Hakikat Matematika Model Teams Games Tournament TGT

22 model TGT. Adapun mengenai kesesuaian model TGT dengan keempat karakteristik siswa SD ini akan dibahas secara detail pada bagian selanjutnya.

2.1.5 Hakikat Matematika

Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau mathenein yang berarti mempelajari. Menurut Subarinah 2006: 1, matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Hal ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep, dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Sementara itu, menurut Prihandoko 2006: 16 matematika bukanlah ilmu yang hanya berdiri untuk menopang dirinya sendiri, melainkan juga berperan banyak dalam perkembangan ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu tersebut seperti ilmu fisika, biologi, kimia, farmasi, kedokteran, ekonomi, sejarah, bahkan bahasa. Berdasarkan pendapat para ahli tentang matematika dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu yang mempelajari konsep, struktur konsep dan hubungan konsep dan struktur yang mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu untuk memajukan daya pikir manusia. Sebagai suatu ilmu yang berguna untuk memajukan daya pikir manusia, matematika perlu dibekalkan kepada siswa SD melalui proses pembelajaran.

2.1.6 Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran matematika, menurut Muhsetyo, dkk. 2009: 1.26 adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Salah satu komponen yang menentukan 23 ketercapaian kompetensi adalah penerapan strategi pembelajaran matematika yang tepat. Namun, penerapan strategi pembelajaran matematika yang tepat saja belumlah cukup untuk mendukung pencapaian kompetensi matematika peserta didik. Berkaitan dengan pembelajaran matematika, penerapan strategi pembelajaran matematika yang tepat tersebut perlu ditunjang dengan pemahaman yang baik akan teori pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Pitajeng 2006: 27, yang menyatakan bahwa para guru SDMI hendaknya memahami teori belajar dan mengajar matematika, agar dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat, sehingga pembelajaran menjadi efektif, bermakna, dan juga menyenangkan. Selain Pitajeng, Greer 2009: 148 juga berpendapat tentang pentingnya menerapkan strategi pembelajaran yang tepat oleh guru dalam pembelajaran matematika, yakni sebagai berikut. The teacher attempts to understand the mathematics, the trajectories, the obstacles, the child’s mind, and the principles of instruction, but in the end must use her own mind to apply all of these ideas in a personally meaningful way to the complex task of teaching in the here and now. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa guru berusaha memahami matematika, konsep, kesukaran, pikiran anak-anak, dan prinsip-prinsip pengajaran, namun pada akhirnya guru harus menggunakan pikirannya sendiri untuk menerapkan semua ide-ide tersebut dengan cara mereka sendiri yang secara pribadi berarti bagi tugas pengajaran yang kompleks dalam arti yang sebenarnya. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran yang tepat, guru perlu memahami pikiran siswanya sesuai dengan karakteristik perkembangan intelektualnya. 24 Beberapa teori belajar dalam pembelajaran matematika akan dibahas secara mendalam pada uraian berikut ini.

2.1.6.1 Teori Belajar Piaget

Teori perkembangan intelektual dari Jean Piaget dalam Muhsetyo, dkk 2009: 1.9 menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap, yaitu a sensorimotorik 0-2 tahun, b pra-operasional 2-7 tahun, c operasional konkret 7-11 tahun, dan d operasional formal ≥11 tahun. Penerapan dari teori Piaget dalam pembelajaran matematika adalah perlunya keterkaitan materi terdahulu dengan bahan pelajaran matematika yang akan diberikan, sehingga lebih memudahkan peserta didik dalam memahami materi baru.

2.1.6.2 Teori Belajar Brunner

Menurut Brunner dalam Pitajeng 2006: 29, anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu: 1 Tahap enaktif, yaitu tahap dimana siswa belajar menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. 2 Tahap ikonik, yaitu tahap dimana anak-anak tidak lagi memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud. 3 Tahap simbolik, yakni tahap ketiga yang merupakan tahap dimana siswa memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. 25

2.1.6.3 Teori Belajar Dienes

Dienes mengemukakan dasar teori belajar matematika dengan bertumpu pada Piaget. Pengembangan dasar teori belajar Dienes diorientasikan pada siswa- siswa agar matematika menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Hal ini berarti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika Pitajeng 2006: 32. Sementara itu, Aisyah, dkk 2007:2-6 menyatakan bahwa teori belajar Dienes menekankan pada tahapan permainan, yang berarti pembelajaran matematika diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar sehingga proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Dengan kata lain bahwa pembelajaran dengan model yang memuat unsur permainan dapat menjadikan hasil belajar menjadi lebih bermakna dan membekas dalam ingatan.

2.1.6.4 Vygotsky

Teori Vygotsky berusaha mengembangkan model konstruktivistik dari belajar mandiri seperti yang dikemukakan Piaget menjadi belajar kelompok. Menurut Vygotsky dalam Muhsetyo, dkk. 2009: 1.11, dalam membangun pengetahuannya sendiri, siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang beranekaragam dengan guru sebagai fasilitator. Implikasi dari teori Vygotsky dalam pembelajaran matematika antara lain guru dapat menerapkan 26 diskusi kelompok kecil beranggotakan 3-4 orang untuk mengerjakan tugas kelompok sebagai latihan. Dengan berpedoman pada teori pembelajaran matematika diatas, guru dapat menerapkan strategi yang tepat untuk membelajarkan matematika di SD. Dalam penelitian ini, strategi pembelajaran matematika perlu mengacu pada teori pembelajaran matematika seperti yang telah dikemukakan diatas, yakni guru ataupun peneliti perlu menyampaikan materi matematika dengan melihat keterkaitan materi terdahulu dengan bahan pelajaran matematika yang akan diberikan. Selain itu, untuk menjembatani pemikiran siswa yang konkret dengan materi matematika yang abstrak, guru menggunakan media pendukung dalam pembelajaran berupa benda-benda nyata, seperti kelereng, manik-manik, pensil, buku, dan peta. Adapun sebagai variasi dalam pembelajarannya, guru dapat menerapkan model permainan dengan membagi kelas kedalam beberapa kelompok siswa, sehingga tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan. Dengan demikian, strategi yang diterapkan guru diharapkan dapat membantu siswa mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran matematika.

2.1.7 Materi Pecahan dalam Perbandingan dan Skala

Materi yang digunakan dalam penelitian adalah materi Pecahan dalam Perbandingan dan Skala. Materi ini terdapat di kelas V; semester 2; Standar Kompetensi 1 : Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah; Kompetensi Dasar 4: Menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan alokasi waktu 8 jam pelajaran. Materi tersebut memuat tiga materi pokok, yang akan dijelaskan sebagai berikut. 27

2.1.7.1 Menjelaskan Arti Perbandingan

Menurut Subarinah 2006: 79, pada prinsipnya pecahan digunakan untuk menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama. Pecahan merupakan bagian-bagian yang sama dari keseluruhan. Suatu pecahan dapat ditulis , di mana a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Penulisan bentuk pecahan tersebut juga dapat diartikan a berbanding b. Dengan demikian besar bilangan untuk pembilang dan penyebut dapat kita bandingkan. Ini berarti pecahan mempunyai arti perbandingan. Contoh : Jumlah kelereng A ada 36 butir dan kelereng B ada 20 butir. Bagaimana perbandingan kelereng A dan B? Jawab: Kelereng A : B = 36 : 20 = 9 : 5 Perbandingan harus dinyatakan dengan bilangan yang sederhana. Oleh karena itu, 36 : 20 disederhanakan menjadi 9 : 5.

2.1.7.2 Skala sebagai Perbandingan

Skala peta menyatakan perbandingan antara ukuran gambar dan ukuran sebenarnya atau sesungguhnya. Jika skala = S, jarak peta = Jp, dan jarak sebenarnya = Jb, maka: Jb = Jp x S; S = Jp : Jb; Jp = Jb : S. Contoh : Skala sebuah peta 1 : 1.500.000. Jarak kota A dan B pada peta 4 cm. Berapa kilometer jarak sebenarnya antara kota A dan B? 28 Jawab: Jarak sebenarnya antara kota A dan B= 1.500.00 x 4 cm = 6.000.000 cm = 60 km.

2.1.7.3 Melakukan Operasi Hitung dengan Menggunakan Perbandingan dan

Skala Contoh : Sebidang tanah kelilingnya 240 m. Lebar tanah itu dari panjangnya. Berapa meter persegi luas tanah itu? Jawab: Diketahui: Keliling = 240 m; Lebar = x panjang Ditanyakan: Berapa luas tanah itu? Penyelesaian: Panjang + lebar = x 240 m = 120 m Lebar = x panjang Lebar : panjang = 5 : 7 , jumlah 12 bagian Lebar = x 120 m = 50 m Panjang = x 120 m = 70 m Jadi, luas tanah = 70 m x 50 m = 3.500 m 2 . 2.1.8 Model Pembelajaran Dalam sebuah pembelajaran, pola interaksi yang terjadi didalamnya bergantung pada model pembelajaran yang diterapkan. Joyce Weil 1980 dalam Rusman 2011: 133 menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu 29 rencana atau pola yang digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas. Sementara itu, menurut Suprijono 2012: 46 model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Dari kedua pengertian tentang model pembelajaran menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, yang berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. 2.1.9 Model Konvensional dan Model Cooperative Learning Saat ini, pembelajaran yang dilakukan oleh guru terutama dalam pembelajaran matematika umumnya adalah pembelajaran dengan model konvensional. Pembelajaran ini memiliki ciri-ciri antara lain: berpusat pada guru teacher centered, menggunakan metode ceramah, drill, dan latihan-latihan. Seiring dengan berkembangnya strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru teacher centered menjadi berpusat pada peserta didik student centered maka berkembang pula cara pandang terhadap bagaimana peserta didik belajar memperoleh pengetahuan Muhsetyo 2011: 1.7. Siswa bukan lagi diibaratkan sebagai botol kosong yang diisi air oleh guru, melainkan siswa membangun sendiri pengetahuannya berdasarkan dari pengalaman yang dilaluinya selama proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran dengan model 30 konvensional perlu digantikan dengan model yang lebih berpusat pada siswa, salah satunya yaitu dengan model cooperative learning. Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran di mana siswa bekerja sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar Slavin 2013: 32. Sementara itu, Artz dan Newman 1990 dalam Huda 2013: 32 mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai ”small group of learners working together as a team to solve a problem, complete a task, or accomplish a common goal ” yang artinya kelompok kecil pembelajar siswa yang bekerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama. Berkaitan dengan pembelajaran kooperatif, McWey, Henderson, dan Piercy 2006: 252 memberikan definisi pembelajaran kooperatif sebagai berikut: “Cooperative Learning CL has been identified as an effective pedagogical strategy that promotes a variety of positive cognitive, affective, and social outcomes ”. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pembelajaran kooperatif diidentifikasikan sebagai strategi pedagogis yang efektif yang mempromosikan berbagai hasil pengetahuan, sikap, dan sosial yang positif. Jadi, pembelajaran kooperatif adalah sebuah model pembelajaran yang menuntut kerjasama siswa di dalam kelompok belajar mereka untuk saling membantu didalam belajar, sehingga siswa dapat menambah wawasan pengetahuannya sekaligus juga menumbuhkan sikap sosial yang positif. Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok dalam model konvensional, sebab ada unsur dasar pembelajaran 31 kooperatif yang membedakannya dengan pembelajaran konvensional. Berikut ini adalah tabel perbedaan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran kooperatif, seperti yang dikutip dari Hamdani 2011: 166. Tabel 2.1. Perbedaan Pembelajaran Konvensional dan Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Kooperatif Memfokuskan pada prestasi individu. Setiap siswa akan saling berkompetisi dan berprinsip, “Jika aku tidak sukses, aku akan kalah dan kehilangan”. Penghargaan berupa prestasi individu. Memfokuskan pada prestasi kelompok. Setiap anggota kelompok percaya bahwa kesuksesan tidak dapat diraih tanpa kesuksesan kelompok, “Jika kamu menang, aku menang”. Penghargaan kelompok sebagai prestasi masing-masing anggota kelompok. Dalam proses belajar, hanya sedikit terjadi proses diskusi antarsiswa. Sesama anggota kelompok akan saling membantu, mendorong, dan saling memotivasi dalam proses belajar. Tanggung jawab yang ada berupa tanggung jawab individu. Tanggungjawab yang ada berupa tanggungjawab individu dan tanggungjawab kelompok. Semua anggota kelompok akan saling bertanggungjawab demi tercapainya kerja kelompok yang optimal. Kemampuan sosial diabaikan Kemampuan teamwork adalah suatu tuntutan. Seorang siswa hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan semua tugasnya. Sikap anggota akan mengharapkan adanya suatu kerjasama. Kepemimpinan menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Tidak ada proses tentang cara untuk meningkatkan kualitas kerja. Setiap anggota akan memberikan prosedur untuk menganalisis cara terbaik supaya kelompoknya menjadi lebih baik, menggunakan kemampuan sosial secara tepat, dan memperbaiki kualitas kerja kelompok mereka. Pembentukan kelompok tidak diperhatikan tidak ada, yang ada hanya berupa kelompok besar, yaitu kelas. Guru membentuk kelompok- kelompok yang heterogen. Setiap kelompok terdiri atas anggota kelompok kecil. Guru akan mengobservasi dan melakukan intervensi jika memang diperlukan. 32 Model pembelajaran kooperatif mengandung lima unsur yang harus diterapkan untuk mencapai hasil maksimal Suprijono 2012: 58. Kelima unsur tersebut, yaitu: 1 Positive Interdependensi saling ketergantungan positif 2 Personal Responbility tanggung jawab perseorangan 3 Face to face promotive interaction interaksi promotif 4 Interpersonal Skill komunikasi antar anggota 5 Group Processing pemrosesan kelompok Jadi, pembelajaran kooperatif bergantung pada efektivitas kelompok-kelompok siswa tersebut. Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman-teman satu anggota untuk mempelajarinya juga. Konsekuensi positif dari pembelajaran ini adalah siswa diberi kebebasan untuk terlibat secara aktif dalam kelompok mereka. Dalam lingkungan pembelajaran kooperatif, siswa harus menjadi partisipan aktif dan melalui kelompoknya dapat membangun komunitas pembelajaran learning comunity yang saling membantu satu sama lain.

2.1.10 Model Teams Games Tournament TGT

Model TGT dikembangkan oleh Slavin dan rekan-rekannya. Menurut Rusman 2011: 224, dalam model TGT, siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing- masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. 33 Menurut Slavin 2009: 166-167, terdapat lima komponen utama dalam pelaksanaan model TGT, yaitu: 1 Presentasi kelas atau pengamatan langsung, yaitu guru menjelaskan materi pelajaran dengan pengajaran langsung atau diskusi, ataupun presentasi audiovisual. Guru membagi kelas menjadi tim-tim siswa yang beranggotakan tiga sampai empat siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik intelegensi dan jenis kelamin. Guru menyebutkan konsep-konsep yang harus dipelajari oleh semua tim. Presentasi kelas ini difokuskan pada unit TGT. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian penuh selama presentasi kelas, agar dapat menjawab soal-soal pada saat kompetisi dalam permainan. 2 Belajar kelompok team study, yaitu tim yang telah dibentuk oleh guru berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Pembelajaran tim sering melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan. Pada model TGT ini, poin penting yang perlu ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. Tim ini harus memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, agar nantinya dapat menjawab soal dengan baik pada saat permainan. 3 Permainan game, yaitu permainan dalam model TGT yang memang dirancang untuk menguji pengetahuan yang dicapai siswa dalam bentuk 34 pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi dalam presentasi kelas dan belajar kelompok. Adapun perangkat permainan dalam model TGT antara lain: kartu bernomor, lembar permainan, lembar jawaban, dan lembar skor penilaian. 4 Turnamen tournament, yaitu sebuah struktur dimana permainan berlangsung, biasanya diadakan pada akhir pembelajaran atau akhir minggu, setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok. Siswa melaksanakan tounament dalam beberapa meja yang berbeda tingkatannya. Setiap meja dimainkan oleh 4-5 anak dari tim yang berbeda. Kompetisi yang seimbang ini memungkinkan para siswa dari semua tingkat kinerja sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka, jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah tournament selesai maka dilakukan penilaian. 5 Team recognize penghargaan kelompok, yaitu kegiatan akhir dari pembelajaran model TGT. Dari hasil tournament diatas, para siswa melakukan perhitungan skor secara mandiri lalu hasilnya bisa diserahkan pada guru. Guru kemudian mengumumkan skor perolehan tim. Tim akan mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team ” apabila rata-rata mencapai 40-45, dan “Good Team” apabila rata- ratanya 30-40. Tim yang memenuhi kriteria skor tersebut akan mendapat sertifikat penghargaan dari guru. Secara umum, komponen utama dalam pelaksanaan model TGT diatas merupakan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran model TGT. Namun, 35 untuk lebih memperjelas lagi mengenai pelaksanaan pembelajaran model TGT, peneliti paparkan langkah-langkah penerapannya dalam suatu pembelajaran sebagai berikut: 1 Guru membentuk kelompok siswa secara heterogen dengan jumlah anggota 4 hingga 5 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan mekanisme kegiatan. 2 Guru dan siswa menyiapkan meja tournament secukupnya misalkan 7 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang memiliki kemampuan yang setara. Meja tournament 1 diisi oleh siswa dengan kemampuan tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja terakhir di tempati oleh siswa yang memiliki kemampuan terendah dari tiap kelompok. Penentuan siapa siswa yang duduk pada meja tertentu sesuai dengan kesepakatan kelompok, namun tetap dengan pengarahan guru. 3 Dalam tournament, seorang siswa mengambil satu kartu bernomor dan satu siswa lagi memegang lembar jawaban, sementara lembar permainan yang berisikan soal-soal tetap berada ditengah. Siswa yang memegang kartu bernomor harus mengerjakan soal sesuai dengan nomor yang tertera pada kartu tersebut, dan jika jawabannya salah maka soal secara otomatis akan dilempar pada siswa selanjutnya yang disebut penantang. Apabila jawabannya benar dan sesuai dengan lembar jawaban maka kartu tersebut dapat disimpan oleh siswa dan sekaligus mendapatkan poin. Begitu seterusnya hingga waktu yang ditentukan habis. 36 4 Setelah tournament selesai maka dilakukan penilaian. Tiap anggota kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing kemudian menghitung perolehan poin yang didapat dari tiap anggota kelompok kemudian diakumulasikan. 5 Kelompok yang memperoleh poin tertinggi akan mendapat penghargaan berupa predikat great team, best team dan good team. 6 Pada pertemuan berikutnya guru melakukan bumping yaitu pergeseran tempat duduk pada saat tournament. Anggota kelompok yang pada saat turnamen mendapat poin terbanyak akan naik tingkat, yaitu berpindah ke meja yang lebih tinggi tingkatannya. Begitu pula sebaliknya, Anggota kelompok yang pada saat turnamen mendapat poin terendah berpindah ke meja yang lebih rendah tingkatannya. Adapun untuk menghitung poin-poin turnamen dalam model TGT ini, Slavin 2009: 175 memberikan pedoman sebagai berikut: 1 Untuk permainan dengan empat pemain Tabel 2.2. Pedoman Penskoran Tournament untuk Empat Pemain Pemain Tidak ada yang seri Seri nilai tertinggi Seri nilai tengah Seri nilai rendah Seri nilai teringgi 3- macam Seri nilai terendah 3- macam Seri 4- macam Seri nilai tertinggi dan terendah Peraih skor teringgi 60 poin 50 60 60 50 60 40 50 Peraih skor tengah atas 40 poin 50 40 40 50 30 40 50 37 Peraih skor tengah bawah 30 poin 30 40 30 50 30 40 30 Peraih skor terendah 20 poin 20 20 30 20 30 40 30 2 Untuk permainan dengan tiga pemain Tabel 2.3. Pedoman Penskoran Tournament untuk Tiga Pemain pemain Tidak ada yang seri Seri nilai tertinggi Seri nilai terendah Seri 3-macam Peraih skor tertinggi 60 poin 50 60 40 Peraih skor tengah 40 poin 50 30 40 Peraih skor rendah 20 poin 20 30 40 Model TGT ini sangat relevan dengan karakteristik siswa SD yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Jika dipandang dari substansinya, model TGT sangat sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa SD, karena model ini mengandung unsur game akademik yang menuntut adanya kerjasama timkelompok siswa. Dalam game akademik tersebut tentunya siswa akan aktif, baik fisik maupun mentalnya, karena siswa akan bergerak ke meja turnamen lalu kemudian mengerjakan soal. Disamping itu, siswa juga mengalami sendiri suasana kompetisi yang mengharuskannya mengerjakan sendiri soal yang terdapat dalam game akademik. Ini akan memacu siswa untuk terus belajar agar dapat mengerjakan soal secara mandiri dengan benar. Tentunya paparan tersebut sesuai dengan karakteristik siswa SD seperti yang dinyatakan dalam Sumantri 2011: 38 6.3 yaitu senang bermain, selalu bergerak, bekerja atau bermain dalam kelompok, dan senantiasa ingin melaksanakan atau merasakan sendiri.

2.1.11 Penerapan Model TGT dalam Pembelajaran

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs Islamiyah Ciputat

1 40 0

KEEFEKTIFAN MODEL NUMBER HEADS TOGETHER TERHADAP HASIL BELAJAR MEMBACA PEMAHAMAN PADA SISWA KELAS V SD NEGERI DEBONG KIDUL KOTA TEGAL

0 16 287

KEEFEKTIFAN PENERAPAN MODEL CLIS (CHILDREN LEARNING IN SCIENCE) TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATERI PERUBAHAN SIFAT BENDA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DEBONG TENGAH 1 KOTA TEGAL

0 15 402

PENINGKATAN MINAT DAN HASIL BELAJAR PECAHAN MELALUI PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KETUREN KOTA TEGAL

1 7 184

Keefektifan Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Materi Bangun Ruang pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Pagerbarang 03 Kabupaten Tegal

0 19 373

KEEFEKTIFAN MODEL QUANTUM TEACHING TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR BANGUN DATAR PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI TUNON 2 KOTA TEGAL

0 7 327

KEEFEKTIFAN STRATEGI PRACTICE REHEARSAL PAIRS TERHADAP HASIL BELAJAR SIFAT SIFAT CAHAYA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DEBONG TENGAH 1 DAN 3 KOTA TEGAL

0 33 256

KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN “TEAMS GAMES TOURNAMENT” TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V MATERI CAHAYA DAN SIFATNYA DI MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI PECABEAN KABUPATEN TEGAL

0 11 186

KEEFEKTIFAN PENERAPAN MODEL TEBAK KATA TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR PKn MATERI KOMPONEN PEMERINTAHAN PUSAT DI INDONESIA KELAS IV SD NEGERI DEBONG TENGAH 1, 2 DAN 3 KOTA TEGAL

0 13 230

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR CERPEN KELAS V SD NEGERI EJOBONG KABUPATEN PURBALINGGA

0 0 71