Jenis Perlindungan Hukum Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

1 Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas laporannya, ini penting terkait dengan apresiasi dan penghargaan yang didapat oleh seorang whistle blower dan justice collaborator dari Negara. Jangan sampai terjadi whistle blower dan justice collaborator dilaporkan balik dan kemudian dituntut atas pencemaran nama baik terhadapa apa yang ia laporkan tersebut. 2 Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus yang dilaporkannya, bentuk perlindungan hukum ini penting terkait dengan tidak dapat dituntut dan tidak ikut dijadikan tersangka dalam kasus serius dan terorganisir yang dilaporkannya. 3 Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus lain, misalnya seorang whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dituntut dengan kasus lain, jangan sampai seorang whistle blower dan justice collaborator dituntut dengan kasus lain. Jenis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator dalam tiga model tersebut menjadi sangat urgent dalam suatu proses pemberantasan tindak pidana serius dan terorganisir, karena dapat menghambat dan membuat penanganan terhadap kasus tindak pidana serius dan terorganisir tersebut menjadi semakin lama, dan tidak ada kepastian hukum bagi seorang yang sudah dinyatakan sebagai whistle blower dan justice collaborator.

3. Model Perlindungan Kolaboratif

Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator seharusnya dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum, bukan hanya terpusat dilakukan oleh satu aparat penegak hukum saja. Keseluruhan aparat penegak hukum tersebut yang paling utama adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan korban LPSK, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamah Agung RI. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga utama dalam proses perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh karenanya dalam amandemen Undang-undang No. 13 tahun 2006 harus benar-benar mengakomodasi konsep restorative justice agar semua yang terlibat dalam kasus meras adil. Dengan sistem perlindungan kolaboratif, seorang whistle blower dan justice collaborator yang melapor kepada aparat penegak hukum, tidak dapat digugat balik atas pencemaran nama baik, turut dijadikan tersangka dalam kasus yang ia laporkan, dan tidak dapat dituntut atas tindak pidana lain. Sehingga proses kriminalisi terhadap whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dilakukan, karena seorang whistle blower dan justice collaborator sudah memperoleh perlindungan hukum dari penegak hukum, hal ini juga merupakan konsekuensi daripada penerapan konsep restorative justice. Dalam konsep restorative justice dikenal dengan prinsip due process penyelesaian yang adil dan perlindungan yang setara. Kedua prinsip tersebut harus menjadi batu pijakan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator.

4. Model Perlindungan Komprehensif

Model perlindungan hukum yang komfrehensif dari aparat penegak hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator akan berdampak pada kepastian hukum bagi sang whistle blower dan justice collaborator, dan akan berdampak positif terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorganisir. Model komfrehensif tersebut bersifat menyeluruh mulai dari tahapan berikut ; Pertama, pada tahap pemberian laporan oleh seorang whistle blower dan justice collaborator. Kedua, tahap penindaklanjutan laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, sampai pada pengadilan. Ketiga, pada tahap penjatuhan putusan oleh pengadilan tehadap kasusnya tersebut. Perlindungan yang bersifat komfrehensif dari aparat penegak hukum ini bertujuan untuk mejamin hak-hak seseorang setelah ia dinobatkan sebagai whistle blower dan justice collaborator, dan juga bertujuan agar perlindungan hukum berjalan maksimal demi tercapainya kepastian hukum. Oleh karenanya, seorang whistle blower dan justice collaborator harus dilindungi sejak tahap pelaporan hingga tahap penjatuhan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap inkracht.