Kerangka Teori Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato: “justice is the supreme
virtue which harmonize all other virtues”.
13
Dalam konteks kebijakan legislatif, amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Salah
satu perubahan tersebut adalah bergesernya kekuasaan membentuk undang- undang dari Presiden ke DPR sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat 1
UUD 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang- undang”.
Berbicara mengenai kebijakan legislatif maka tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan politik hukum nasional, dimana kerangka pikir terhadap
kebijakan legislatif merupakan wujud dari penguatan politik hukum nasional itu sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan defenisi politik hukum
nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum legal policy yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu, yang meliputi:
14
a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.
b. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan-
ketentuan yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
13
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, h.52. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum
Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010, h.6
14
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 31.
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan
anggotanya. d.
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
Defenisi politik hukum diatas merupakan defenisi politik hukum yang paling komprehensif, disebabkan karena mencakup keseluruhan wilayah kerja
politik hukum yang meliputi:
15
a. Teritorial berlakunya politik hukum.
b. Proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis
terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum.
Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, maka menurut Sudarto, politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum
dalam tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat.
16
Sehingga dalam melaksanakan politik hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan perundang-
15
Ibid, h. 32
16
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 13. Lihat juga M. arif
Amrullah, Politik Hukum Pidana; Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, h. 18
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan
dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat udang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikatif kebijakan yudikatif, dan dan pelaksana hukum
pidana kebijakan eksekutif.
17
Kebijakan legislatif adalah tahap yang sangat penting dalam sutau proses pembuatan undang-undang, agar hukum senantiasa tidak tertatih-tatih mengejar
perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang disertai dengan perubahan informasi dan kecanggihan teknologi, maka kebijakan legislatif yang tercermin
dalam kebijakan program legislasi nasional tidak hanya dijadikan persoalan politik yang menentukan arah pelaksanaan kekuasaan negara oleh eksekutif dan
legislatif, akan tetapi keputusan penentuan kebijakan legislasi harus berdasarkan pada kepentingan umum yang berlandaskan hati nurani rakyat.
Terdapat dua konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif
retributive justice dan keadilan restoratif restorative justice. Kedua konsep ini memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep
dasar dalam hukum pidana formil dan materiil dan penyelenggaraan peradilan
17
M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang Money laundering, Malang: Bayumedia Publishing, 2004, h. 81
pidana.
18
Secara filosofis, pentingnya kebijakan legislatif dalam perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator telah melahirkan pergeseran
perspektif, dari perspektif retributive justice kepada restorative justice. Penyelesaian perkara pidana dalam perspektif restorative justice ini dapat
memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan dan hak asasi manusia baik dari pelaku maupun korban juga masyarakat, sehingga implikasinya perbaikan
situasi dan kondisi harmonisasi pasca terjadinya kejahatan dapat terwujud. Dengan demikian pendekatan restorative justice ini dapat digunakan sebagai
solusi optimalisasi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana.