Latar Belakang Masalah Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa bahaya
laten korupsi telah menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri. Korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan
para aparat penegak hukum.
2
Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan
hukum demi keuntungan pribadi dan golongan. Salah satu upaya revolusioner menanggulangi tindak pidana serius dan
terorganisir adalah dengan melibatkan peran pelapor tindak pidana whistle blower dan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator. Whistle blower
diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Sedangkan justice collaborator merupakan orang yang mengungkapkan pelanggaran atau kejahatan yang turut dilakukannya.
Di Indonesia hakikat whistle blower dan justice collaborator sekilas secara parsial telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana whistle blower dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama
justice collaborators di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama lima penegak hukum.
2
Mahfud Md., Pemberantasan Mafia Peradilan, Artikel diakses pada tanggal 30 Nopember 2013 dari http:www.mahfudmd.comindex.php?page=web.MakalahVisitid=25
Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, whistle blower dan justice collaborator belum mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal.
Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang
berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor dan bekerjasama. Padahal, whistle blower dan justice collaborator
memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus serius dan terorganisir.
Kebijakan legislasi pada prinsipnya merupakan kebijakan yang menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Oleh karenanya
kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan
legislasi tersebut, maka perlu adanya alternatif cara pandang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan masalah hukum yang ada saat ini.
Perubahan paradigma ini menjadi penting mengingat perkembangan pemikiran hukum, khususnya pemikiran hukum pidana telah mengalami
kemajuan ke arah pemikiran hukum modern. Fenomena ini berangkat dari asumsi dasar bahwa konsep keadilan klasik dalam penegakan hukum khususnya hukum
pidana tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga dibutuhkan konsep keadilan yang dapat menjadi alternatif, salah satu konsep keadilan tersebut
adalah konsep keadilan restoratif restorative justice.
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat, pelaku dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di
pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja
hukum.
3
Lahirnya undang-undang kebijakan yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku justice collaborator dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali
di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta sumpah tutup
mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia. Untuk kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia
1979, Portugal 1980, Irlandia Utara, Spanyol 1981, Prancis 1986 dan Jerman 1989 sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani 1970,
Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti supergrasses
Irlandia, pentiti atau pentito Italia yang berarti mereka telah bertobat atau disebut Collaboratore della giustizia.
3
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011, h. 65. Lihat juga Bismar Siregar, Rasa Keadilan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996, h. 50. Lihat juga
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428
Pada asasnya, whistle blower dan juga justice collaborator dapat berperan besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik,
pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris Semendawai dan kawan- kawan sebagai berikut:
4
“Peran whistle blower di Indonesia perlu terus didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik diperusahaan, lembaga pemerintah, dam
isntitusi publik lain. Bagaimana peran whistle blower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun praktik
pelaporan dan perlindungan terhadap whistle blower bukan tanpa tantangan. Di tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistle blower dapat
terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar
akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistle blower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa
dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistle blower dapat berjalan
lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, SEMA Nomor
4 Tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus perkara dan se
lalu dimonitor pelaksanaannya”. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa peran whistle blower dan justice
collaborator sangat penting, namun perlindungan hukum terhadap mereka masih sangat lemah, oleh sebab itu penulis merekomendasikan solusi perlindungan
hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan pengaturan perlindungan dalam kebijakan legislatif hukum pidana. Solusi ini
diharapkan dapat menjadi masukan untuk perumusan Undang-undang khusus tentang whistle blower dan justice collaborator, atau menjadi masukan revisi
4
Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK, 2011, h. xiv-xv
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013.
Oleh karena itu upaya untuk memperjuangkan optimalisasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice callabolator dengan menggunakan
pendekatan restorative justice ini harus dimaknai sebagai upaya refilosofi penegakan hukum pidana, atau dengan bahasa sederhana
“kembali ke Khittoh” falsafah bangsa Indonesia yaitu musyawarah mufakat.
5
Dalam konteks inilah penulisan penelitian skripsi ini penulis angkat dalam judul
“Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama ”.