafsu makan yang baik dan sudah menyadari jika ia tidak makan maka tubuhnya akan lemas dan mudah sakit. Hal ini membuat informan E senang dan lebih telaten memberikan makanan kepada anak. Terbiasa merawat orang sakit juga memotivasi informan E dalam memberikan makanan bergizi. Beberapa orang tua memiliki persepsi yang besar mengenai kesempatannya untuk memberikan makanan bergizi kepada anak. Seperti informan A yang merasa memiliki hambatan dari dirinya sendiri karena merasa kelelahan dalam memberikan makanan bergizi pada anak, namun karena nafsu makan anak yang baik dan motivasi informan yang kuat, sehingga informan sangat yakin dapat mengatasi hambatan dalam memberikan makanan bergizi pada anak. Informan A sangat termotivasi melihat anak asuhnya dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik dan dapat bermain seperti anak yang tidak terinfeksi. Informan E juga memiliki persepsi yang kuat terhadap kesempatan untuk memberikan makanan bergizi pada anak A. Hal ini karena informan E merasa tidak memiliki hambatan dalam memberikan makanan bergizi tersebut. Selain itu, informan A dan informan E sudah terbiasa dengan situasi ini terlihat lebih baik dalam memberikan makanan bergizi kepada anak. Informan lebih telaten dalam menyediakan dan memberikan makanan kepada anak, seperti informan A yang mengolah sendiri makanan khusus anak dan menyuapi makanan tersebut. Serta informan E yang selain menyediakan makanan pokok juga menyediakan cemilan, sehingga anak tidak mengonsumsi makanan instan dari luar. ”.. Ngga ada hambatan sih mba. Udah biasa, ngerawat engkong sama A juga. Jalanin aja… Lagian A mah doyan banget makan…” Informan E ”.. Saya seneng ngeliat anaknya doyan makan. Biar harus ngeblender dulu, nyuapin jadi ngga kerasa capeknya..”Informan A Informan lainnya yang juga memiliki persepsi yang kuat terhadap kesempatan memberikan makanan bergizi kepada anak adalah informan C. Meski memiliki hambatan dalam memberikan makan anak karena nafsu makan anak yang kurang, informan C akan mencari cara agar dapat mengatasi hambatan ini seperti, memasak makanan yang anak suka, membelikan makanan atau cemilan yang anak sebagai pengganjal perut sementara bahkan informan C akan memaksa anaknya makan jika anak masih tidak mau makan. ”.. Tapi saya kan suka capek. Habis joki masi harus nyuci. Daripda dia ngotorin rumah lagi, saya masuk-masukin aja ke mulut dia itu biar dia makan. Kalo ngga mau makan juga saya paksa masukin..” Informan C Berbeda dengan informan B dan D yang juga memiliki hambatan dalam memberikan makan anak karena nafsu makan anak yang kurang, namun upaya menghadapi hambatan yang berbeda dari informan C. Informan B dan D hanya berusaha untuk menyediakan dan membelikan makanan yang anak suka tetapi tidak akan memaksa jika anaknya tidak mau makan. Informan B dan D akan mengganti makanan pokok dengan makanan selingan jika anak sulit makan. Orang tua juga merasa kurang memiliki sumber daya untuk memaksakan anaknya makan. Melihat hal ini dapat dikatakan jika persepsi informan B dan D lemah terhadap kesempatan agar dapat memberikan makanan bergizi kepada anak. ”..Suka-suka dia aja makannya. Gitu maunya dia, jajan mulu. Ya saya sih bolehin aja. Asal ngga ciki cikian, bisa bikin dia sakit…” Informan B Disimpulkan, persepsi atas kontrol perilaku beberapa informan terhadap pemberian makanan sudah kuat karena informan merasa yakin dapat mengatasi hambatan yang mereka alami untuk memenuhi kebutuhan gizi anak HIV, seperti informan A, informan C dan informan E. Sedangkan dua informan lainnya yaitu informan B dan informan D memiliki persepsi atas kontrol perilaku yang lemah untuk memberikan makanan yang bergizi pada anak mereka.