Kebijakan Legislatif dan Kebijakan Hukum Pidana
mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan
people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.
3
Kebijakan legislatif menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan
dilakukan dengan menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau di programkan itu.
4
Terlepas dari pengertian kebijakan telah penulis jelaskan diatas, dalam konteks kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa istilah
kebijakan diambil dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula
disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal
policy, criminal lawl policy, atau strafrechtspolitiek. Oleh karena itu, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari
politik kriminal.
5
Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara pemerintah untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan.
3
Ibid, h. 315
4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996, Cet. II, h. 59
5
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, h. 24
Apa yang disebut sebagai kejahatan juga mengalami pergeseran. Munculnya istilah kriminalisasi dan dekriminalisasi menunjukkan bahwa
perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori jahat dan tidak jahat itu tidak statis. Suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam
dengan pidana dalam undang-undang disebut kriminalisasi, sedangkan dekriminalisasi adalah dihilangkannya sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.
6
Dewasa ini muncul istilah white collar crime korupsi, money laundering pencucian uang, terorisme, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa lalu.
Kondisi dan perubahan ekonomi dapat menyebabkan munculnya kejahatan baru. Kejahatan merupakan sebagian perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan.
7
Kejahatan juga merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita.
8
Perbuatan anti sosial itu merupakan bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Perilaku yang menyimpang merupakan ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan
sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban
sosial.
9
6
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, h. 57
7
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, Jakarta: Pembangunan, 1970, h. 10
8
Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981, h. 21
9
Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 56
Berbicara tentang masalah politik hukum pidana, maka akan terkait dengan politik hukum dan politik kriminal. Menurut Utrecht, politik adalah suatu
jalan kemungkinan untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.
10
Sedangkan politik menurut Logemann adalah memilih beberapa macam cita-cita sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-
cita. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik dalam dua pengertian, yaitu politik sebagai etika dan politik sebagai tehnik. Politik sebagai
etika, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang harus harus diperjuangkan, dan Politik sebagai tehnik berarti politik memilih dan
menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuan- tujuan sosial.
11
Bagaimana hubungan antara politik dan hukum? Dal konteks ini, Mahfud MD berpendapat bahwa, hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang
sebagai dependent variable variabel terpengaruh, dan politik sebagai independent variable variabel berpengaruh.
12
Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
10
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1962, h. 127
11
Ibid, h. 127
12
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, h. 1-2
Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sub
sistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi
dan penegakannya. Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut :
13
1 Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu. 2 Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal
policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :
14
a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana b.
Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi
13
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 20
14
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, h. 113-114
c. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, menurut Sudarto politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam
tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu
dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat di hormati.
15
Di dalam wacana teori hukum pidana, subtansi kebijakan formulatif kebijakan legislatif bertitik tolak dari tiga pilar, yaitu : Berkaitan dengan
masalah tindak pidana kriminalisasi, masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan pemidanaan.
16
Tiga hal tersebut tiada lain merupakan bagian dari politik kriminal, dalam kewenangan menetapkan hukum pidana ini banyak
ditentukan maupun dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor politik, budaya, ekonomi maupun tujuan nasional pada umumnya.
Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan
15
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 23. Lihat juga Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 13
16
M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, h. 12
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
17
Oleh karena itu, apabila mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan
terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional. Kebijakan hukum pidana penal policy atau penal law enforcement
policy, pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan dapat memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang
kebijakan legislatif, kebijakan aplikatif kebijakan yudikatif dan pelaksanaan hukum pidana kebijakan eksekutif. Tahap formulasi adalah tahap penetapan
atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap
aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah
tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana. Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi menurut Barda Nawawi Arief
merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan
kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada tahap
aplikasi dan eksekusi.
18
17
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 93
18
Ibid, h. 94
Oleh karena itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang- undangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap
peraturan perundang-undangan itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang
merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan
masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undang-
undang mempunyai dua fungsi yaitu : ungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.
19