Pengertian gagal bayar pada BLBI berbeda Namun, apabila persoalan ini hanya dilihat Dalam kaitan Perikatan bersumber undang-

rechtmatige daad. Sifat melawan hukum materil dalam ranah perdata diakomodasi ke ranah pidana, adalah menyimpang dari asas legalitas. Penyaluran BLBI merupakan perikatan bersumber undang-undang didasari suatu norma atau aturan hukum yang mengandung makna implementasi asas kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Artinya apakah kebijakan Direksi Bank Indonesia sesuai prinsip Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ternyata kebijakan Bank Indonesia yang dihasilkan pada rapat tanggal 15 agustus 1997 dan rapat tanggal 20 Agustus bertujuan memperbaiki likuiditas perbankan saat itu sesuai dengan asas kecermatan materiil Kecermatan Substansif. Ini bertujuan untuk tidak menimbulkan kerugian seseorang para nasabah dan diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan negara yang lebih luas. Resiko kredit mencerminkan potensi kerugian yang timbul akibat gagal bayar debitur.

7. Pengertian gagal bayar pada BLBI berbeda

dengan gagal bayar dalam pengertian kredit macet pada Undang-Undang Perbankan. Kasus gagal bayar adalah sebuah kesalahan dan betul pula bahwa pelakunya harus mendapatkan hukuman. Namun, perlakuannya tidak selalu dapat dimasukkan dalam ranah hukum pidana dan korupsi. Untuk memutuskan apakah kredit macet masuk ranah hukum pidana dan korupsi atau tidak, semestinya perlu dilihat bagaimana prosesnya. Sepanjang keputusan kredit yang akhirnya menimbulkan kasus gagal bayar berdasarkan perikatan baik yang bersumber dari undang-undang atau bersumber dari perjanjian, semestinya hal itu tidak dapat dinyatakan salah secara pidana. Pada rumusan perikatan yang Penerbit Jawara 198 bersumber dari undang-undang syarat kondisional adalah mutlak diperlukan. Kebijakan saldo debet menurut ahli perbankan Drajat Wibowo dan Zulkarnaen Sitompul, merupakan satu-satunya yang dapat diterapkan dan merupakan jalan yang terbaik waktu itu dalam rangka penyelamatan sistem perbankan dan pembayaran.ini dilakukan dengan alasan karena keadaan krisis memerlukan kecepatan dalam bertindak. Tindakan bank Indonesia melalui kebijakan tersebut masih berada dalam batas- batas kepatutan yang ada. Artinya perbuatanya adalah materiile tidak wenderiltelijk. Produk hukum Bank Indonesia adalah implementasi kebijakan pada saat itu dapat diterapkan pada krisis saat itu. Bagitu pula fasilitas kredit likuiditas melalui fasilitas Diskonto II fasdis II

8. Namun, apabila persoalan ini hanya dilihat

berdasarkan hasil akhirnya yaitu gagal bayar berpotensi merugikan negara, bukan pada prosesnya, tidak menutup kemungkinan akibatnya adalah bahwa gagal bayar yang luar biasa Extraordinary Default pada kasus BLBI dianggap sebagai bentuk kejahatan perbankan dan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi Extraordinary Crime.

9. Dalam kaitan Perikatan bersumber undang-

undang persoalan “ staatsbeleid “ yang tidak menjadi kompetensi dari peradilan umum. Selain itu, parameter terbukti tidaknya unsur ” menyalahgunakan kewenangan” bersifat alternatif, dengan tetap memberikan eksistensi kebijakan pada asas kecermatan substansif. Pada tingkat pengadilan, pengadilan tinggi DKI Jakarta telah melepaskan tiga mantan direktur BI dari segala tuntunan hukum ontslag vanalle rechtsvervolging melalui putusan vrijspraak dari Mahkamah Agung No. 572KPid2003. Semua ini Penerbit Jawara 199 memisahkan alasan-alasan soal materiile wederrechtelijk dengan hukum administrasi negara. Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung berseberangan jauh. Putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 148PID2003PT DKI tanggal 29 Desember 2003 menyatakan : “Menimbang bahwa karena terbukti Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20 September 1997 adalah sebagai kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya untuk menyelamatkan sistem moneter dan Perbankan , maka pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pengadilan tidak berhak menilai suatu kebijakan beleid dari Pemerintah Cq Bank Indonesia terlepas dari apakah kebijaksanaan tersebut berhasil atau tidak menyelematkan sistem moneter atau perbankan atau negara”. Selanjutnya dinyatakan pada hal. 62 : “menimbang, bahwa walaupun terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair, tetapi karena perbuatan terdakwa bukan merupakan suatu perbuatan pidana, maka terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum onstlag van alle rechtevervolging”. Dari pertimbangan putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta a Quo, terbukti adanya “ matriale feit” berupa rapat pada tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 yang menghasilkan suatu discreationdiskreasi atau kebijakankebijaksanaan Dewan Direksi Bank Indonesia bagi pemberian dispensasi kliring untuk 18 bank yang mengalami saldo debet yang tidak dapat dianggap sebagai perbuatan Penerbit Jawara 200 pidana. Artinya, unsur ”menyalahgunakan wewenang” sebagai bestanddeeldelict tidak terbukti sebagai Strafbare Feit, tetapi sebagai suatu kebijakannya beleid. Karena, telah tepat pengadilan tinggi DKI Jakarta melalui putusannya menyatakan terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum onslag van alle rechtsvervolging berdasarkan alasan pembenar rechts vaar-digings-groden. Inkonsistensi Mahkamah Agung muncul kembali manakala lembaga yudikatif ini membatalkan putusan pengadilan tinggi. Proses polemik kebijakan negara sebagai area pada hukum administrasi negara ataukah hukum pidana dalam kasus Bank Indonesia ini masih terus bergulir searah dengan keterbatasan pemahaman polemik ini diantara para penegak hukum. 10.Tidak terdapat suatu definisi yang seragam tentang kejahatan perbankan. UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan selanjutnya disebut UU Perbankan tidak memberikan definisi tertentu tentang kejahatan perbankan. Di Amerika Serikat, bank fraud diartikan sebagai “ the criminal ofence of knowingly executing, or attempting to execute, a scheme or artifice to defraud a financial institution, or to obtain property owned by or under the control of financial institution, by means of false or fraudulent pretenses, representations or promises”. Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan, UU Perbankan menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu: 1 tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan; 2 tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia Penerbit Jawara 201 bank; 3 tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; dan 4 tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank. 11.Pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti ketentuan aturan hukum, penegakan hukum yang dilakukan tidak menurut hukum dapat berakibat batal demi hukum. Keharusan penegakan hukum mengikuti ketentuan hukum dimaksudkan untuk mencegah aparat penegak hukum berlaku sewenang-wenang, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan. Ajaran sifat melawan hukum formil mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana 31 . 12.Ajaran sifat melawan hukum materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Rumusan ini diakomodasi dari perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum perikatan yang bersumber dari undang-undang, yaitu pasal 1365 KUH Perdata. Apabila kita mengkaji secara mendalam substansi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan negara, jelas dan tegas bahwa aset berupa piutang BLBI masuk 31 Romli Atmasasmita .op.cit., hlm 167. Penerbit Jawara 202 dalam lingkup keuangan Negara, dengan demikian memiliki sifat hukum represif dan penegakannya harus menggunakan hukum publik.

13. Apabila perikatan yang bersumber dari undang-