modal untuk meningkatkan produksi dan teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan
yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita dan anak-anak. Oleh karena itu di kebanyakan negara berke mbang wanita dan anak-anak secara
kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua, da n karenanya dapat dibayar murah, sehingga pemilik modal lebih menyukai mempekerjakan mereka sebagai
buruh dengan upah yang rendah. Pemikiran Rodgers dan Standing di atas dapat memberikan pijakan unt uk
memahami persoalan atau kondisi pekerja anak di perkebunan dalam konstelasi perkembangan perekonomian perusahaan berkaitan dengan proses rasionalisasi
sebagai upaya meningkatkan efisiensi perusahaan. Akan tetapi, penelitian ini akan diarahkan dengan menitikberatkan aspek kondisi pekerja anak, baik dirinya
pribadi maupun latar belakang atau kondisi rumahtangganya. Walaupun demikian, aspek yang dikemukakan Rodgers dan Standing di atas tidak dapat diabaikan
sebagai struktur makro yang membingkai fenomena pe kerja anak di perkebunan. Hal ini disebabkan keberadaan komoditi perkebunan yang langsung berhubungan
dengan pasar dunia, sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi komunitas perkebunan ini dengan pasar internasional.
2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak
Diskursus tentang batasan usia anak dan pekerjaa n apa yang layak dilakukan seorang anak hingga kini masih menjadi permasalahan yang belum
tuntas. Setidaknya, hal ini diakibatkan keragaman batasan umur anak dalam Undang-Undang dan peraturan yang berlaku di suatu negara dan juga dipengaruhi
persepsi yang berbeda serta tradisi budaya yang berkembang pada komunitas tertentu. Perdebatan mengenai batasan pekerja anak mendapat titik terang, setelah
disahkannya Konvensi Hak Anak KHA pada tahun 1990. Konsepsi anak dalam KHA ditetapkan sebagai seseorang yang berusia 18 tahun, kecuali apabila
peraturan perundang-undangan suatu negara menetapkan secara hukum bahwa usia dewasa lebih muda dari 18 tahun.
Untuk konteks Indonesia, terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan batasan usia anak. Misalnya, UU No. 12 tahun 1948, mendefenisikan
anak adalah laki-laki atau perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah. Selanjutnya, dalam UU Kesejahteraan anak No. 4 tahun 1979 defisini anak adalah
seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan lain dapat dilihat pada UU Pengadilan anak No. 3 tahun 1977 yang menetapkan
anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Dalam Surat Edaran menteri Tenaga Kerja No. SE-12MBW1997, anak adalah seseorang yang belum
mencapai usia 18 tahun. Sementara itu, UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Memperhatikan batasan-batasan tersebut, anak dapat didefenisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, batasan anak
dalam penelitian ini adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat
1996 Irwanto, 1999 memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10 – 14 tahun yang melakukan kegiatan untuk
memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal satu jam dalam seminggu. Kendati demikian, BPS 1993 meletakkan kategori anak yang berstatus sebagai
pekerja anak tak dibayar, misalnya membantu orang tua menjaga warung, sebagai pekerja anak. Dari kondisi ini, Badan Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996
menjelaskan bahwa pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak child labour. Buruh anak diidentifikasikan sebagai anak yang bekerja dalam situasi
yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif. Konsepsi tersebut tidak mengabaikan bahwa pekerja anak
kadangkala juga berada pada lingkungan kerja yang membahayakan. Akibatnya, batasan antara pekerja anak dengan buruh anak menjadi kabur.
Batasan lainnya dapat ditemukan pada Horiushi Sofian et al. 1999 yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti
pekerja pada umumnya yang bertujuan membiayai diri dan keluarganya. Sementara itu, Tjandraningsih 1995 melihat pekerja anak sebagai anak-anak
yang melakukan pekerjaan rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Berdasarkan
kedua batasan tersebut dapat dilihat bahwa aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Konsepsi pekerja anak yang digunakan dalam penelitian ini
sedikit banyak mengikuti batasan yang dikemukakan oleh Sofian dan Tjandraningsih di atas dengan mempertimbangkan konsep anak dalam batasan
yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian pekerja anak di perkebunan merupakan anak yang berusia dibawah 18 tahun yang melakukan
pekerjaan secara rutin dengan mendapatkan upah maupun sebagai pekerja keluarga yang tidak diupah. Kecenderungan yang terjadi pada pekerja anak
perkebunan tembakau Deli adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, namun pekerjaan yang mereka lakukan cenderung eksploitatif karena diiringi
dengan tekanan dari orang tua untuk mengejar target kerja borongan. Berbagai penelitian mengenai pekerja anak menunjukkan kemiskinan
secara umum dipandang sebagai faktor utama penyebab anak bekerja. Studi yang dilakukan White 1984 di lingkungan rumahtangga desa di Jawa membuktikan
bahwa anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pekerja keluarga atau bekerja dalam usaha lain. Sementara itu, Irwanto
et al. 1995, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya pekerja anak, antara lain; tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, tingkat
pendapatan keluarga, dan kondisi lingkungan. Dengan demikian faktor penyebab keterlibatan anak-anak bekerja umumnya lebih bersifat struktural. Artinya,
pekerja anak muncul bukan hanya sekedar faktor kemiskinan, melainkan karena keluarga mengalami apa yang disebut Chambers 1987 sebagai ”perangkap
kemiskinan”, yang meliputi kemiskinan itu sendiri, kerentanan, ketidakberdayaan, keterisoliran, dan kelemahan jasmani.
Untuk menghindari kemiskinan penduduk desa biasanya melakukan strategi sustainable livelihood yaitu strategi mempertahankan hidup dan
keberlanjutan hidupnya dengan memanfaatkan segala kemampuan, pengetahuan, akses dan tuntutan serta kekayaan yang dimiliki secara lokal maupun global dan
terus meningkatkan kemampuan dirinya dengan bekerja sama dengan orang lain, berinovasi, berkompetisi, agar dapat bertahan dalam kondisi berbagai perubahan
dan tercapai suatu keadilan Chambers, 1992. Kaitannya dengan pekerja anak pada rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli, konsep ini dapat digunakan
untuk mengkaji sejauh mana sebuah keluarga mengerahkan segala kemampuan keluarganya seperti mengerahkan seluruh tenaga yang ada termasuk wanita dan
anak-anak, orientasi nilai budaya, pengetahuannya, serta asset yang dimiliki keluarga untuk tetap bertahan di komunitas perkebunan.
Praktek mempekerjakan anak di perkebunan hingga kini terus berkembang, meskipun pelibatan anak bekerja berbeda-beda sesuai dengan
komoditas yang dikembangkan. Di perkebunan besar meskipun ada peraturan mengenai pembatasan umur terendah bagi buruh perkebunan, namun sistem
produksi perkebunan telah membuka kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam proses produksi perkebunan. Struktur perkebunan yang ditandai dengan
pemakaian sistem kerja borongan dan target, maka orang tua terpaksa melibatkan tenaga kerja anak. Kartodirdjo dan Suryo 1991 memperlihatkan bahwa buruh
perkebunan berada dalam kondisi hidup yang serba berat. Secara fisik mereka dieksploitasi, memperoleh upah minimal, dan berada pada taraf hidup yang sangat
rendah. Keadaan tersebut memaksa buruh mencari tambahan penghasilan dan mengerahkan tenaga anak-anak.
Lebih lanjut Sairin 1994 mengungkapkan bahwa keterlibatan anak dalam produksi perkebunan juga tidak terlepas dari konteks masyarakat perkebunan
sebagai suatu komunitas yang memiliki sistem ekonomi dan sosial tersendiri yang memiliki perbedaan dengan sistem yang berlaku dalam masyarakat luas
7
. Status pekerjaan seseorang berkait langsung dengan status sosialnya dalam masyarakat
ataupun sebaliknya. Mobilitas sosial sangat jarang terjadi dan buruh perkebunan biasanya menempati kelas paling bawah, sehingga kehidupan mereka tidak
berubah dari bayang-bayang kemiskinan. Keadaan ini pada akhirnya berdampak luas pada strategi buruh perkebunan untuk meningkatkan pendapatan kerluarga
yang dalam banyak kasus mempunyai sasaran minimal untuk mempertahankan hidup. Dalam hal ini rumahtangga buruh perkebunan melakukan strategi bertahan
hidup melalui optimalisasi peranan ekonomi dari rumahtangga de ngan melibatkan anak-anak terjun ke pasar tenaga kerja Sukamdi dan Daryati, 1997.
Muntiyah dan Sukamdi 1997 menegaskan bahwa ada dua hal yang mempengaruhi pemanfaatan pekerja anak. Pertama, penghasilan yang diperoleh
oleh kepala keluarga, baik penghas ilan pokok maupun sampingan sangat terbatas. Kedua, tersedianya lapangan kerja di daerah tersebut. Dengan demikian faktor
yang mendorong anak-anak terlibat bekerja merupakan suatu kebutuhan. Bila mereka tidak ikut bekerja, kebutuhan rumahtangga sulit dipenuhi. Namun, upaya
ini sering menemui hambatan karena tidak tersedianya peluang kerja sehingga kemudian mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang sama dengan orang tua.
Anak-anak inilah yang sering disebut pekerja anak yang terpaksa bekerja.
7
Sistem ekonomi dan sosial yang ada diperkebunan ini disebut sebagai sistem ekonomi dualisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Boeke 1953. Sistem ekonomi dualisme di dalam hubungan
industrial ini bersumber dari sejarah perkebunan di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia yang terkait dengan sejarah kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi Kartodirdjo dan
Suryo, 1991; Mubyarto, 1991.
Sayogyo 1991 menyatakan bahwa strategi yang dilakukan petani dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya dapat dibedakan kepada tiga.
Pertama, strategi akumulasi, yang dilakukan petani lapisan atas, sebagai upaya mentransper surplus pertanian untuk membesarkan usaha di luar sektor pertanian.
Kedua, strategi konsolidasi, dilakukan petani lapisan menengah, dalam upaya memilih sektor luar pertanian sebagai pengembangan ekonomi. Ketiga, strategi
bertahan hidup, yang merupakan strategi petani lapisan bawah, yaitu menunjuk pada pentingnya struktur di luar sektor pertanian sebagai sumber nafkah. Dalam
hal ini keluarga buruh perkebunaan tembakau Deli terpaksa melibatkan anak-anak untuk bekerja sebagai strategi bertahan hidup rumahtangga.
Strategi bertahan hidup dengan cara melibatkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan lebih menegaskan beberapa kondisi tentang bagaimana buruh
perkebunan menghadapi perlakuan pihak pengusaha, bagaimana mereka beradaptasi dengan pekerjaan di lingkungan perkebunan, juga dalam konteks
bagaimana para buruh mempertahankan kehidupannya secara pribadi dan rumahtangganya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini tidak lepas
dari konteks pendapat Suhendar dan Winarni 1998 bahwa upaya sebuah keluarga bisa tetap survavive mengamankan seluruh keluarga dan solidaritas
komunitas tetap kuat, maka sikap kepatuhan terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama dilembagakan dalam komunitasnya. Dalam kerangka kultural, hal
ini tentu saja peranan anak dalam ekonomi keluarga menjadi penting.
2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga