Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006

memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pengungkapan suatu tindak pidana antara lain: 1. Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN 2. Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo Undnag-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 4. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum equality before the law yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: 1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan 4. Ketentuan pidana.

C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Bekerjasama Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator diatur dalam tiga jenis peraturan yakni: Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama. Walaupun ketiga peraturan ini memiliki berbagai permasalahan materil dan formil yang merupakan penyebab lemahnya perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator. 6 Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 13 tahun 2006, secara umum mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang juga termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama, yaitu meliputi hal-hal sabagai berikut : a Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. 6 Firman Wijaya, Whistle Blower dan justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, 2012, h. 5 Perlindungan ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik maupun mental. Dalam hal ini termasuk pula hak utuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi sesuai dengan konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1998. 7 b Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. Perlindungan dan dukungan keamanan merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi, untuk itu saksi berhak untuk ikut serta memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan tersebut. 8 c Memberikan keterangan tanpa tekanan. Saksi dan korban harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dengan demikian keterangan yang diberikan bukan keterangan karena adanya rasa takut. 9 d Mendapat penerjemah. Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. e Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 7 Jovan Kurata Waruwu, Penerapan Perlindungan Saksi dalam Perkara Pidana yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Tesis FH UI, 2006, h. 180 8 Ibid, h. 183 9 Ibid, h. 186