Membangun kembali perbankan yang sehat Kebijakan Bank Indonesia tentang BLBI

ditugaskan untuk melaksanakan sistem penjaminan menyeluruh tersebut serta melaksanakan langkah- langkah untuk menyehatkan atau melikuidasi bank- bank bermasalah yang diserahkan oleh bank Indonesia. Pemerintah juga berjanji untuk meningkatkan transparansi di dalam penyelenggaraan kebijakan yang dilaksanakannya. Pada Juni 1998, pemerintah mengeluarkan keputusan tentang penjaminan atas pinjaman luar negeri bank-bank nasional dengan Keppres No. 120 Tahun 1998. Skim penjaminan ini disediakan untuk trade finance dan interbank debt exchange ofer sesuai dengan kesepakatan Frankfurt dalam rangka penyelesaian pinjaman korporasi yang menyangkut sektor perbankan yang dijelaskan pada bulan Juni 1998. Sebagai kelanjutan restrukturisasi perbankan, pada Agustus 1998 pemrintah mengumumkan paket restrukturisasi perbankan yang menyeluruh yang terdiri dari dua bagian :

a. Membangun kembali perbankan yang sehat

melalui: 1 Menyusun program rekapitalisasi. 2 Menyempurnakan ketentuan perbankan. 3 Meningkatkan penegakan ketentuan. b. Melakukan percepatan restrukturisasi perbankan.

a. Kebijakan Bank Indonesia tentang BLBI

Pada awalnya, BI menangani bank-bank yang bermasalah dengan mengacu pada pasal 37 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara kasus per kasus. Menurut ketentuan tersebut, kalau BI menilai suatu bank mengalami masalah yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat melakukan berbagai langkah. Langkah- lamgkahnya yaitu dari menambah modal sampai dengan mendorong adanya akuisisi oleh bank lain atau melakukan tindakan lain sesuai ketentuan Penerbit Jawara 59 perundangan yang berlaku. Apabila bank tersebut membahayakan sistem perbankan dan tindakan yang dilakukan belum mencukupi, maka BI dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar dilakukan pencabutan izin usahanya. Pada akhir 1996, Gubernur BI dengan didampingi dua Direktur BI bidang pengawasan bank dan Mensesneg mengajukan sejumlah kasus bank- bank bermasalah kepada Presiden, termasuk usulan untuk mencabut izin usaha tujuh buah bank. Petunjuk Presiden adalah agar terlebih dahulu diselesaikan peraturan likuidasi bank. Pada saat itu, peraturan tentang likuidasi bank belum ada. Likuidasi bank harus didasarkan pada peraturan likuidasi perusahaan biasa. Salah satu kendalanya adalah bahwa menurut ketentuan kepailitan yang ada, tidak dimungkinkan menentukan bank yang dilikuidasi memberi hak pemegang deposito dan tabungan untuk memperoleh kembali dana mereka lebih dahulu dari tagihan- tagihan lain terhadap bank. Selain itu, dianjurkan agar pelaksanaan likuidasi bank memperhatikan suasana sosial-politik menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Pada April 1997, hal yang sama diajukan lagi kepada Presiden dengan pertimbangan telah diterbitkan peraturan yang lebih memadai untuk pelaksanaan likuidasi bank. Pada akhir Desember 1996, telah dikeluarkan PP No. 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank sebagai landasan pencabutan izin usaha bank. Sejumlah bank mengalami masalah yang kondisinya sulit untuk disehatkan kembali. Beberapa di antaranya, sebelumnya pernah akan dibeli oleh berbagai pihak tetapi pada akhirnya sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, jalan yang paling baik ditempuh adalah melikuidasi bank-bank tersebut. Terhadap usulan ini, Presiden memberikan persetujuan, namun Penerbit Jawara 60 pelaksanaannya agar menunggu setelah Pemilu Mei 1997. Malangnya, krisis keuangan mulai menyerang Indonesia pada Juli 1997 sebelum likuidasi sejumlah bank benar-benar dilaksanakan. Perlu dikemukakan di sini, bahwa ketujuh bank tersebut akhirnya merupakan bagian dari keenam belas bank yang dilikuidasi pada Nopember 1997. Sebagai bagian dari program stabilisasi dan pemulihan ekonomi-keuangan Indonesia dengan bantuan IMF, di dalam restrukturisasi perbankan dimasukkan suatu rencana pencabutan usaha sejumlah bank bermasalah yang tidak ber- solven. Di dalam pembahasan untuk mempersiapkan pinjaman siaga, BI mengajukan masalah perbankan dan langkah-langkah yang terbuka untuk dilakukan. Langkah-langkah tersebut termasuk pencabutan izin usaha bank-bank tidak solven yang dilakukan di hadapan tim Indonesia untuk mempersiapkan program dengan mengajukan permintaan pinjaman siaga kepada IMF. Dalam pembahasan akhirnya disepakati untuk mengajukan usul pencabutan izin usaha terhadap 16 buah bank kepada Presiden. Langkah pencabutan usaha bank-bank ini dilakukan pada tanggal 1 Nopember 1997 sebagai langkah awal dari program restrukturisasi dan reformasi dengan dukungan IMF. Keketatan likuiditas yang semula disebabkan oleh kebijakan pengetatan likuiditas bulan Agustus, ternyata meningkat menjadi krisis likuiditas setelah dilaksanakan likuidasi 16 bank tersebut. Banyak bank mengalami saldo debet dengan BI. Menghadapi masalah ini, BI mengambil langkah untuk mepertahankan kestabilan sistem pembayaran nasional dan perbankan dengan memberikan dispensasi bank-bank yang mengalami saldo debet untuk ikut kliring. Saldo debet yang dialami sejumlah bank kemudian dikonversikan menjadi fasilitas diskonto Penerbit Jawara 61 agar persyaratan dan pengikatan jaminannya lebih jelas. Pada akhir 1997, Gubernur BI mengirim surat kepada Presiden untuk mengatasi masalah saldo debet yang makin banyak dialami bank untuk dikonversikan ke dalam instrumen yang jangkanya lebih lama dengan persyaratan yang lebih tegas, yaitu SBPU Khusus. Hal ini diajukan sebagai usul kepada Presiden karena disadari bahwa krisis yang berjalan tampak tidak dapat berlalu dalam waktu singkat. Usulan tersebut disetujui Presiden yang dituliskan dalam surat Mensesneg kepada Gubernur BI No. R 183M.Sesneg121997 tertanggal 27 Desember 1997. Pada April 1998, diambil tindakan oleh BPPN untuk membekukan 7 bank menjadi Bank Beku Operasi BBO dan mengambil alih 7 bank menjadi Bank Take Over BTO. Pada Agustus 1998, dilakukan pembekuan operasi terhadap 3 bank dan tetap memberlakukan BTO terhadap 4 bank dengan rencana untuk merger. Ternyata reaksi pasar terhadap langkah-langkah ini tidak seburuk waktu dilakukan penutupan terhadap 16 bank. Mungkin pasar telah terbiasa dengan kebijakan pencabutan izin usaha bank. Pelaksanaan pembekuan operasi bank juga tampak dapat diterima pasar dan tidak menimbulkan kegoncangan. Setelah semua masalah ini terjadi, memang harus untuk kembali dipikirkan. Penutupan bank yang tidak solven memang harus dilakukan. Akan tetapi, kapan sebaiknya dilakukan dan bagaimana cara penutupan dilakukan tanpa menggoyahkan sistem perbankan, sehingga memerlukan persiapan yang benar-benar matang dan hati-hati. Secara teoretis, penutupan bank sangat tidak tepat untuk dilakukan pada waktu kepercayaan pasar sedang goyah. Akan tetapi, pada waktu tidak ada masalah, menutup bank juga tidak mudah. Dalam mempersiapkan tindakan menutup bank, perlu diperhitungkan pula mengenai dampaknya terhadap Penerbit Jawara 62 sistem pembayaran karena menyangkut pembekuan operasi atau tidak ikut kliring terlebih dahulu sebelum pencabutan izin usaha, atau langsung menutupnya. Selain itu juga menyangkut bank sebagai lembaga keuangan yang vital dalam penyelenggaraan sistem pembayaran nasional atau lembaga keuangan non bank. Demikian pula, pertanyaan mengenai ada tidaknya jaminan terhadap pemilik dana bank dan pinjaman bank, ada tidaknya skim asuransi deposito, apakah diperlukan skim penjaminan menyeluruh blangket guarantee. Pada bulan April 1998 sebagai langkah restrukturisasi perbankan dilakukan pengelompokan bank-bank menjadi tiga kelompok: 1 Kelompok A, bank-bank yang mempunyai CAR 4 dan lebih. 2 Kelompok B, bank-bank yang mempunyai CAR di bawah 4 sampai dengan minus 25. 3 Kelompok C, bank-bank yang mempunyai CAR lebih rendah dari minus 25 Bank-bank yang mempunyai CAR minus 25 atau lebih rendah, kalau tidak dapat meningkatkan CAR-nya akan dilikuidasi. Bank-bank kelompok B akan direkapitalisasi dengan modal sendiri minimal 20 dan bank pemerintah maksimal 80 agar CAR-nya menjadi 4. Pada bulan Maret 1999; dilakukan langkah yang menyangkut: 1 Membekukan 38 bank dari kelompok C 2 Merekapitalisasi 7 bank Dalam menyiapkan langkah ini sempat terjadi rush terhadap berbagai bank, akan tetapi tidak seburuk sebelumnya.

b. BLBI Untuk Kondisi Mismatch