Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan

terkait pelaksanaan pasal 10. 1 Pasal tersebut belum mengakomodir perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator secara tegas, padahal peran serta mereka dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan kerjasama tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut akan terbongkar secara masif dan signifikan. Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam pasal 10 adalah bertentangan dengan semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut. 2 Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Pada ayat 1 dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak dapat dipidana, namun pada ayat 2 dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. 1 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, Jakarta: LPSK, 2011, h. 39 2 Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat 2 Undang-undang No. 13 tahun 2006, Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010, h. 25 Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi dan korban bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian menimbulkan ambiguitas mengenai status perlindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebelum adanya SEMA No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 tidak dapat membedakan whistle blower dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat memberikan perlakuan yang tepat. 3 Selain undang-undang No. 13 Tahun 2006, Peraturan Bersama antara LPSK dengan lima aparat penegak hukum juga masih memiliki kelemahan dari segi materil, yakni sebagai berikut: a. Tidak diatur perlindungan maksimal bagi whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya b. Keringanan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator hanya dijadikan pertimbangan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK dan tidak memiliki daya mengikat yang mewajibkan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK untuk memberi penghargaan berupa keringanan pidana c. Tidak diatur secara jelas mengenai hubungan kolaborasi dan koordinasi antar penegak hukum dalam memberikan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. 3 Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 186 Di samping itu, Peraturan Bersama juga memiliki kelemahan dari segi formil, yakni lingkup keberlakuan tidak mengikat bagi hakim di lingkungan Mahkamah Agung. Peraturan Bersama ini hanya mengikat LPSK, KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal perlindungan whistle blower dan justice collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum. Dengan demikian, Peraturan Bersama belum memberikan perlindungan hukum maksimal bagi whistle blower dan justice collaborator. Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 sebenarnya telah mengatur lebih lanjut mengenai kriteria serta mekanisme penanganan perkara yang melibatkan whistle blower dan justice collaborator. Namun, pada dasarnya ketentuan dalam SEMA masih memiliki banyak kelemahan dari segi materil yakni: a. Tidak diaturnya hak dan bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator b. Ketentuan keringanan pidana bagi whistle blower dan justice Collaborator hanya dijadikan pertimbangan hakim dan tidak memiliki daya mengikat yang mewajibka hakim untuk memberi keringanan pidana. Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 juga memiliki kelemahan dari segi formil yakni lingkup keberlakuan SEMA hanya mengikat kalangan Mahkamah Agung, yakni hakim. Padahal perlindungan whistle blower dan justice Collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum. Di antara seluruh peraturan di atas, Peraturan Bersama merupakan peraturan yang paling komprehensif dalam mengatur mengenai perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator. Namun, Peraturan Bersama masih memiliki beberapa kelemahan terkait tidak adanya perlindungan hukum bagi whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan pidana, tidak diaturnya hubungan kerjasama antar instansi penegak hukum, dan lingkup keberlakuannya yang belum mencakup nasional. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa perlu diadakan solusi terkait aspek legislasi kebijakan legislatif dan implementasi dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator. Untuk itu diperlukan rumusan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan secara khusus bagi whistle blower dan justice collaborator. Peraturan perundang-undangan tersebut harus memberikan penjelasan mengenai whistle blower dan justice collaborator, peraturan perundang-undangan juga harus memberikan bentuk-bentuk perlindungan yang kurang lebih sama dengan bentuk-bentuk perlindungan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, akan tetapi ketentuan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator yang juga tersangka dalam kasus yang sama harus di bedakan.

B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang

Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Di negara ‐negara yang sangat besar, konstitusinya menyatakan bahwa keputusan badan legislatif merupakan ungkapan keinginan rakyat kedaulatan rakyat dan bahwa badan legislatif merupakan badan pengambil keputusan yang tertinggi. Sebagian besar badan legislatif memiliki tiga fungsi formal: 1 untuk mewakili rakyat; 2 untuk menetapkan undang ‐undang; dan 3 untuk mengawasi badan eksekutif perdana menteri atau presiden dan para menteri. 4 Kewajiban untuk mengungkapkan suatu tindak pidana terorganisir, seperti korupsi, penipuan, pencucian uang, narkoba dan psikotropika, terorisme merupakan hal yang umum di banyak negara. Perlindungan whistle blower dan justice collaborator merupakan konsekuensi logis dari kewajiban tersebut. Namun, belum adanya mekanisme dan perlindungan yang memadai, serta masih lemahnya penegakan hukum, merupakan masalah tersendiri bagi whistle blower dan justice collaborator. Sebagai pengungkap skandal kejahatan publik, sosok whistle blower dan justice collaborator belum memiliki perlindungan hukum yang memadai. Walaupun sudah terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator, seperti 4 Kelompok Kerja Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran UGM , Pemerintah dan Proses Kebijakan, diakses pada tanggal 8 Desember 2013 dari http:hpm.fk.ugm.ac.idhpmlama imageschapter_5_6_7__8_mhp.pdf 69 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Bersama, dan SEMA tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana Whistle Blower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai whistle blower dan justice collaborator. Undang-Undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator untuk mengungkap suatu penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan publik. Orang cenderung tidak berani mengungkap kejahatan karena takut akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-undang khusus yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi