Model Perlindungan Kolaboratif Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Dalam konsep restorative justice dikenal dengan prinsip due process penyelesaian yang adil dan perlindungan yang setara. Kedua prinsip tersebut harus menjadi batu pijakan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator.

4. Model Perlindungan Komprehensif

Model perlindungan hukum yang komfrehensif dari aparat penegak hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator akan berdampak pada kepastian hukum bagi sang whistle blower dan justice collaborator, dan akan berdampak positif terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorganisir. Model komfrehensif tersebut bersifat menyeluruh mulai dari tahapan berikut ; Pertama, pada tahap pemberian laporan oleh seorang whistle blower dan justice collaborator. Kedua, tahap penindaklanjutan laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, sampai pada pengadilan. Ketiga, pada tahap penjatuhan putusan oleh pengadilan tehadap kasusnya tersebut. Perlindungan yang bersifat komfrehensif dari aparat penegak hukum ini bertujuan untuk mejamin hak-hak seseorang setelah ia dinobatkan sebagai whistle blower dan justice collaborator, dan juga bertujuan agar perlindungan hukum berjalan maksimal demi tercapainya kepastian hukum. Oleh karenanya, seorang whistle blower dan justice collaborator harus dilindungi sejak tahap pelaporan hingga tahap penjatuhan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap inkracht.

5. Putusan Yang Bersifat Integratif

Putusan pengadilan merupakan tahap akhir dari proses peradilan, terkait dengan whistle blower dan justice collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus sesuai dengan konsep restorative justice, karena memang sejak awal sang whistle blower dan justice collaborator sudah mengikatkan diri, tunduk dan mengikitu setiap ketentuan yang berlaku berdasarkan prinsip restorative justice. Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana serius dan terorganisir, hanya ada satu whistle blower dan justice collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus memuat dan berisi dua hal, yaitu Pertama, pemidanaan bagi aktor intelektual atau pelaku utama kasus tindak pidana terorganisir. Kedua, pembebasan bersyarat terhadap whistle blower dan justice collaborator, dengan ketentuan ia telah memenuhi kualifikasi dan syarat mendapat perlindungan hukum dari Negara. Sehingga pembebasan bersyarat bagi whistle blower dan justice collaborator baru dapat diberikan apabila whistle blower dan justice collaborator sudah terlebih dahulu melalui serangkaian proses persidangan di pengadilan. Pembebasan bersyarat terhadap whistle blower dan justice collaborator dilakukan ini harus dilakukan secara integratif, artinya pembebasan bersyarat tersebut diintegrasikan kedalam putusan pengadilan yang memidana terdakwa aktor intelektual atau pelaku utama dalam kasus tindak pidana serius dan terorganisir tersebut.