Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Bersama, dan SEMA tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana Whistle Blower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai whistle blower dan justice collaborator. Undang-Undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator untuk mengungkap suatu penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan publik. Orang cenderung tidak berani mengungkap kejahatan karena takut akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-undang khusus yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana serius dan terorganisir. Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan pengaturan perlindungan. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat undang-undang yang secara khusus mengatur whistle blower dan justice collaborator, atau paling tidak dapat menjadi masukan dalam revisi Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama Konsep sanksi pemidanaan dalam pendekatan restorative justice tidak mengenal metode pembalasan, tetapi lebih kepada konsep pemulihan untuk tujuan membuat segala sesuatunya menjadi benar. Beberapa konsep sanksi pidana yang dikenal dalam pendekatan restorative justice adalah sebagai berikut : restitusi pengganti kerugian, program kerja sosial, dan konpensasi terhadap korban. 5 5 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 182 Dalam konsep restorative justice tidak semua orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum equality before the law, 6 karena ada hal-hal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain menjadi whistle blower dan justice collaborator, sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat tidak dipidana dengan syarat bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan perbuatan yang ia lakukan. Oleh karena itu, konsep restorative justice yang bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban Negara atau Warga Negara ini sangat tepat untuk diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Dalam konsep restorative justice, yang di pulihkan adalah meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelak, pemulihan ini sangat penting dengan alasan: 1 Dalam sitem pemidanaan konvensional, whistle blower dan justice collaborator tidak diberikan ruang untuk dapat berpartisifasi langsung dalam penyelesaian masalah mereka, sehingga partisifasi aktif whistle blower dan justice collaborator yang semestinya mendapat penghargaan tidak menjadi penting, yang pada akhirnya semuanya akan bermuara pada putusan pemidanaan tanpa melihat esensi. 2 Whistle blower dan justice collaborator dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan 6 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: Alumni, 2006, h. 170