Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1 1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, perlu adanya suatu usaha yang disebut pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional memiliki fungsi dan tujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, maka kegiatan pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur sebagaimana yang tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 Pasal 13 ayat 1 yang secara lengkap berbunyi: “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Jalur pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang berprogram, berstruktur dan berlangsung dipersekolahan secara berjenjang Munib 2009: 76. Jalur pendidikan formal terdiri atas jenjang 2 pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Salah satu bentuk pendidikan formal di jenjang pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar SD. Secara teknis, pendidikan SD dapat pula didefinisikan sebagai proses membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik yang berusia antara 6-12 tahun untuk memiliki kemampuan dasar dalam aspek intelektual, sosial, dan personal yang terintegrasi dan sesuai dengan karakteristik perkembangannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan SD adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam aspek intelektual, sosial, dan personal yang paling mendasar sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan di jenjang selanjutnya Taufiq 2012: 1.7-1.8. Dengan demikian, materi pelajaran yang ada pada satuan pendidikan SD ini adalah materi pelajaran dasar sesuai dengan karakteristik perkembangan siswanya. Salah satu mata pelajaran yang terdapat pada kurikulum pendidikan SD adalah matematika. Menurut Subarinah 2006: 1, matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Salah satu topik dalam matematika ialah pecahan. Depdikbud 1999 dalam Heruman 2012: 43 menyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu topik yang sulit diajarkan. Kesulitan itu terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru. Pembelajaran yang kurang bermakna lebih mengedepankan hafalan dari pada pengertian dan perbuatan sehingga hasil belajar menjadi kurang melekat dalam pola pikir dan pola tindakan siswa. Pembelajaran yang kurang bermakna berpengaruh pada rendahnya motivasi belajar siswa. Rendahnya motivasi belajar siswa ini dapat mempengaruhi proses belajar siswa, sehingga hasil belajar siswa menjadi kurang optimal. Hal ini perlu mendapat 3 perhatian serius dari guru agar dapat menerapkan pembelajaran yang lebih bermakna, yakni dengan melibatkan siswa secara langsung dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi peneliti di Kelas V SD Negeri Debong Tengah 3 Kota Tegal, strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru masih tergolong kurang bermakna, sebab menggunakan model konvensional. Dalam pembelajaran tersebut menggunakan metode ekspositori, latihan soal atau drill dan pemberian tugas. Siswa mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru, kemudian mengerjakan soal-soal latihan yang berhubungan dengan materi pecahan. Penyajian materi matematika oleh guru belum didukung dengan penggunaan media pembelajaran yang menarik. Pada akhir pembelajaran, siswa diberikan tugas yang harus sudah selesai dikerjakan pada pertemuan berikutnya. Hingga pembelajaran berakhir, tiada siswa yang memberanikan diri untuk menanyakan hal-hal yang mungkin belum ia pahami, walaupun terkadang guru telah mempersilahkannya. Dengan metode pembelajaran seperti demikian, keaktifan siswa dalam bertanya masih sangat kurang, sekaligus juga menandakan bahwa pembelajaran tersebut masih didominasi oleh guru. Dominasi guru di dalam kelas juga terlihat dari pola interaksi di dalam kelas. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran berlangsung satu arah, yakni dari guru kepada siswa yang tampak dari corak pembelajaran klasikal. Sementara, interaksi antar siswa tidak terjadi karena guru tidak menerapkan metode diskusi, ataupun metode lain yang menghendaki adanya pembagian kelompok belajar. Praktis, siswa benar-benar berperan sebagai penerima informasi yang pasif. Disisi lain, sebenarnya guru telah memberikan stimulus kepada siswa untuk turut aktif dalam pembelajaran, dengan cara meminta siswa mengerjakan 4 soal-soal di depan kelas. Akan tetapi, siswa enggan untuk berkontribusi kecuali ditunjuk oleh guru, dan itu saja belum tentu siswa dapat mengerjakan soal dengan benar. Sikap siswa yang enggan untuk berkontribusi dalam pembelajaran tersebut menunjukkan masih kurangnya motivasi dalam diri siswa dalam pembelajaran. Hasil belajar siswa juga belum mencapai kriteria yang diharapkan, ditunjukkan dengan nilai ulangan harian matematika siswa kelas V SD Negeri Debong Tengah 3 pada materi pecahan tahun 2012, dimana dari 35 siswa, 14 diantaranya mendapat nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal KKM. Berdasarkan hasil observasi dan dokumentasi, peneliti berkesimpulan bahwa proses pembelajaran tersebut masih belum bermakna, serta belum berlangsung secara kreatif, inspiratif, menyenangkan dan memotivasi peserta didik, seperti yang diamanatkan dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses Pendidikan, yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Hal ini menguatkan argumen bahwa guru perlu melakukan inovasi pembelajaran agar lebih bermakna, sehingga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Menurut Pitajeng 2006: 3, upaya yang dapat dilakukan guru agar matematika dapat dibelajarkan dengan baik dan lebih bermakna ialah melalui penerapan strategi pembelajaran yang tepat. Seiring dengan berkembangnya strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru teacher centered menjadi berpusat pada peserta didik student centered maka berkembang pula cara 5 pandang terhadap bagaimana peserta didik belajar memperoleh pengetahuan Muhsetyo 2011: 1.7. Berdasarkan pandangan konstruktivisme, peserta didik adalah mahluk hidup yang mempunyai kemampuan berpikir, yang dapat membangun mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka dari berbagai sumber belajar di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut tidak dipindahkan dari guru ke peserta didik, melainkan peserta didik sendiri yang secara aktif membangun pengetahuannya konstruktif. Konstruktivisme merupakan fondasi utama pembelajaran aktif, inovatif, efektif, dan menyenangkan Suprijono 2012: 78. Bertolak pada asumsi ini, maka guru perlu merancang strategi pembelajaran yang bercorak konstruktivisme. Salah satu dari strategi pembelajaran matematika yang konstruktivistik dan dianggap sesuai pada saat ini yaitu cooperative learning Muhsetyo 2011: 1.7. Slavin 2013: 32, menjelaskan bahwa cooperative learning mengacu pada metode pengajaran di mana siswa bekerja sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Cooperative learning bermanfaat untuk meningkatkan motivasi dan ketekunan siswa, serta membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya. Slavin 2013: 264. Salah satu tipe dari cooperative learning adalah model pembelajaran Teams Games Tournament TGT. Model TGT merupakan strategi pembelajaran inovatif yang diduga tepat untuk pembelajaran matematika. Model TGT dikembangkan oleh Slavin dan rekan-rekannya. Sesuai dengan namanya, model TGT adalah model pembelajaran yang dirancang dalam bentuk permainan yang menuntut kerjasama kelompok siswa. Menurut Slavin 2009: 166-167, model TGT mengandung lima komponen utama, yaitu: 1 Presentasi kelas atau pengamatan langsung, yaitu penjelasan 6 materi pelajaran oleh guru dan diakhiri dengan pembagian kelompok; 2 Belajar kelompok team study, yaitu tim yang telah dibentuk oleh guru berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Tim ini harus memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, agar nantinya dapat menjawab soal dengan baik pada saat permainan; 3 Permainan game, yaitu permainan dalam model TGT yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang dicapai siswa dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi dalam presentasi kelas dan belajar kelompok; 4 Turnamen tournament, yaitu sebuah struktur dimana permainan berlangsung, biasanya diadakan pada akhir pembelajaran atau akhir minggu. Setelah tournament selesai maka dilakukan penilaian; 5 Team recognize penghargaan kelompok, yaitu kegiatan akhir dari pembelajaran model TGT. Dari hasil tournament diatas, para siswa akan mendapat sertifikat penghargaan dari guru berdasarkan skor yang mereka peroleh dalam tim. Jika dipandang dari substansinya, model TGT sangat sesuai dengan teori belajar Dienes. Menurut Dienes dalam Pitajeng 2006: 32 objek-objek kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Sementara itu, Aisyah, dkk 2007:2-6 menyatakan bahwa teori belajar Dienes menekankan pada tahapan permainan, yang berarti pembelajaran matematika diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar sehingga proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Dengan kata lain bahwa pembelajaran dengan model yang memuat unsur permainan dapat menjadikan hasil belajar menjadi lebih bermakna dan membekas dalam ingatan. 7 Selain sesuai dengan teori belajar Dienes, model TGT juga sangat sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa SD. Model ini mengandung unsur game akademik yang menuntut adanya kerjasama timkelompok siswa. Dalam game akademik tersebut tentunya siswa akan aktif, baik fisik maupun mentalnya, karena siswa akan bergerak ke meja turnamen lalu kemudian mengerjakan soal. Disamping itu, siswa juga mengalami sendiri suasana kompetisi yang mengharuskannya mengerjakan sendiri soal yang terdapat dalam game akademik. Hal ini akan memacu siswa untuk terus belajar agar dapat mengerjakan soal secara mandiri dengan benar. Tentunya hal tersebut sesuai dengan karakteristik siswa SD seperti yang dinyatakan dalam Sumantri 2011: 6.3 yaitu senang bermain, selalu bergerak, bekerja atau bermain dalam kelompok, dan senantiasa ingin melaksanakan atau merasakan sendiri. Dengan penerapan model TGT, diharapkan motivasi siswa akan semakin tumbuh dalam mengikuti pembelajaran matematika, sekaligus dapat meningkatkan hasil belajar matematikanya. Model TGT merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat dijadikan alternatif variasi model pembelajaran matematika. Dari uraian tersebut, peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui keefektifan penerapan model TGT terhadap motivasi dan hasil belajar matematika materi pecahan dalam perbandingan dan skala pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Debong Tengah 1, 2, 3 Kota Tegal.

1.2 Identifikasi

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs Islamiyah Ciputat

1 40 0

KEEFEKTIFAN MODEL NUMBER HEADS TOGETHER TERHADAP HASIL BELAJAR MEMBACA PEMAHAMAN PADA SISWA KELAS V SD NEGERI DEBONG KIDUL KOTA TEGAL

0 16 287

KEEFEKTIFAN PENERAPAN MODEL CLIS (CHILDREN LEARNING IN SCIENCE) TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATERI PERUBAHAN SIFAT BENDA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DEBONG TENGAH 1 KOTA TEGAL

0 15 402

PENINGKATAN MINAT DAN HASIL BELAJAR PECAHAN MELALUI PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KETUREN KOTA TEGAL

1 7 184

Keefektifan Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Materi Bangun Ruang pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Pagerbarang 03 Kabupaten Tegal

0 19 373

KEEFEKTIFAN MODEL QUANTUM TEACHING TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR BANGUN DATAR PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI TUNON 2 KOTA TEGAL

0 7 327

KEEFEKTIFAN STRATEGI PRACTICE REHEARSAL PAIRS TERHADAP HASIL BELAJAR SIFAT SIFAT CAHAYA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DEBONG TENGAH 1 DAN 3 KOTA TEGAL

0 33 256

KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN “TEAMS GAMES TOURNAMENT” TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V MATERI CAHAYA DAN SIFATNYA DI MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI PECABEAN KABUPATEN TEGAL

0 11 186

KEEFEKTIFAN PENERAPAN MODEL TEBAK KATA TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR PKn MATERI KOMPONEN PEMERINTAHAN PUSAT DI INDONESIA KELAS IV SD NEGERI DEBONG TENGAH 1, 2 DAN 3 KOTA TEGAL

0 13 230

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR CERPEN KELAS V SD NEGERI EJOBONG KABUPATEN PURBALINGGA

0 0 71