dalam lingkup keuangan Negara, dengan demikian memiliki sifat hukum represif dan
penegakannya harus menggunakan hukum publik.
13. Apabila perikatan yang bersumber dari undang-
undang seperti BLBI berdasar SK direksi Bank Indonesia Nomor: 26162KepDir tanggal 22
Maret 1994 dan menjadi risiko non bisnis, maka pejabatpegawai terkait tidak berarti telah
melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, bilamana dalam penggunaan BLBI
oleh si penerima digunakan kepentingan lain, motif ini sejak semula tidak dapat serta merta
dipahami oleh pejabat dari Bank Indonesia, sehingga prinsip kehati-hatian dalam perikatan
bersumber dari undang-undang yang digunakan sebagai dasar pemberian tak terutang pasal
1345 BW secara pidana tidak dapat dikategorikan sebagai memperkaya orang lain
dengan cara yang tidak benar, tapi orang lain itu diwajibkan untuk mengembalikan akibat dari
perbuatan gagal bayar extraordinary default,
sehingga secara yuridis dapat dikategorikan sebagai bukan tindak pidana korupsi. Contoh
kasus BLBI tentang pelanggaran ketentuan perikatan berdasarkan undang-undang menjadi
delik pidana, antara lain putusan MA bernomor 981 KPID2004, tentang permohonan kasasi dari
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, terkait tersangka BLBI, Paul Soetopo itu
memutuskan: “Bahwa atas dasar keputusan rapat direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20
Agustus 1997 yang tidak sah dalam hal ini bertentangan dengan SK direksi Bank Indonesia
Nomor: 26162KepDir tanggal 22 Maret 1994 tersebut, terdakwa Paul Soetopo-red bersama-
sama dengan Boediono dan Drs. Hendrobudiyanto telah menyalahgunakan
Penerbit Jawara
203
kewenangan dengan mengizinkan dan atau menyetujui pemberian dispensasi kliring, dan
atau fasilitas saldo debet terhadap bank-bank yang telah
overdraf.” Putusan MA ini membuktikan Boediono terlibat kasus BLBI.
Petisi 28 menemukan indikasi keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus skandal Bantuan
Likuditas Bank Indonesia BLBI berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung MA. Dalam
surat putusan MA terkait putusan terhadap Direktur Bank Indonesia Paul Sutopo No. 979
KPID2004, putusan No. 977 KPID2004, dan putusan No. 981 KPID2004 itu mengungkap
keterlibatan Boediono. Ahmad Suryono mengatakan, pada 15 Agustus 1997, Boediono
bersama-sama dengan anggota Direksi BI membuat keputusan dalam rapat Direksi yang
intinya menyebutkan mengizinkan memberi bantuan likuiditas dengan memberikan fasilitas
kelonggaran berupa fasilitas saldo debet kepada kantor pusat atau cabang Bank yang mengalami
kesulitan likuiditas hingga gejolak mereda. Artinya, nasabah penyimpan dana Bank
dibolehkan untuk menarik dana secara tunai di Bank BI walau bersaldo negatif. Kemudian, pada
20 Agustus 1997, Boediono juga bersama anggota Direksi BI kembali membuat keputusan
untuk kembali melakukan bantuan likuiditas dengan alasan perbankan belum pulih. Bantuan
diberikan kepada Bank Danamon dan bank lainnya, yang disebut mengalami penarikan
dana cukup besar oleh pihak ketiga.
C. Efektivitas Penegakan Hukum Represif