3. Pengejaran Penghutang BLBI
Di Indonesia Lembaga yang dikhususkan untuk menyelesaikan piutang negara dalam
pengejaran pertanggung-jawaban terhadap para obligor yang melarikan diri ke luar negeri tidak
dilakukan secara maksimal misalnya pengejaran terhadap
Ateng Latief alias Lauw Tjin Ho dan Hendra
Raharja lihat lampiran riwayat obligor. Upaya
pemerintahan untuk mengejar pertanggung jawaban perdata dan pidana para pengutang tersebut focus
pada mekanisme out of court settlementakan tetapi
mengabaikan mekanisme hukum represif sehigga menimbulkan kendala bagi penegak hukum yang
mengikuti proses hukum tersebut , karena menyimpang dari karakter hukum piutang negara
yaitu tidak dilaksanakannya eksekusi langsung sebagaimana karakter dan sifat piutang negara, hal
ini dapat diamati dengan adanya proses gugatan yang berkepanjangan dari penolakan lelang yang diadakan
oleh kantor lelang. Munculnya regulasi-regulasi moneter secara
evolusioner yang berorientasi responsif, seperti kebijakan R D yang tidak dikenal dalam sistem
hukum perdata di Indonesia hanya berlaku sesaat dan tidak memiliki visioner jangka panjang mengakibatkan
tindakan pemerintah menguntungkan obligor yang nyata-nyata merugikan negara.
Barangkali perlu didengar juga nasehat dari mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat:
“Dugaan atau prasangka bahwa penambahan atau perubahan peraturan itu bagus. Tetapi terlalu sering
peraturan-peraturan semacam itu diubah membawa konsekuensi yang tidak diinginkan dan akhirnya dapat
membantu menciptakan bencana yang selanjutnya”. Pendirian hukum responsif memberi
kontribusi terhadap penambahan dan perobahan peraturan perundang-undangan karena sifatnya lebih
Penerbit Jawara
234
dari sekedar merespon terhadap gejala yang ada, sehingga seni pembelaan hukum menjadi seni yang
memberikan otoritas afirmatif kepada tujuan, yaitu hanya sekedar memastikan bahwa hukum
dilaksanakan sungguh-sungguh di dalam kinerja lembaga-lembaga pemerintah. Argumen ini lebih
sekedar penegasan kembali kedudukan sentral hukum administratif di dalam tertib hukum modern, hukum
ini dipahami sebagai keturunan hukum otonom birokratif, yaitu hukum prosedural atau suatu hukum
yang menyediakan dasar-dasar membatalkan kebijakan-kebijakan adminitratif yang mengendalikan
kekuasaan. Pada kasus BLBI, pengejaran pertanggung
jawaban secara perdata misalnya kebijakan-kebijakan administratif dengan melibatkan institusi-institusi
lainnya yang diberikan legitimasi oleh pemerintah, BPPN, KSSK, LPS, Kejaksaan Agung dan Pengadilan
Niaga, yang masing-masing memiliki dominasi prosedural, tidak diberikan kewenangan langsung
pada satu lembaga khusus ,sehingga tujuan hukum menjadi kewajiban hukum. Dua kepentingan ini
merupakan suatu konsep efektivitas penegakan hukum.
Penyelesaian piutang negara yang dilakukan pada situasi kondisi tidak normal karena dihadapkan
pada kasus extraordinary default, maka diperlukan
peran penagih yang represif, berbeda pada kondisi default biasa, sehingga pelaksa-naannya juga harus
berbeda, bila dalam kondisi biasa dilakukan dengan hukum formil melalui litigasi dan non litigasi.
Sedangkan, penyelesaian piutang negara luar biasa extraordinary default harus dilaksanakan suatu
lembaga penagih piutang, dan landasan hukumnya menggunakan undang-undang yang mengan-dung
unsur hukum formil dan unsur hukum materil sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 49 Prp
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara,
Penerbit Jawara
235
peraturan pelaksanaannya dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1976 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Keberadaan PUPN berdasarkan Undang-
Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 yang mengesampingkan pasal 195 dan seterusnya dari HIR,
dianggap merupakan penerobosan terhadap hukum perdata. Hal tersebut sebenarnya dimungkinkan
sejauh yang mengesampingkan memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-sama undang-undang dan
juga bobot yang sama pula. Kedudukan HIR Staatblad
1941 Nomor 44 adalah setingkat dengan Undang- Undang, demikian juga dengan pengaturan PUPN
melalui Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Kemudian dalam materi muatan kedua undang-
undang tadi, apakah keduanya memiliki bobot yang sama ? Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960
memiliki unsur hukum material dan juga unsur formal. Unsur hukum materil atau yang mengatur hubungan
antara manusia terdapat pada pasal-pasal awal dari Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur siapa yang
bertanggung jawab, bentuk Panitia Urusan Piutang Negara, tugas yang harus dikerjakan, dan apa yang
menjadi wewenang dari panitia ini. Sedangkan unsur hukum formil atau yang mengatur tata cara
penegakan dari hukum material dari undang-undang ini adalah menyangkut isi dari tugas yang diurus,
dalam bentuk apa dan bagaimana cara pelaksanaan pengurusannya. Demikian pula dengan pasal 195 dan
seterusnya dari HIR, yaitu tentang menjalankan putusan, terdapat unsur hukum formal dan unsur-
unsur materialnya, sehingga kedua undang-undang tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun
1960 dan HIR Staatblad 1941 Nomor 44 khususnya
pasal 195 dan seterusnya kedudukannya seimbang, yaitu sama-sama memiliki unsur hukum formil dan
unsur hukum material. Dipandang dari segi pembentukannya, maka Undang-Undang Nomor 49
Penerbit Jawara
236
Prp Tahun 1960 memiliki arti formil, karena dibentuknya oleh Presiden bersama dengan DPR-GR.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 juga mempunyai arti material, yaitu
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah. Pada HIR, pembentukannya dilakukan oleh Raja
dengan mendengar Raad Van State bersama-sama
Staten General. Dari kenyataan tersebut, maka secara formal kedudukan HIR adalah setaraf dengan
Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960. Kemudian HIR juga memiliki arti untuk umum dan
pembuatannya oleh pejabat yang sah, maka HIR juga memiliki arti material. Dengan kenyataan di atas
pengesampingan yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 terhadap beberapa pasal
HIR khususnya pada pasal 195 dan seterusnya dapat dibenarkan karena keduanya memiliki bobot yang
sama, baik dalam arti material maupun dalam arti formal
37
. Belajar dari penggunaan hukum represif oleh
pemerintah Jepang dimana keputusan-keputusan yang menjadi kewenagan lembaga khusus semacam PUPN
tidak dapat diganggu oleh lembaga lainnya atau dibatalkan dan memiliki kekuatan hukum mengikat,
sedangkan untuk perkara-perkara yang mengandung unsur pidana, maka pihak yang berwenang, yaitu
Kejaksaan atau Kepolisian Investigative Authorities
akan melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan laporan yang diperoleh dari DIC dan RCC,
Gugus tugas RCC dan DIC bertugas melakukan pengumpulan data dan penyelidikan untuk diberikan
kepada pihak yang berwenang. Perkara-perkara pidana yang terjadi terbagi
dalam dua kategori yaitu sebagai berikut: 37
Arifin P. Soeriaatmadja, Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum dalam Penyelesaian Piutang-Piutang Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Republik
Indonesia, Jakarta 19931994, hal 67-69.
Penerbit Jawara
237
1 Perkara-perkara yang menyangkut penerimaan pinjaman
borrowers antara lain menghambat pelelangan, penipuan, penghambat eksekusi,
keterangan yang tidak benar dari Surat bukti asli, ancamanpemerasan, penipuan kepailitan.
2 Perkara-perkara yang menyangkut pemberi pinjaman
lenders berupa pelanggaran kepercayaan
breach of trust. Dalam perkara-perkara yang mengandung
unsur perdata, DIC dan RCC membawa klaim untuk kerugian perdata diselesaikan dengan negosiasi di
luar pengadilan seperti perkara yang menyangkut tanggung jawab pengurus badan hukum terhadap
kredit dan mencapai penyelesaiannya dengan 13 pengurus dari 5 badan hukum dengan tuntutan ganti
rugi, sehingga dengan penekanan secara represif dimungkinkan pelaksanaan paksa supaya bersedia
mengganti kerugian . Dalam hal terjadi kejahatan perbankan DIC melaksanakan proses litigasinya dan
kemudian menyerahkan penuntutatnnya oleh kejaksaan Jepang, sebelum diadakan sidang ke
pengadilan kejaksaan melakukan penahanan. Pola penyelesaian yang dilakukan oleh PUPN
dengan tindakan represif yaitu menggunakan lembaga penyanderaan berguna untuk melakukan
persuasif dan represif dalam rangka penuntutan ganti kerugian yang terjadi karena kelalaian debitur, kondisi
penyanderaan diterapkan bilamana debitur terindikasi akan melarikan diri keluar negeri. Beberapa kasus
BLBI yang pelakunya kabur keluar negeri seperti Hendra Raharja. Gugus tugas BPPN tidak melakukan
pengejaran pertanggung-jawaban perdata, tetapi pengalihan perkara pada lebeling buronan yang
dilakukan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. Upaya untuk mengejar pelaku BPPN tidak melakukannya
sendiri, sebagaimana upaya pengejaran yang dilakukan oleh badan khusus pemerintah Jepang yang
pelakasanaanya diserahkan pada DIC, bukan pada
Penerbit Jawara
238
kepolisian atau kejaksaan gugus tugas DIC berkordinasi dengan Interpol melakukan pengejaran
terhadap para pelaku kejahatan perbankan, dilakukan tindakan represif untuk menuntut pertanggung-
jawaban perdata dan pidana, DIC mengupayakan penyitaan aset dan memblokir akses perbankan,
sehingga dengan demikian pelaku yang melarikan diri kabur keluar negeri, tidak akan bisa mengakses
perbankan karena sumber-sumber keuangannya ditutup. Para obligor BLBI yang akhirnya kembali dari
pelarian sebagian besar adalah karena dilakukan dengan upaya negosiasi dan tidak jarang dengan
inisiatif sendiri dengan suka rela pulang ke Indonesia mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
BAB V TINDAKAN REPRESIF BANK GAGAL
A. Pencegahan Bank Gagal
Pencegahan bank gagal adalah tindakan secara terus menerus menjaga agar bank tidak
kehilangan kepercayaan publik dan terjaga dari penyelewengan atau
moral hazard
38
. Tindakan ini 38
Menurut Kant ketentuan umum mengenai pertimbangan moral adalah jika kita dapat melakukan berdasarkan maksim yang dimiliki,tetapi maksim itu bersifat universal. Maksim
Penerbit Jawara
239