Norma Subjektif Orang tua Pengasuh terhadap Pemberian Makanan bergizi

penyuluhan melalui kelompok sebaya dan kegiatan pendampingan. Hal ini guna mengurangi stigma dan diskriminasi dan bentuk peran aktif ODHA menanggulangi HIV-AIDS. Selain normative belief, motivasi orang tua untuk mengikuti pemikiran orang lain yang mereka anggap penting juga mempengaruhi norma subjektif orang tuapengasuh agar dapat memberikan makanan yang bergizi pada anak. Semua informan memiliki tanggapan positif terhadap saran yang diberikan orang lain mengenai pemberian makanan bergizi. Dengan adanya saran dari orang lain, selain memberikan pengetahuan atau informasi baru juga memotivasi mereka agar dapat memberikan makanan yang bergizi pada anak. Seperti informan A yang sangat termotivasi saran dokter sehingga bersemangat dalam memberikan makanan yang bergizi pada anak. Begitu juga informan E, meskipun merasa tidak pernah mendapatkan saran dan dukungan dokter agar dapat memberikan makanan bergizi pada anak, namun pujian dokter terhadap status kesehatan anak memberikan semangat kepada orang tua agar dapat memberikan makanan bergizi pada anaknya. Sedangkan informan lainnya merasa akan lebih baik jika mengikuti saran yang diberikan dokter mengenai makanan yang dianjurkan untuk diberikan kepada anak. Berdasarkan normatif belief dan motivational to comply yang dimiliki orang tua yang telah dipaparkan sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa orang tuapengasuh anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar Wilayah Jakarta Timur memiliki norma subjektif yang positif untuk memenuhi kebutuhan gizi anak mereka. Anak informan B dan informan D memiliki asupan makanan yang kurang. Pada wawancara mendalam mengenai norma subjektif ini, informan B dan informan D hanya meyakini dokter yang sangat berperan memengaruhi mereka dalam memberikan makanan bergizi pada anak. Meski demikian, informan B dan informan D memiliki norma subjektif yang positif. Secara umum, semakin individu memersepsikan bahwa rujukan sosial merekomendasikan untuk melakukan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk tidak melakukan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk tidak melakukan perilaku tersebut Ajzen, 2005. Oleh karena itu, perlunya yayasanLSM lebih aktif memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada orang tua pengasuh. Lebih aktif dan rutinnya yayasan memberikan pengetahuan mengenai makanan bergizi kepada orang tua akan mendorong orang tuapengasuh mempersepsikan bahwa yayasan mendukung mereka untuk memberikan makanan bergizi pada anak. Berdasarkan penelitian Sumarlin 2013, faktor dukungan orang lain paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang. Dan menurut KPAN 2003, LSM dan orgnaisasilembaga non pemerintah memiliki peran paling penting dalam penanggulangan HIVAIDS. Karena dapat menjangkau orang tua yang memiliki anak terinveksi HIV dan memengaruhi mereka melalui penyuluhan, pelatihan, pendampingan, pemberian dukungan dan konseling.

6.3 Persepsi atas Kontrol Perilaku Orang tua Pengasuh terhadap Pemberian Makanan

bergizi Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar orang tuapengasuh mengakui bahwa mereka memiliki hambatan dalam memberikan makanan bergizi kepada anak terinfeksi HIV. Setiap responden memiliki hambatan yang berbeda dalam upaya memberikan makanan bergizi pada anak HIV. Menurut Achmat 2010, persepsi atas kontrol perilaku menunjuk suatu derajat dimana seorang individu merasa bahwa tampil tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah dibawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya. Informan A mengakui memiliki hambatan kelelahan dalam memberikan makanan yang bergizi pada anak. Hal ini karena informan A sudah tua dan informan A sendiri yang harus membuat makanan untuk anak terinfeksi HIV. Makanan yang diberikan kepada anak yang informan A asuh memang berbeda dari anak tidak terinfeksi. Informan A akan merebus kemudian menghaluskan bahan makanan hingga menjadi bubur lunak dan kental. Kemudian bubur tadi dimasak kembali hingga lebih mengental dan ditambah sedikit nasi setiap anak akan makan. Informan A membuat 5 sampai 7 porsi bubur dalam satu kali masak. Sehingga untuk beberapa waktu makan, informan A hanya akan menghangatkan bubur yang sudah dibuat dan ditambahkan nasi. Menurut Sediaoeatama 2008, pada umumnya anak-anak yang masih kecil mendapatkan makanannya secara dijatah oleh ibu atau pengasuhnya dan tidak memilih serta mengambil sendiri mana yang disukainya. Ditambah lagi, usia anak-anak ini, anak memiliki masalah kesulitan makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak seimbang, rentannya fisik anak, dan ancaman keracunan dari kebiasaan makan makanan di luar Novita, 2011. Untuk itu sangat diperlukan ketelatenan dalam memberikan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Informan lainnya seperti informan B, informan C, dan informan D memiliki hambatan pada anak, yakni nafsu makan anak yang kurang baik. Ketiganya mengakui jika anak mereka sering kali memiliki nafsu makan yang kurang. Hal ini sangat memengarui orang tua dalam menyediakan makanan anak. Orang tuapengasuh akan menuruti makanan yang anaknya ingin makan atau membeli makanan instan yang lebih disukai anaknya supaya anak kenyang. Usia 3 -5 tahun, anak sudah mulai memilih makanan yang ingin dikonsumsi, usia 6-9 tahun lebih suka jajan, makan makanan manis, kurang serat. Sedangkan usia 10-19 tahun anak mulai tumbuh menuju kematangan seksual dan fisik. Diketiga periode ini anak memerlukan asupan gizi yang cukup untuk menunjang kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya, ditambah lagi anak sudah mulai banyak memiliki aktifitas. Ketersediaan makanan yang ingin mereka makan akan memengaruhi nafsu makan anak tersebut Kurniasih, 2010. Ada pula informan yang merasa tidak memiliki hambatan yaitu informan E. Hal ini karena anak yang diasuhnya sudah cukup besar dan sudah memiliki kesadaran untuk mandiri. Anak A memang memiliki nafsu makan yang bagus, sudah bisa menentukan jam harus makan dan memilih makan makanan rumah jika merasa lapar. Sejalan dengan yang diutarakan Kurniasih 2010, menginjak usia remaja, umumnya anak mempunyai nafsu makan yang lebih besar, sehingga tak jarang anak mencari makanan tambahan diluar waktu makan. Selain control beliefe, persepsi atas kontrol perilaku juga dipengaruhi oleh kekuatan faktor dalam memfasilitasi atau menghambat tingkah laku. Adanya kekuatan yang memfasilitasi atau menghambat tingkah laku mempengaruhi seseorang untuk menampilkan perilaku. persepsi atas kontrol perilaku mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia memersepsikan tingkat kesulitan atau kemudahan untuk menampilkan suatu perilaku. Informan A yang merasa memiliki hambatan dalam memberikan makanan bergizi pada anak dari dirinya sendiri karena merasa kelelahan, memiliki keyakinan yang kuat dapat mengatasi hambatannya tersebut. Informan A memiliki sumber daya dan motivasi yang kuat agar dapat menyediakan makanan bergizi pada anak. Melihat anak asuhnya dapat mengikuti pelajaran disekolah dan dapat bermain seperti anak yang tidak terinfeksi membuat informan A bersemangat agar dapat memberikan makanan bergizi pada anak. Selain informan A, informan E juga memiliki persepsi yang kuat terhadap kesempatan memberikan makanan bergizi pada anak A. Hal ini karena informan E merasa tidak memiliki hambatan dalam memberikan makanan bergizi tersebut. Selain itu, nafsu makan anak yang baik membuat informan E bersemangat menyediakan makanan bergizi. Informan C juga memiliki persepsi yang kuat terhadap kesempatannya memberikan makanan bergizi kepada anak. Meski memiliki hambatan dalam memberikan makan anak karena nafsu makan anak yang kurang, informan C akan mencari cara agar dapat mengatasi hambatan ini seperti, memasak makanan yang anak suka, membelikan makanan atau cemilan yang anak sebagai pengganjal perut sementara bahkan informan C akan memaksa anaknya makan jika anak masih tidak mau makan. Dalam theory of planned behavior, persepsi atas kontrol perilaku dapat langsung mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini dapat terlihat, orang tuapengasuh yang memiliki persepsi atas kontrol perilaku yang kuat juga memiliki pemenuhan kecukupan gizi harian yang baik. Berbeda dengan informan B dan D yang juga memiliki hambatan dalam memberikan makan anak karena nafsu makan anak yang kurang, namun upaya menghadapi hambatan yang berbeda dari informan C. Informan B dan D hanya berusaha untuk menyediakan dan membelikan makanan yang anak suka tetapi tidak akan memaksa jika anaknya tidak mau makan. Informan B dan D akan mengganti makanan pokok dengan makanan selingan jika anak sulit makan. Orang tua juga merasa kurang memiliki sumber daya untuk memaksakan anaknya makan. Melihat hal ini dapat dikatakan jika persepsi informan B dan D lemah terhadap kesempatan agar dapat memberikan makanan bergizi kepada anak. Lemahnya persepsi atas kontrol perilaku yang dimiliki orang tuapengasuh ini berdampak pada kecukupan gizi harian anak yang kurang. Persepsi atas kontrol perilaku mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi bagaimana ia mempersepsikan tingkat kesulitan atau kemudahan untuk menampilkan suatu perilaku tertentu Achmat, 2010. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi adalah pengetahuan. Berdasarkan penelitian Nuri, dkk 2012,