5. Karena tindakan BPPN mengenai MSAA bahkan sudah dilaporkan kepada DPR, sehingga
sebenarnya wakil rakyat sudah mengetahui adanya MSAA jauh sebelum masalah ini timbul
dan DPR pada waktu itu tidak memberikan suatu penyangkalan atas MSAA, hal ini berarti secara
implisit DPR menyetujui MSAA. 6. Dalam persoalan MSAA, kalau pihak
Shareholders sudah menyerahkan aset berupa Acquisition Companies kepada pihak yang
ditunjuk oleh BPPN sebagai bentuk pelunasan kewajiban berarti sudah terjadi
deal, sehingga resiko penurunan nilai selanjutnya ditanggung
oleh BPPN. Persoalan siapa pihak yang ditunjuk oleh BPPN untuk menerima penyerahan
Acquisition Shares adalah out of context karena BPPN bebas menunjuk siapapun untuk mewakili
kepentingan BPPN.
B. Pentingnya Penegakan Hukum Represif
Penyelesaian utang BLBI seharusnya ditempuh dengan menggunakan pola atau model
hukum represif. Hal ini perlu dilakukan bila melihat beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1. Penyelesaian MSAA, MRNIA, dan APU dengan pola pemberian fasilitas
Release and Discharge pelepasan dan penghapusan dengan
diterbitkanya SKL Surat Keterangan Lunas, telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar
dengan perincian sebagai berikut: Sebesar Rp. 144,5 triliun dana pada saat disalurkan dari Bank
Indonesia kepada Perbankan kemudian pada tahapan-tahapan realisasi penggunaaanya antara
lain; sejumlah Rp. 84,842 triliun diselewengkan, dan pada tahap penggunaan rekening 502 untuk
tambahan BLBI dan blanket guarantee, yaitu
rekening pemerintah atas nama Menteri
Penerbit Jawara
276
Keuangan di Bank Indonesia dana itu diselewengkan sebesar Rp. 17,76 triliun pada
tahap penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan Rp. 431,6 triliunPembayaran bunga Rp.
600 triliun.Jika semua itu dijumlah, maka total kerugian negara mencapai Rp.1000 triliun dengan
beban pembayaran utang APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun .dan Rp 50 triliun yang
harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan itu menyebabkan menurunnya kemampuan
keuangan negara, khususnya dalam membiayai pelayanan publik seperti kesehatan pendidikan
dan peningkatan kesejahteraan. 2. Penyalahgunaan penggunaan oleh penerima BLBI
dikarenakan tidak diikutsertakannya skema pengembalian atas bantuan yang diberikan oleh
BI kepada bank-bank penerima bantuan tersebut, mengisaratkan adanya norma hukum yang
mengekang dan menindas kreditur yang mengakibatkan timbulnya gagal bayar yang
sangat luar biasa extraordinary default yang
berpotensi merugikan negara, maka efektivitas penyelesaian piutang negara BLBI secara
menyeluruh menjadi sangat penting, yang pada akhirnya dapat lebih banyak menarik uang negara
daripada memberikan pengampunan pada debitur secara keseluruhan.
3. Penyelesaian piutang BLBI yang dilaksanakan oleh BPPN dengan mekanisme
Release and Discharge lebih banyak melindungi debitur dari pada
kreditur negara karena berdampak terhadap political-economic resistance, kebiasaan untuk
ketergantungan terhadap lembaga politik dan elite ekonomi. Dan hal ini adalah tantangan
bagi penegakan hukum represif yang bertindak untuk secara paksa menyelesaikan piutang
negara, yang membebaskan penegakan hukum dari ketergantungan elite politik dan ekonomi.
Penerbit Jawara
277
4. Praktik penyelesaian piutang BLBI yang dilaksankan oleh BPPN tidak efektif dan telah
menguras ribuan triliun eksploitasi terhadap sektor keuangan negara,pada akhirnya lebih
banyak ongkos dibandingkan hasil penagihanya. 5. Penyaluran BLBI pada hakikatnya adalah untuk
melaksanakan perintah undang-undang dengan demikian adalah sebuah perikatan bersumber
undang-undang yang memberikan kewenangan pada Bank Indonesia dalam rangka menjaga
stabilitas nilai rupiah dan sebagai lender of last
resort untuk menjaga likuiditas bank sebagaimana diatur pasal 7 dan pasal 12 ayat 3 UU no 13
tahun 1968 tentang Bank Sentral. Keputusan Direksi Bank Indonesia baik yang tertulis maupun
hasil rapat-rapat Direksi bahwa penyaluran BLBI dilaksanakan karena terjadinya krisis dan darurat
pada kenyataanya tidak didukung oleh suatu protokol penaggulangan krisis.
6. BLBI pada hakikatnya adalah kredit likuiditas darurat yang merupakan suatu alat kebijakan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Berdasarkan ketentuan tersebut ,BLBI telah memperoleh landasan hukum yang kuat
sebagai perikatan bersumber dari undng-undang, Sehingga Bank Indonesia dapat membantu
pemerintah mengatasi krisis. 7. Maka atas dasar rangkaian ketentuan dan
ketetapan peraturan perundangan-undangan dalam penyaluran fasilitas dana talangan dari
aspek hukum pedata yang terjadi antara Bank Indonesia dengan penerima bantuan tersebut
adalah perikatan bersumber undang-undang. 8. Tujuan utama penyelesaian piutang negara adalah
pengembalian uang negara,dengan demikian efektivitas penyelesaian harus ditegakan dengan
Penerbit Jawara
278
nilai, kebenaran keadilan dan kemanfaatan bagi kepentingan negara, dan dengan tujuan
memenangkan ketertiban dibidang pengelolaan piutang negara dalam keadaan krisis. Oleh karena
itu, harus didukung dengan protokol penanggulangan krisis.
9. Meskipun BPPN telah melakukan usaha-usaha yang cukup keras dalam rangka memperoleh
kembali dana BLBI melalaui MSAA, MRNIA, APU, Pengadilan Perdata maupun Pidana dan upaya-
upaya lainnya, ternyata tidak efektif dan tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Maka tidak
ada jalan lain kecuali berpaling pada penegakan hukum represif yang dilakukan dengan cara
sebagai berikut: a. Tindakan hukum pemerintah harus
mengesampingkan asas keseimbangan, maka diperlukan badan khusus yang disesuaikan
dengan ketertiban, memiliki otoritas sub-
ordinasi. b. Pembentukan badan khusus sebagai lembaga
superbody, agar tindakan hukum pemerintah dapat dirasakan bukan sebagai tindakan
represi. Bentuk represi yang paling potensial yang dilakukan oleh lembaga
superbody ini adalah penggunaan kekuasaan yang diberikan
undang-undang untuk penyidikan, penuntutan, dalam upaya melaksanakan
kekuasaan, misalnya untuk menyita barang jaminan atau menahan seseorang, menekan
pihak yang tidak patuh atau menghentikan protes.
c. Implementasi kebijakan pemerintah dengan menyediakan alat-alat pemaksa untuk
melaksanakan tindakan hukum yang dapat memberikan alternatif-alternatif penggunaan
paksaan. Dibentuknya institusi hukum dan prosedur pelayanan. Aturan hukum
Penerbit Jawara
279
memberikan corak otoritas pada kekuasaan. Sedangkan peraturan perundang-undangan
diperlukan sebagai instrumen kebijakan publik pada sasaran tunggal.
d. Tujuan serta kepentingan yang beragam disingkirkan karena program-program publik
mengambil alih pola dimensi tunggal dengan lembaga resmi yang dibentuk sebagai
pemegang otoritas dan keputusannya final dan mengikat
invisibilitas. e. Penegakan hukum lebih mengutamakan pada
sasaran-sasaran purposing yang kongkret
harus lebih dominan dibanding pada orientasi prosedur, karena penyelesaian dengan hukum
otonomorientasi prosedural melalui pengadilan, mengakibatkan ketertiban tidak
lagi dominan dan keadilan menjadi lamban dan tidak efisien.
f. Oleh karena itu, terhadap kondisi yang sulit
atau krisis moneter yang mengakibatkan banyaknya piutang negara macet,
penyelesaian harus membentuk badan khusus yang diberikan kewenangan tunggal,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengandung unsur hukum
materil dan formil.
C. Penegakan Piutang Negara di Masa Depan Pertama penyelesaian piutang negera