Tipologi tindak pidana kejahatan perbankan Tipologi tindak kejahatan perbankan yang Long term violators: mereka yang secara Absconders: mereka yang memindahkan

bayar yang berdampak sitemik extraordinary default dan berpotensi merugikan negara. Dari beragam pengertian kejahatan di atas, jika ditarik lebih jauh dan dihubungkan dengan perbankan, berarti kejahatan perbankan adalah suatu perbuatan atau pelanggaran yang memenuhi rumusan delik dari suatu produk legislasi yang mengatur tentang tindak pidana perbankan. Menurut Marwan Efendi berpijak dari pengertian kejahatan di atas, maka deskripsi tentang tipologi kejahatan perbankan dari perspektif hukum pidana diperlukan karena akan diketahui tipologi masing-masing tindak pidana, sehingga dapat ditemukan rumusan delik yang tepat dalam penerpanya. Oleh karena itu, untuk memudahkan penyebutan istilah tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia disebut tindak pidana perbankan, sedangkan tindak pidana yang bersangkut paut dengan tindak pidana lain yang terkait dengan perbankan seperti KUHP, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, serta lain sebagainya disebut dengan tindak pidana di bidang perbankan. Selanjutnya sesuai dengan ruang lingkup pengaturanya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku tipologi tindak kejahatan perbankan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tipologi tindak pidana kejahatan perbankan

yang dirumuskan di dalam Undang-Undang tentang Perbankan, meliputi perizinan usaha bank, masalah pekreditan, masalah rahasia Penerbit Jawara 192 bank dan sebagainya, serta yang dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

2. Tipologi tindak kejahatan perbankan yang

dirumuskan didalam KUHP, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang money laundering dan Undang-Undang lalulintas Devisa dan istem Nilai Tukar. Oleh karena itu, kejahatan perbankan ini menurut pendapat Marwan Efendy dapat dikelompokkan dalam White-Collar Crime karena berbagai kasus mengindikasikanya sebagai kejahatan transnasional, tidak terbatas pada suatu tempat tertentu, tapi dapat melewati batas-batas teritorial suatu negara dan subjek hukum biasanya adalah orang-orang yang ahli di bidang perbankan. Istilah White-Collar Crime pertama kali dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1940 yang mempublikasikan tulisannya berjudul White –Collar Criminality yang isinya mengupas pengembangan konsep dan pengaruh White-Collar Crime terhadap kriminologi, istilah White-Collar Crime menjadi begitu popular dan baku. Sutherland menggunakan istilah White-Collar Crime untuk menyatakan bahwa orang-orang yang melakukanya umumnya memiliki status social yang tinggi white collar crime commited by respectable persons in conection with their occupations. Dalam hal ini yang perlu diklarifikasi sebagai bentuk white collar crime adalah sebagai berikut: 1. Independent Businessmen, yaitu mereka yang secara melawan hukum mengkonversi uang pemilik modal untuk keperluan lain dari tujuan semula.

2. Long term violators: mereka yang secara

melawan hukum mengkonversi sebagian kecil modal untuk waktu yang lama. Penerbit Jawara 193

3. Absconders: mereka yang memindahkan

seluruh modal atau barang modal orang lain dengan cara meninggalkan pemberi modal. Sementara itu, para politisi atau pejabat pemerintah dapat melakukan White–Collar Crime dengan menggunakan dana masyarakat, secara tidak langsung mengakuisi asset publik, memperoleh keuntungan secara tidak wajar, memalsukan izin, menggerogoti pendapatan pegawai dan lain-lain. Contoh lain adalah seorang penasehat hukum memalsukan kesaksian ambulance chasing. Memperhatikan bentuk-bentuk White–Collar Crime di atas, pada satu sisi terdapat perbedaan antara White–Collar Crime dengan Extraordinary Crime, namun pada sisi lain sering tidak begitu jelas perbedaan itu. Dalam pada itu, berdasarkan Uniform Crime Report, FBI Federal Bereau Investigation Amerika Serikat, hanya mencantumkan bentuk-bentuk White-Collar Crime yang melanggar hukum pidana dan tidak mencantumkan pelanggaran hukum perdata, serta hukum tata usaha negara. Pendapat yang menyatakan White–Collar Crime dan Extraordinary Crime adalah tidak berbeda, dapat diketemukan pada buku yang berjudul Extraordinary Crime BLBI yang ditulis oleh Djony Edward, bahwa kasus BLBI dikategorikan sebagai Extraordinary Crime dan juga termasuk dalam White Collar Crime, beralasan karena perbuatan melawan hukum itu tentu terkait dengan orang-orang yang terlibat dalam penyaluran penggunaan dana BLBI serta settlement asset dari para obligor dan pemegang saham. Proses melawan hukum itu tidak tanggung-tanggung melibatkan banyak orang dengan banyak modus, dan juga melibatkan likuiditas yang sangat besar, yakni Rp. 144,54 triliun. Oleh karena itu, penulis memberi judul pada bukunya BLBI extraordinary crime. Penerbit Jawara 194 Masih menurut Djony Edward, dalam kasus BLBI dia memetik pendapat Soehandjono bahwa tindakan melawan hukum paling tidak memenuhi lima unsur: harus ada perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, harus ada kesalahan, harus ada kerugian, dan harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian. Kasus BLBI melihat unsur-unsur melawan hukum pada beberapa indikator: perbuatan penyimpangan dana BLBI sudah terbukti, perbuatan itu tidak hanya melawan prinsip-prinsip hukum perbankan dan hukum perusahaan. Ketiga kesalahan terjadi pada saat penyaluran, penggunaan dan penyelesaian kewajiban. Kesalahan dalam penyaluran adalah sebesar Rp. 84,84 triliun, sementara kesalahan dalam settlement asset sebesar Rp. 52,3 triliun dari kasus Anthony Salim dan Syamsul Nursalim. Keempat, ada kerugian negara sebesar Rp. 118,02 triliun dari selisih nilai recovery rate dengan nilai BLBI. Kelima, besarnya kerugian itu jelas lantaran perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak terkait kasus BLBI tersebut. 30 Hingga sampai sekarang ini belum dapat diselesaikan. Penyelesaian kasus ini tidak berjalan lurus, tetapi berbelok pada persimpangan wilayah hukum, yaitu antara norma hukum administrasi negara dan norma hukum perdata. Pertama, kebijakan BLBI adalah sebagai kebijakan aparatur negara overheidsbeleid karena pimpinan Bank Indonesia adalah subjek pengertian Pegawai Negeri menurut Undang-Undang Bank Indonesia, kedua proses pemberian kredit maupun pasca pemberian kredit yang macet merupakan area Hukum Perdata sebagai “ privaatrechtelijkeid” karena wanprestasi atau default. Dua area hukum tersebut bila ada unsur pelanggaran yang merugikan, maka penyelesaiannya menjadi area hukum formil. Dua unsur perbuatan dalam penyelesaian piutang tak tertagih adalah unsur 30 Djony Edward, BLBI...op.cit., hlm 30. Penerbit Jawara 195 wanprestasi default dan unsur kerugian. Sedangkan dengan istilah Extraordinary Default dan Extraordinary Crime dapat dipahami sebagai pengertian hukum perdata dan pidana karena menyangkut atribut khas hukum antara lain sebagai berikut:

1. Antara rezim hukum perdata dan rezim hukum