A. Pergeseran Perikatan
BLBI yang pada awalnya adalah tagihan Bank Indonesia kepada bank-bank yang terjadi dalam
kapasitas BI yang merupakan bagian dari pemerintah sebagai
Lender of the last resort sesuai Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang
Bank Sentral menyediakan dana kepada bank-bank untuk menutup kesulitan likuiditas yang dihadapi.
Pelaksana program penjaminan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban bank-bank umum berdasarkan
Keppres No. 26 Tahun 1998 dan pembayaran kewajiban kepada luar negeri berupa
interbank debt arreas dan trade finance berdasarkan Keppres No. 120
Tahun 1998. Tagihan BLBI kepada bank-bank tersebut selanjutnya dialihkan oleh BI kepada pemerintah
bersamaan dengan penerbitan obligasi pemerintah sehingga tagihan BLBI BI kepada bank-bank beralih
menjadi tagihan BLBI pemerintah kepada bank-bank yang diselesaikan dengan melalui mekanisme MSAA,
MRNIA, dan APU. Dari pencelasan tersebut, adapun rincian penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
a. Master Settlement and Acquisition Agreement MSAA. MSAA ini diberlakukan terhadap PPS
bank yang masih memiliki aset yang cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada
pemerintah. Penyelesaian kewajiban PPS bank ini dibedakan menjadi 3 tiga, yaitu: i
PPS bank yang berstatus BBOBBKU seperti BDNI, melakukan penyelesaian BLBI dan
kredit yang melanggar BMPK dan ii PPS bank yang berstatus BTO seperti BCA
menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK saja karena penyelesaian BLBI pada bank
BTO dilakukan melalui proses rekapitalisasi yaitu dengan cara konversi tagihan BLBI
menjadi penyertaan Pemerintah pada bank. MSAA juga mengatur mengenai
Release and discharge R D. R D dapat diterbitkan
Penerbit Jawara
270
selama proses penyelesaian atau setelah proses penyelesaian berakhir
closing. Namun demikian, R D yang dapat
disamakan dengan kuitansi adalah yang jumlahnya sesuai dengan jumlah yang
diterima sebagai pembayaran. Artinya, kalau jumlah yang dibayar baru 30 maka R D
juga hanya menyebutkan angka 30. Aset yang diserahkan sebagai pembayaran
kewajiban PPS bank, dinilai oleh konsultan yang independen dengan menggunakan
asumsi normal economic condition. Artinya,
penilaian dilakukan dengan dasar kondisi ekonomi yang normalwajar, bukan nilai pada
waktu krisis. Asumsi pertama ini digunakan karena setelah aset diserahkan, perubahan
nilai aset, naik maupun turun, tidak lagi bergantung pada para pihak yang
menyerahkan dan menerimanya, melainkan bergantung pada kondisi ekonomi dan politik
yang terjadi. Dengan demikian apabila pemerintah berharap agar nilai aset tidak
turun atau bahkan naik, pemerintah harus berusaha untuk menciptakan kondisi
kestabilan ekonomi dan politik tersebut. b. Mekanisme MRNIA, pada dasarnya dalam
MRNIA misalnya untuk Bank Danamon belum terdapat suatu penyelesaian kewajiban
PPS bank secara tuntas. PPS bank telah melakukan pembayaran kewajibannya
sebagian secara tunai. Namun, sisanya yang akan dibayar dengan cara penyerahan aset
belum dilakukan. Karena pada waktu dilakukan penilaian oleh konsultan
independen, ternyata aset yang akan diserahkan tersebut nilainya tidak mencukupi,
sehingga tidak diserahkan sebagai pembayaran. Aset ini kemudian dimasukkan
Penerbit Jawara
271
dalam daftar Personnal Guarantee PG dari
PPS bank untuk menjamin pelunasan kewajibannya dengan batas waktu yang
ditetapkan. Jadi perbedaan antara MSAA dan MRNAMRA antara lain dalam MSAA terjadi
pembayaran kewajiban menggunakan aset. Aset tersebut dapat dijual oleh dan atas
perintah BPPN melalui Holding CompanyAV
tanpa memerlukan persetujuan dari PPS bank yang menyerahkan aset tersebut. Sebaliknya
dalam MRNAMRA, penjualan aset yang termasuk dalam daftar PG oleh BPPN harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari PPS bank atau dilakukan sendiri oleh PPS
bank. Master Refinancing and Note Issuance Agreement MRNA atau disebut juga Master
Recognition Arrangement MRA. MRNA ini diberlakukan terhadap PPS bank yang
asetnya tidak mencukupi setelah dinilai untuk memenuhi kewajibannya kepada
pemerintah. PPS bank ini mengakui bahwa penyelesaian kewajiban PPS bank belum
selesai tuntas karena walaupun telah melakukan pembayaran sebagian
kewajibannya secara tunai, sisanya belum bisa dibayar penuh dengan cara penyerahan
aset. c. Mekanisme melalui penandatanganan Akta
Pengakuan Utang APU. Penyelesaian Kewajiban Saham Pengendali PKPS dalam
perjanjian APU ini menempuh jalur yang mirip MSAA. Perbedaaanya dalam PKPS, Pemegang
Saham pengendali tetap bertanggung jawab bila penjualan aset yang
diagungkandijaminkan belum mencukupi hutang BLBI-nya. Tanggung jawab itu
dilakukan dengan cara memberikan personal
guarantee PG dan atau corporate guarantee
Penerbit Jawara
272
CG. Model PKPS hanya berhasil menyelesaikan BLBI pada bank-bank Beku
Kegiatan Usaha BBKU menarik uang Rp. 3,3 triliun. Aset ini kemudian dimasukkan dalam
daftar Personal Guarantee PG dari PPS bank
untuk menjamin pelunasan kewajibannya dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pencairan aset ini hanya dapat dilakukan atas permintaan BPPN. Setelah aset diserahkan
kepada AV dan BPPN melalui AVHolding Company menerima penyerahan tersebut
closing, berarti para pihak telah melaksanakan kewajiban dan menerima
haknya. Sehingga, PPS bank dianggap telah menyelesaikan kewajibannya secara tuntas
settlement. 1. Karena pada perusahaan-perusahaan
go public pertambahan nilainya ditentukan oleh
manajemen yang diangkat oleh RUPS. Pada dasarnya peningkatan nilai perusahaan lebih
bergantung kepada profesionalitas pengurusmanajemen perusahaan yang
bersangkutan, kondisi ekonomi dan politik bukan pada masalah besarnya kepemilikan secara
mayoritas atau minoritas di perusahaan tersebut. Contoh, meskipun PT. Astra Internasional Tbk dan
PT. Statomer merupakan Non-Controlled
Acquisition Companies dalam kenyataannya justru terjadi peningkatan nilai
Acquisition Shares ketika dijual. Dikarenakan penunjukan AV selaku
perusahaan yang mengelola dan memiliki Acquisition Companies juga atas dasar
penunjukan oleh BPPN, sehingga adalah menjadi hak sepenuhnya BPPN selaku pihak yang
menerima pembayaran untuk menentukan apakah pembayaran itu akan dimiliki dan dikelola
sendiri atau oleh pihak lain yang ditunjuk. dengan adanya gadai saham AV kepada BPPN
Penerbit Jawara
273
berikut hak suaranya maka praktis AV berada di bawah kendali BPPN sebagaimana diatur dalam
Deed of Pledge of Shares yang menyebutkan bahwa ...
the Shareholders each hereby constitutes and appoints the Attorney and grants
power of attorney to the Attorney, with full right of substitution, the true and lawful attorney for
the purpose of exercising all rights attached to and associated with the Shares .. The attorney
dalam hal ini adalah BPPN. 2.
Release and discharge yang menyangkut tuntutan pidana berkaitan dengan pelanggaran
BMPK, maka release and discharge sebagaimana
dimuat dalam MSAA mencakup pembebasan dari tuntutan pidana atas pelanggaran BMPK. Ada
atau tidak suatu tindak pidana atas pelanggaran BMPK. Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 10 Tahun 1998 Undang-undang Perbankan dan undang-undang lainnya yang
menyatakan bahwa pelanggaran BMPK otomatis merupakan suatu pelanggaran pidana. Hanya
Pasal 49 dan 50 Undang-undang Perbankan mengatur bahwa pemegang saham, pengurus
dan pegawai bank yang tidak mentaati langkah- langkah yang ditetapkan untuk memastikan
ketaatan kepada undang-undang dan peraturan tentang perbankan. Langkah-langkah yang
ditetapkan dalam hal terjadi pelanggaran BMPK diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia SKBI No.31177KEPDir beserta perubahannya yang menyatakan bahwa apabila
terjadi pelanggaran BMPK, maka bank diminta membuat suatu
Action Plan untuk memperbaiki pelanggaran yang terjadi. Apabila
Action Plan tersebut dilaksanakan, maka langkah-langkah
menurut Undang-undang Perbankan sudah
Penerbit Jawara
274
dipatuhi sehingga tidak ada pelanggaran BMPK. Namun apabila
Action Plan yang dimaksud sebagai langkah-langkah tersebut sengaja tidak
dipatuhi maka Bank Indonesia akan melaporkannya sebagai suatu tindak pidana di
bidang perbankan. 3. Kewenangan pemerintah cq Jaksa Agung untuk
mendeponir tidak melanjutkan penuntutan suatu perkara pidana diatur dalam pasal 32 huruf
c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Jaksa Agung
berwenang untuk menyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Jadi memang benar
pendapat yang menyatakan bahwa pasal 1853 KUHPerdata menyatakan bahwa perdamaian
secara perdata tidak menghapuskan hak dari Kejaksaan untuk melakukan tuntutan pidana
namun pendapat ini tidak cermat karena justru hak untuk melakukan pertuntutan itulah yang di-
waive dilepaskan dengan MSAA. 4. Karena dengan telah terjadinya
kesepakatanpersetujuan yang dibuat antara Shareholders dan BPPN dalam MSAA yang
menyebutkan bahwa kekurangan pembayaran Affiliated Loans sebagai akibat hasil penjualan
Acquisition Shares yang ternyata tidak cukup nantinya menjadi bebankerugian negara. Oleh
karena itu, untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum, negara cq Rakyat Indonesia diwakili oleh
pemerintah. Tindakan pemerintah merupakan tindakan negara cq rakyat Indonesia sehingga
Negara cq Rakyat Indonesia bukanlah pihak ketiga dalam suatu perbuatan hukum MSAA
yang dilakukan oleh pemerintah. Contoh apabila suatu BUMN mengalami kerugian sebagai suatu
resiko usaha tentu saja kerugian BUMN tersebut dipikul dan ditanggung oleh negara cq rakyat
Indonesia melalui APBN.
Penerbit Jawara
275
5. Karena tindakan BPPN mengenai MSAA bahkan sudah dilaporkan kepada DPR, sehingga
sebenarnya wakil rakyat sudah mengetahui adanya MSAA jauh sebelum masalah ini timbul
dan DPR pada waktu itu tidak memberikan suatu penyangkalan atas MSAA, hal ini berarti secara
implisit DPR menyetujui MSAA. 6. Dalam persoalan MSAA, kalau pihak
Shareholders sudah menyerahkan aset berupa Acquisition Companies kepada pihak yang
ditunjuk oleh BPPN sebagai bentuk pelunasan kewajiban berarti sudah terjadi
deal, sehingga resiko penurunan nilai selanjutnya ditanggung
oleh BPPN. Persoalan siapa pihak yang ditunjuk oleh BPPN untuk menerima penyerahan
Acquisition Shares adalah out of context karena BPPN bebas menunjuk siapapun untuk mewakili
kepentingan BPPN.
B. Pentingnya Penegakan Hukum Represif