Kebijakan Program Penjaminan Pemerintah

B. Kebijakan Program Penjaminan Pemerintah

Amanat yang dituangkan dalam Keputusan Presiden tanggal 3 September 1997 yang diberikan kepada Menteri Keuangan dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa tanggung jawab pemerintah yang dikepalai oleh presiden dengan Dewan Moneter pelaksanaannya diteruskan pada masa Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Namun, tidak ada prosedur dan mekanisme operasional yang jelas dalam mengatur hubungan kerja antara DPK-EKKU, Dewan Moneter termasuk Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan terutama mengenai sistem pengawasan pelaksanaan kebijakan. Pada periode Oktober sampai dengan Desember 1997 dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi moneter yang melanda Indonesia termasuk dan tidak terbatas pada restrukturisasi perbankan nasional, IMF ikut berperan aktif dalam menentukan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah. Namun usul paket kebijakan yang kemudian diimplementasikan itu justru makin memperburuk kondisi perbankan. Selanjutnya, pada tanggal 27 Januari 1998 pemerintah mengeluarkan tiga langkah penyelamatan darurat perbankan sekaligus memberikan komitmen pemerintah untuk membayar ongkos restrukturisasi perbankan, yaitu sebagai berikut: a. Semua deposan dan kreditur bank nasional dijamin pemerintah. b. Membentuk badan khusus bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional di bawah naungan Menteri Keuangan dengan masa operasi lima tahun. Badan ini selanjutnya bertugas mengambil alih dan melakukan program penyehatan terhadap bank yang bermasalah dan mengelola kredit macet dari Penerbit Jawara 241 bank yang masuk ke dalam program penyehatan. c. Mengajukan struktur dan pola pengelolaan restrukturisasi korporasi paket kebijakan ini membawa dampak positif. Nilai Rupiah terus menguat menjadi Rp. 10.000 per dolar dan terus menguat. Dana pihak ketiga pun kembali ke sistem perbankan. Pada saat yang bersamaan pemerintah pun memutuskan untuk memberikan batasan terhadap tingkat suku bunga deposit batas maksimum suku bunga penjaminan untuk meminimalkan moral hazard akibat dikeluarkannya blanket guarantee. Melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30199KEPDIR tanggal 12 Februari 1008, 54 bank umum swasta ditempatkan dalam program penyehatan di BPPN, tetapi pada saat itu BPPN belum efektif beroperasional, sehingga 54 bank-bank tersebut baru dapat diserahkan tanggal 4 April 1998. Krisis moneter dan pencabutan izin usaha enam belas bank pada pertengahan dan akhir tahun 1997 telah menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap mata uang rupiah dan perbankan nasional yang ditandai dengan penarikan dana masyarakat secara besar- besaran dari sistem dan tidak diterimanya LC dari perbankan nasional oleh perbankan luar negeri. Dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjamin kewajiban pembayaran bank umum bagi nasabah dan kreditur dalam dan luar negeri yang diwujudkan dalam bentuk pengeluaran ketentuan berikut ini: a. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Kewajiban Pembayaran Umum; dan b. Keputusan Menteri Keuangan No. 26KMK.0171998 tanggal 28 Januari 1998 Penerbit Jawara 242 tentang Persyaratan dan Tata Cara Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Program penjaminan pemerintah atau blanket guarantee ini dilaksanakan oleh BPPN dan Bank Indonesia sebagaimana didasarkan pada ketentuan Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN NO. 30270KEPDIR dan No. 1BPPN1998 tanggal 6 Maret 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keikutsertaan bank dalam program penjaminan ini bersifat wajib atau compulsary, kecuali bank campuran boleh tidak mengikuti program penjaminan dengan syarat bank asing pemegang saham bank yang bersangkutan telah memberikan jaminan yang sama kepada nasabah atau krediturnya. Peranan Departemen Keuangan dalam hal ini adalah menyediakan dana program penjaminan yang semula berasal dari dana talangan Bank Indonesia kemudian diganti oleh Departemen Keuangan mewakili pemerintah dengan menerbitkan Surat Utang Negara. Jumlah dana sebesar Rp. 53,8 triliun dimuat dalam Surat Utang Negara No. SU-004MK1999 tanggal 28 Mei 1999. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, di antaranya member jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat blanket guarantee. Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkereditan Rakyat. Pemerintah juga melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan untuk memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank yang menelan biaya luar biasa besar. Penerbit Jawara 243 Bergulirnya kebijakan blanket guarantee terbukti menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Di sisi lain, kebijakan ini membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi banker atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar karena adanya penjaminan simpanan. Munculnya pertimbangan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif blanket guarantee mendorong pemerintah menetapkan secara bertahap pengurangan lingkup penjaminan dan hanya akan memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas limited guarantee. Sebagai implementasinya, pada 22 September 2004, ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan LPS. LPS dirancang sebagai satu unsur penting dalam jarring pengaman sistem keuangan financial safety net yang merupakan praktek terbaik di banyak negara untuk memelihara sistem perbankan. LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi penjaminan diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan aats simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk tim likuidasi untuk membereskan aset dan kewajiban bank tersebut. Sementara itu, fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan yang diwujudkan melalui upaya menyelamatkan atau penyehatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik bank resolution. Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak berdampak sistemik ditetapkan LPS. Salah satu pertimbangannnya didasarkan pada perhitungan biaya yang lebih rendah lower cost test antara Penerbit Jawara 244 menyelamatkan bank tersebut dengan membayar klaim penjaminan. Selain itu, keputusan untuk menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik ditetapkan dan diserahkan oleh Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner. LPS selanjutnya bertindak sebagai pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak sistemik. Dalam upaya penyelamatan bank gagal, LPS berwenang mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjualmengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal sementara; serta mengalihkan manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama empat tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan lima tahun untuk bank gagal yang berdampak sistemik. Selanjutnya LPS wajib menjual seluruh saham bank yang tidak berdampak sistemik mulai pada tahun kedua, dan tahun ketiga untuk bank yang berdampak sistemik secara terbuka dan transparan. Dalam hal LPS telah membayar klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS mempunyai hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut hak subrogasi dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan recovery rate bagi LPS sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus dijaga. Keberadaan LPS sejalan dengan Arsitektur Perbankan Indonesia API yang bertujuan menciptakan sistem perbankan nasional yang kuat, bertumbuh, dan sehat. Fungsi LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank maupun melakukan penyelamatan bank gagal merupakan bagian penting dalam Pilar ke-6 API. Selain itu, peran LPS dalam Penerbit Jawara 245 mendukung stabilitas sistem perbankan berkontribusi mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar negara yang terkena krisis perbankan menerapkan blanket guarantee sebagai upaya untuk merestrukturisasi industri perbankannya dengan cara mempengaruhi sensitivitas risiko bank yang akan memberikan insentif pada pengelolaan bank secara pruden. Di antara empat negara, seperti Indonesia, Thailand, Korea Selatan dan Malaysia yang melaksanakan blanket guarantee pada saat krisis perbankan tahun 1997-1998, Thailand dan Korea Selatan langsung menunjukkan efek yang positif ketika program tersebut diterapkan, sementara Indonesia tidak seketika demikian karena program tersebut baru diterapkan setelah setengah tahun krisis tersebut berlangsung 39 . Di Indonesia, masyarakat khususnya nasabah penyimpan dana belum memperoleh kejelasan ketika diumumkan Keputusan Presiden mengenai blanket guerantee, bagian mana-mana saja yang dijamin dan lembaga mana yang akan melaksanakannya, sehingga program penjaminan pemerintah tersebut tidak langsung memperoleh respons yang positif. Hal yang sama terungkap dalam hasil audit investigasi BPK yang mempermasalahkan bahwa BPPN dan Bank Indonesia tidak memanfaatkan program penjaminan dimaksud dalam rangka meng- cover kewajiban bank yang jatuh tempo dan dibiarkan dibayar melalui proses kliring. Sementara itu, Bank Indonesia dan BPPN mengemukakan bahwa setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998, pemerintah belum memiliki ketentuan pelaksanaan, sehingga pembayaran kewajiban bank dilakukan melalui proses kliring. 39 Seperti juga digambarkan oleh Kaoru Hosono et.al..Banking Crises, Deposit Insuranse and Market Dicipline: Lesson from the Asian Crisse, RIETI Discussion Paper Series 05E-029 Thid Draf 27 October 2005, Japan. Penerbit Jawara 246 Uraian tersebut di atas, di samping menunjukkan kelemahan yang ditimbulkan dari dasar kebijakan yang kurang jelas, tetapi juga menandakan kurangnya pemahaman atas kondisi terjadinya dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis serta pemahaman yang kurang luas mengenai mengapa perlu upaya mempertahankan keberadaan dan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 terdapat empat pilihan teknis terhadap bank gagal, yakni, pertama, melalui penanganan bank gagal sistemik dengan melibatkan pemegang saham, kedua, melalui penanganan bank gagal sistemik tanpa melibatkan pemegang saham, ketiga melalui penyelamatan bank gagal tidak sistemik dan keempat, dengan tidak melakukan menyelamatkan pada bank gagal tidak sistemik. Pendefinisi sistemik dan non-sistemik mempunyai arti yang penting dalam teknis penutupan bank gagal terutama dalam hal penyelamatan yang berarti negara melakukan intervensi pada kelangsungan operasional bank gagal tersebut dan dalam pertemuan G-20 hal ini pernah dibahas mengenai pendefinisian dan ukuran dampak dari bank gagal akan tetapi belum juga terdapat kesepahaman pendapat karena hampir semua negara mempunyai pandangan bahwa definisi mengenai sistemik dan non-sistemik masih bersifat relatif karena berdasarkan pada kondisi, sehingga sampai saat ini belum ada penetapan definisi sistemik dan non- sistemik di negara mana pun . Pada dasarnya sebuah sistem yang bersifat kompleks akan memiliki resiko sistemik dimana sebuah kegagalan merembet dan merusak seluruh sistem. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan dalam kasus seperti BLBI dan Bank Century hanyalah mengurangi kompleksitas dari sistem ini. Resiko sistemik tak dapat terdeteksi dan ia muncul Penerbit Jawara 247 akibat interaksi yang tak terduga antara bagian- bagian dalam sebuah sistem. Dalam hal resiko pada sistem keuangan manajemen resiko hanya dapat mengantisipasi masalah keadaan normal dimana prilaku bank-bank lain dapat diprediksi, menurut pandangan George Soros mengutip pendapat CEO City Bank yang mengatakan: “Ketika musik berhenti ,dalam kaitan dengan likuiditas ,segala hal akan menjadi rumit. Namun sepanjang musik berlangsung, Anda harus berdiri dan menari. Kita masih menari” Pendapat ini menggambarkan keadaan yang berkaitan dengan masalah redit subprime di Amerika, dimana persoalan timbul ketika kredit berkontraksi yang disebabkan likuiditas dikurangi untuk tujuan yang sama. Dalam keadaan kriris perubahan yang terlampau cepat dapat menyebabkan bank-bank berprilaku diluar kebiasaan. Resiko sistemik dinyatakan kuat bila institusi lain yang secara fundamental kuat tergerus dan terkena dampak signifikan. Dalam keadaan tersebut sirkulasi uang akan mengalami penurunan, sementara setiap bank akan berupaya keras untuk meningkatkan likuiditasnya. Untuk mendapatkan likuiditas, bank mendesak debitur untuk melunasi lebih cepat, dan kondisi tersebut akan diperparah dengan perilaku nasabah mencairkan tabungan karena panik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah dan Bank Indonesia adalah aspek psikologis pasar pada saat itu. Penutupan 16 bank yang pangsa pasarnya hanya 2,3 persen dari total aset perbankan ternyata mengakibatkan dampak berantai yang memicu krisis perbankan. Efek psikologis inilah yang menjadi salah satu alasan Bank Indonesia kembali mengeluarkan kebijakan serupa ketika mem- bailout Bank Century. Dalam penjelasannya Bank Indonesia mengatakan bahwa terdapat lima aspek yang digunakan Bank Indonesia Penerbit Jawara 248 untuk melakukan analisis bank gagal yang dianggap sistemik, yaitu: 1 institusi keuangan, 2 pasar keuangan 3 sistem pembayaran, 4 Sektor riil dan 5 Psikologis pasar.

C. Perbedaan Bail Out Indonesia dengan Amerika