Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Perlindungan ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik maupun mental. Dalam hal ini termasuk pula hak utuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi sesuai dengan konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1998. 7 b Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. Perlindungan dan dukungan keamanan merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi, untuk itu saksi berhak untuk ikut serta memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan tersebut. 8 c Memberikan keterangan tanpa tekanan. Saksi dan korban harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dengan demikian keterangan yang diberikan bukan keterangan karena adanya rasa takut. 9 d Mendapat penerjemah. Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. e Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 7 Jovan Kurata Waruwu, Penerapan Perlindungan Saksi dalam Perkara Pidana yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Tesis FH UI, 2006, h. 180 8 Ibid, h. 183 9 Ibid, h. 186 Keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan, jadi tidak diperbolehkan adanya pertanyaan yang bersifat bagi saksi dan korban. f Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi mereka tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh sebab itu sudah seharusnya saksi mengetahui sejauh mana kontribusi yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh sistem peradilan. 10 g Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa seringkali tidak diketahui saksi dan meninggalkannya dalam ketidaktahuan. Informasi ini penting diberikan pada saksi, setidaknya sebagai tanda apresiasi pada kesediannya sebagai saksi dalam proses tersebut. h Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan, dan mereka berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. i Mendapat identitas baru. Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisir, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat diberikan identitas baru. 10 Ibid, h. 182 j Mendapatkan tempat kediaman baru. Pemberian tempat baru bagi saksi dan korban harus dipertimbangkan jika keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. k Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. Dalam banyak kasus, saksi tidak mempunyai cukup kemampuan untuk membiayai dirinya mendatangi lokasi aparat yang berwenang, sehingga perlu mendapat bantuan biayasa dari negara. Ketentuan ini memang sudah ada sebenarnya untuk tingkat persidangan, tetapi sangat jarang diterapkan karena berbagai alasan. l Mendapat nasihat hokum. Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang awam dan tidak mengetahui hukum beserta prosesnya, sehingga perlu mendapatkan bimbingan dalam menjalani proses pidana. m Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Biaya hidup yang dimaksud adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu memberikan keterangan, misalnya untuk biaya makan sehari-hari. Dalam pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa hak sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada saksi dan atau korban tindak pidana dalam kasus- kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu” antara lain tindak pidana korupsi, narkotikapsikotropika, terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan jiwanya. 11 Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi dan korban juga termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam suatu proses peradilan pidana meliputi hal-hal berikut ini : a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah mendapat izin dari hakim. 12 b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. 13 c. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. 14 Formulasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini semakin memperoleh pijakan hukum dengan lahirnya Peraturan Bersama antara LPSK, Kejagung, Polri, KPK dan MA. Dalam Peraturan Bersama ini cukup komprehensif dalam mengatur bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator Bentuk perlindungan yang diberikan bagi whistle blower dan justice collaborator dalam Peraturan Bersama ini adalah sebagai berikut: 11 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Anatara Norma dan Realita, h. 154 12 Liha pasal 9 ayat 1 UU no. 13 tahun 2006 13 Liha pasal 10 ayat 1 UU no. 13 tahun 2006 14 Liha pasal 10 ayat 2 UU no. 13 tahun 2006 1 Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan: a. Perlindungan fisik dan psikis; b. Perlindungan hukum; c. Penanganan secara khusus; dan d. Penghargaan. 2 Perlindungan fisik, psikis danatau perlindungan hukum sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3 Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c dapat berupa: a. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa danatau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan; b. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka danatau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap; c. Penundaan penuntutan atas dirinya; d. Penundaan proses hukum penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul karena informasi, laporan danatau kesaksian yang diberikannya; danatau e. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya. 4 Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d berupa: a. Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan; danatau b. Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah seorang narapidana. Sebagai upaya untuk mengatasi kekosongan hukum dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator. Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana Whistle Blower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Untuk menentukan seseorang sebagai Pelapor Tindak Pidana, berdasarkan SEMA tersebut ada beberapa pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana adalah sebagai berikut : 1 Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya 2 Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, berdasarkan SEMA tersebut harus mengikuti pedoman, yaitu : 1 Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. 2 Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga Penyidikan danatau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar danatau mengembalikan aset-asethasil suatu tindak pidana. 3 Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa; menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus danatau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk kerinaganan pidana hakim wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 4 Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal- hal sebagai berikut : a Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan b Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011 adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai- nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. 15 15 Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 187 67 BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN LEGISLATIF PERLINDUNGAN HUKUM PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan

Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Indonesia memang sudah mempunyai Undang-undang perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi perlindungan yang diberikan dalam undang-undang tersebut belum dapat melindungi whistle blower dan justice collaborator secara maksimal.Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut hanya memberikan perlindungan sebatas terhadap saksi, korban, dan pelapor saja. Dalam praktiknya, whistle blower dan justice collaborator berbeda dengan saksi atau pelapor biasa, hal ini sesuai dengan prisip dan karakteristik whistle blower dan justice collaborator, seperti dapat kita lihat dalam pembahasan sebelumnya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan perlindungan hukum maksimal whistle blower dan justice collaborator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bahkan menjadi dasar untuk memidanakan whistle blower dan justice collaborator atas kasus yang dilaporkannya. Kebijakan legislatif dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kelemahan subtansial undang-undnag tersebut terkait pelaksanaan pasal 10. 1 Pasal tersebut belum mengakomodir perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator secara tegas, padahal peran serta mereka dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan kerjasama tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut akan terbongkar secara masif dan signifikan. Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam pasal 10 adalah bertentangan dengan semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut. 2 Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Pada ayat 1 dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak dapat dipidana, namun pada ayat 2 dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. 1 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, Jakarta: LPSK, 2011, h. 39 2 Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat 2 Undang-undang No. 13 tahun 2006, Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010, h. 25