dan bahkan menyakitkan, bukan merupakan suatu represi sepanjang keputusan itu dimaksudkan untuk
menghindari timbulnya bahaya kerugian negara. Dengan demikian, pembuatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan prinsip non keseimbangansub-ordinat dan purposing tujuan.
1. Prinsip Non Keseimbangan
Prinsip ini diperlukan hanya untuk menghormati hak-hak seseorang atau mencari cara
yang dapat mengurangi atau membatasi akibat yang membahayakan. Paksaan tidak harus represif
demikian juga represif tidak harus bersifat memaksa secara langsung ketika pemerintah mendapatkan
legitimasi untuk menegakan ketertiban umum dalam keadaan krisis krisis ekonomikrisis moneter
yang berpotensi merugikan keuangan, maka tindakan hukum pemerintah harus
mengesampingkan asas keseimbangan, maka yang diperlukan adalah badan khusus yang disesuaikan
dengan ketertiban, memiliki otoritas sub ordinasi
27
, sebagai lembaga
superbody, sehingga dengan demikian tindakan hukum pemerintah dapat
dirasakan bukan sebagai tindakan represi.Bentuk represi yang paling potensial yang dilakukan oleh
lembaga superbody ini adalah penggunaan
kekuasaan yang diberikan undang-undang untuk menyidikkan dalam upaya melaksanakan
kekuasaan, misalnya untuk menyita barang jaminan atau menahan seseorang, menekan pihak yang
tidak patuh atau menghentikan protes. Represi yang dilakukan lembaga penagih ini, yaitu mendorong
tahapan-tahapan prosedur dan menggali isi perjanjian untuk mendapatkan suatu penyelesaian
yang diakibatkan oleh adanya extradionary default.
Dalam model hukum represif, implementasi kebijakan akan menghasilkan penegakan hukum
27
Adalah kedudukan kreditur atau pemerintah lebih tinggi daripada debitur
Penerbit Jawara
177
yang efektif bila memenuhi persayaratan sebagai berikut :
a. Tersedianya alat-alat pemaksa untuk melaksanakan tindakan hukum yang dapat
memberikan alternatif-alternatif penggunaan paksaan.
b. Dibentuknya institusi hukum dan prosedur pelayanan.Aturan hukum memberikan
corak otoritas pada kekuasaan. Peraturan perundang-undangan diperlukan
sebagai instrumen kebijakan publik pada sasaran tunggal.
2. Purposing
Tujuan serta kepentingan yang beragam disingkirkan karena program-program publik
mengambil alih pola dimensi tunggal dengan lembaga resmi yang dibentuk sebagai pemegang
otoritas dan keputusannya tidak dapat diganggu gugat
invisibilitas. Philippe Nonet dan Philip Selznick juga menepikan bila ketertiban dihasilkan
dari hukum otonom, yaitu legitimasi. Legitimasi
berarti orientasi dan kelekatan yang ketat pada prosedur hukum, maka ketertiban tidak lagi
dominan dan keadilan menjadi lamban dan tidak efisien. Oleh karena itu, terhadap kondisi yang sulit
atau krisis moneter yang mengakibatkan banyaknya piutang yang macet, penegakan hukum lebih
mengutamakan pada sasaran-sasaran purpusing
yang kongkret harus lebih dominan dibanding pada orientasi prosedur.
Philippe Nonet dan Philip Selznick juga mengorientasikan bahwa hukum represif sangat
diperlukan manakala faktor kedaan krisis dalam suatu negara begitu mendesak seperti halnya
penyelesaian piutang BLBI. Jadi, menurut Nonet perbedaan yang nyata dengan penegakan hukum
dalam hukum responsif yaitu dalam penegakan
Penerbit Jawara
178
hukum responsif selalu dimenangkan melalui cara- cara pengampunan misalnya penyelesaian
Release and Discharge. Sedangkan penegakan hukum
dalam hukum represif adalah dimenangkan melalui sub-ordinasinon keseimbangan kedudukan para
pihak tidak mempunyai kewenangan atau hak yang sama dalam penagihan piutang.
Menurut Philippe Nonet, meski tertib hukum dapat mengunakan paksaan dalam
pemenuhan kepentingannya kembali atas sesuatu yang diinginkannya haruslah bergantung pada
kekuasaan tertinggi untuk melakukan paksaan tersebut. Dalam piutang negara perbankan BLBI,
misalnya kalau debitur wanprestasi default, maka
kreditur dalam hal ini PUPN mendapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan apa saja untuk menjual
atau melelang tanpa mengikuti aturan prosedur dalam hukum acara perdata.
Tindakan hukum represif yang akan digunakan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut: a. Tidak melibatkan penindasan dengan kasar
blatant appression karena harus tetap dikontrol seperti halnya penggunaan kekerasan
menegakkan perintah menghentikan proses. b. Perlakuan tindakan represif harus berlandaskan
doktrin asas-asas yang otoritatif, misalnya konsep keadilan atau
prinsip tidak ada orang yang boleh mengambil keuntungan dari kesalahannya sendiri.
Penyelesaian kasus gagal bayar pada piutang BLBI dengan pola MSAA berdampak
terhadap penjualan hartanya karena pengelolaan piutang negara BLBI dari sisi biaya penyelesaiannya
yang tidak sebanding dengan harta yang diserahkan aset. Persesuaian kehendak antara penagihan dan
jumlah kerugian melalui penyelesaian di luar pengadilan
setlement out of court non litigasi, yang dilakukan dengan kebijakan
Release and Discharge
Penerbit Jawara
179
bergantung pada itikad baik. Persoalan utama yang timbul adalah makna itikad baik ini mencakup
standar subjektif dan atau standar objektif. Perubahan mendasar penyelesaian BLBI
yang menggunakan pola dan mekanisme perikatan bersumber perjanjian mempunyai visi harmonisasi
kekuasaan-kekuasaan dan dikaburkannya batas- batas institusional. Pembedaan antara ketentuan
undang-undang dan keputusan hukum tidak dihapuskan, sebaliknya proses hukum bertujuan
untuk memperbesar kompentensi institusi hukum lebih memberi ruang pada pengampunan bagi
debitur dan dengan tetap menggunakan asas keseimbangan di mana kedudukan kreditur dengan
debitur memiliki hak yang sama, sedangkan hak eksekusi yang melekat pada prinsip-prinsip hukum
piutang negara dikesampingkan. Penyelesaian lebih menguta-makan adanya penyerahan secara
sukarela dengan kompensasi penghapusan hutang. Dalam pandangan hukum responsif,
penegakan hukum pada penyelesaian piutang negara perbankan ini adalah perpaduan hukum
antara hukum privat dan hukum publik bahwa dalam hukum responsif pemerintah bertindak dalam
kapasitas ganda. Pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menentukan tujuan-tujuan yang akan
dikejar dan sumber daya yang disiapkan untuk bertindak dalam menangani permasalahan-
permasalahan seperti pengendalian kredit macet dan penegasan pelaksanaan penjualan obyek
jaminannya. Keputusan-keputusan ini menyatakan dan menetapkan suatu kehendak kebenaran doktrin
dan keputusan-keputusan ini mencerminkan dengan baik perlindungan hukum, bagaimanapun kekuatan
kebenaran isi kontrak itu dikendalikan dan disubstansikan. Akan tetapi, pemerintah harus terus
mengkondisikan sebagai aktor hukum untuk menetapkan badan-badan dan mekanisme-
Penerbit Jawara
180
mekanisme dalam rangka memajukan tujuan-tujuan publik.
Masing-masing tipe hukum terikat dengan situasi dan keadaan yang dihadapi dalam kehidupan
bernegara, penegakan hukumnya juga terikat oleh keadaan yang dihadapi problem dan konteks
tertentu. Bahwa agar penegakan hukum berfungsi efektif, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau
keleluasaan yang ada pada lembaga-lembaga yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat reduksi
kekuasaan, tetapi perlu ditegakkannya otoritas pada lembaga yang merupakan
sub-ordinat. Dengan demikian menurut Nonet-Selznick,
meskipun model hukum represif adalah konsep hukum primitif. Namun, ketika pemegang kekuasaan
berada dalam situasi yang sangat sulit betapapun negara itu superliberal dan modern, pasti mereka
akan berpaling kepada mekanisme-mekanisme represi. Mereka melakukannya tidak harus bertujuan
jahat, tetapi karena mungkin tidak melihat jalan untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Menurut Pendapat Philippe Nonet-Philip Selznick, meskipun hukum represif menyediakan
alat lembaga superbody untuk memaksakan
ketertiban, ia sangat tidak kompeten untuk mengamankan klausula-klausula di dalam perikatan
perdata. Oleh karena itu, dalam situasi kondisional, model hukum ini digunakan bukan dalam
kompetensi asas keseimbangan, tetapi dalam kompetensi asas sub-ordinasi, sehingga penegakan
hukum akan efektif bila badan khusus yang merupakan lembaga
superbody tidak melakukan penyelesaian dengan negosiasi.
Pendekatan lainnya untuk dapat memahami tindakan repesif dengan menerapkan
sanksi pidana terhadap kejahatan adalah dengan Economics Analysis of Law adalah penerapan
prinsip-prinsip ekonomi sebagai pilihan-pilihan
Penerbit Jawara
181
rasional untuk menganalisa persoalan hukum. Teori tersebut berasal dari aliran utilitarianisme yang
mengutamakan asas manfaat, maka muncul perdebatan antara karakteristik efektivitas dan
efisiensi dari penggunaan suatu sanksi pidana dalam menyelesaikan masalah BLBI. Pendekatan
ekonomi terhadap suatu tindak pidana tampaknya dipengaruhi oleh filsafat
utilitarian yang menuangkannya ke dalam suatu sudut pandang
statistik terhadap tingkat efektivitas dan efisiensi suatu sanksi terhadap suatu tindak pidana, sehingga
pandangan terhadap tindakan hukum diperlukan suatu pendekatan bersifat hukum represif.
Pola pendekatan teori analisis ekonomi adalah pendekatan utilitarian, yang
mempertanyakan seberapa efektif sanksi dapat menghentikan perilaku yang dipandang tercela
dalam masyarakat, belum dapat dijawab secara memuaskan hingga saat ini. Jika hukum pidana
klasik menetapkan sanksi pidana bertujuan menimbulkan efek jera sejalan dengan filsafat
Kantian Kantianisme, maka filsafat utilitarian masih memberikan harapan akan kemanfaatan maksimal
bagi masyarakat luas dengan penjatuhan sanksi pidana tersebut sebagaimana diketahui bahwa
penjatuhan pidana terhadap obligor sekalipun tetap bertumpu pada tujuan penjeraan. Akan tetapi,
penjeraan harus diterapkan secara efisien dan dapat mengembalikan uang negara. Jadi, titik tolak dari
teori ini dikatakan bahwa untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yaitu pengembalian piutang
negara, maka tindakan hukum harus bersifat represif dan tujuannya adalah menarik kembali uang
negara. Pendekatan “analisa ekonomi atas hukum”
menekankan kepada cost-benefit ratio, yang
kadang-kadang oleh sebagian orang dianggap tidak mendatangkan keadilan. Hal ini tentu dibantah oleh
Penerbit Jawara
182
penganut-penganut pendekatan “analisis ekonomi atas hukum”. Pertama dikatakan, bahwa tidak benar
ekonom tidak memikirkan keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normatif mengenai pembagian
pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki filosofi politik melebihi pertimbangan
ekonomi semata-mata. Kedua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam pembahasan di
mana keadilan dapat dilakukan. Pola pendekatan analisis ilmu ekonomi terhadap kebijakan hukum
akan berhasil dengan baik jika tidak ada intervensi terhadap proses pelaksanaannya.
Oleh karena itu, ancaman paksaan merupakan unsur yang mutlak ada agar kaidah
dapat dikatagorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan ini pun erat kaitannya efektif
atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika aturan hukum tidak efektif, salah satu
pertanyaannya yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya. Mungkin tidak
efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat. Mungkin juga karena ancaman
paksaan itu tidak terkomunikasikan secara memadai.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum dengan unsur paksaan secara represif
adalah pendapat Max Weber
28
dalam kaitannya dengan ekonomi dan masyarakat. Max Weber
berpendapat bahwa hukum adalah suatu “ order”
barulah dapat disebut hukum, jika “ order” itu secara
eksternal dijamin melalui kemunkinan penggunaan paksaan atau kekerasan, baik secara fisik maupun
kejiwaan untuk menghasilkan persesuaian atau membalas kekerasaan, yang akan diterapkan secara
khusus sudah disiapkan untuk tujuan itu. Tentu saja yang dimaksudkan Max Weber dengan orang-orang
28
Acmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Kencana, 2012, hlm 135.
Penerbit Jawara
183
khusus tadi adalah kaum profesional hukum, mencakup hakim, jaksa, pengacara, notaris dan
polisi. Konsep hukum represif dari Max Weber
karena hukum mempunyai tiga ciri dasar yang membedakan ia dari aturan-aturan lain, yaitu sebgai
berikut: 1. Penekanan untuk tunduk pada hukum comes
externally in the form of action or treats of action by others regadless of wether a person
wants to obey the law or does so out of habits. 2. Tindakan-tindakan eksternal atau ancaman
selalu mencakup paksaan kekerasan atau kekuatan.
3. Yang mengimplementasikan ancaman paksaan itu adalah orang-orang yang berperan sebagai
pejabat penegak hukum. Tampak bahwa definisi Weber mirip dengan
konsep hukum represifnya Nonet. Keduanya tidak menyandarkan diri pada eksistensi suatu Negara
politik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum dan menggunakan paksaan kekerasan
sebagai unsur efektivitas hukum, akan tetapi Nonet berpandangan bahwa penegakan hukum represif
harus berpinjak pada doktrin-doktrin hukum yang berprinsip pada
tidak boleh ada orang yang mengambil keuntungan dari kesalahanya sendiri.
B. Hubungan extraordinary default dan