Penentuan Responden METODOLOGI PENELITIAN

3.3. Penentuan Responden

Langkah awal dalam penentuan responden yang baik dilakukan dengan terlebih dahulu mencari informan. Penentuan informan dilakukan melalui metode bola salju sebagaimana yang dikemukakan oleh Faisal 1990, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan usaha mendapatkan data yang benar-benar terjamin dimulai dengan mencari informan dan selanjutnya menemukan beberapa orang buruh yang dapat memberikan informasi lengkap sesuai dengan tujuan penelitian. Upaya-upaya tersebut dimulai dengan melakukan pendekatan kepada pemimpin desa, yaitu Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Dari pendekatan ini peneliti diperkenalkan kepada dua orang tokoh masyarakat, satu orang ustadguru mengaji yang cukup terpandang di desa ini, tiga orang mantan buruh tembakau yang mengetahui sejarah perkebunan dan dinamika perubahan sistem kerja, dua orang rumahtangga buruh yang berhasil melakukan mobilitas vertikal dengan indikator telah memiliki tanahsawah. Beranjak dari informasi yang diperoleh pada tahap ini, selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dan berusaha membina hubungan yang baik terhadap anak-anak, orang tua dan seluruh penduduk Desa Buluh Cina. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mendapatkan responden. Untuk kepentingan itu, maka peneliti selalu mengikuti aktivitas mereka yang tidak hanya terbatas di lingkungan tempat tinggal tetapi juga ikut ambil bagian di kebun tembakau dimana mereka banyak menghabiskan waktunya. Dalam suasana sebagaimana dimaksud, peneliti tidak hanya diterima sebagai bagian dari warga mereka, tetapi dapat juga mengetahui dan merasakan sebagian dari dinamika kehidupannya. Mereka merasa senang dan memberikan respon de ngan selalu bersikap terbuka dan membantu proses penelitian ketika peneliti ada kesulitan memahami cara kerja, sistem nilai, budaya dan bahasa yang berlaku. Menurut Wahyuni 2000 penciptaan suasana seperti ini penting dilakukan dalam rangka pencapaian sasaran penelitian dapat berhasil. Informasi yang diperoleh selain wawancara dengan responden bisa juga dengan melakukan observasi terhadap aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Urut-urutan kegiatan tersebut sangat penting dilakukan agar penelitian ini terarah ke dalam permasalahan yang dirumuskan. Namun, dengan berbagai keterbatasan, seperti dana, tenaga dan waktu yang ada tidak mungkin untuk menjangkau keseluruhan populasi di seluruh Desa Buluh Cina. Dengan merujuk kepada Sitorus 1998 yang menyebutkan bahwa tujuan utama dari sebuah penelitian kualitatif adalah mendeskripsikan kenyataan yang se benarnya dan sebagaimana adanya. Berdasarkan rujukan itu, maka penelitian ini menggunakan suatu sampel menurut keterwakilan aspek masalah dan tidak mengutamakan aspek keterwakilan populasi. Dengan kata lain, sampelnya tidak bergantung kepada jumlah populasi, melainkan kasus yang dapat menggambarkan kedalaman masalah. Penentuan responden dilakukan secara sengaja purpossif dengan terlebih dahulu peneliti menetapkan kriteria tertentu, yaitu: 1 rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli yang memiliki anak dibawah 18 tahun, 2 Anak-anak mereka terlibat bekerja baik di perke bunan sebagai tenaga keluarga maupun di luar perkebunan yang dapat memberikan peranan besar untuk membantu ekonomi keluarga, 3 rumahtangga buruh tetap yang masih terikat secara struktural dengan pihak perkebunan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka sampel responden yang dipilih berjumlah delapan rumahtangga. Pilihan dilakukan dengan me mpertimbangkan bahwa selama dua minggu pertama menggali kehidupan buruh di lokasi penelitian, hanya delapan rumahtangga itulah yang paling terbuka dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan kepada peneliti. Pilihan terhadap responden juga dilakukan dengan mendasarkan pada keragaman tingkat pendidikan kepala rumahtangga, keterlibatan anggota rumahtangga terutama anak-anak dalam pekerjaan produktif dan reproduktif, serta kepemilikan alat produksi seperti tanahladang, ternak dan lain sebagainya. Rumahtangga buruh yang menjadi sampel responden dalam pengumpulan data primer yang ditetapkan dengan sengaja menurut keterwakilan aspek masalah, yakni: Pertama, responden keluarga Bapak Legiran 42 tahun. Beliau lahir dan dibesarkan di komunitas perkebunan tembakau Deli. Bekerja sebagai buruh perkebunan merupakan sumber ekonomi keluarga di dalam kehidupannya. Sejak usia tujuh tahun orangtua beliau telah memperkenalkan nilai kerja buruh dengan cara membawanya bekerja di kebun tembakau. Hal demikian memang lumrah di kalangan komunitas perkebunan tembakau, karena anak laki-laki dibiasakan untuk secepatnya dapat membantu tugas-tugas orangtua di kebun tembakau. Pekerjaan tembakau telah menjadi pekerjaan turun temurun di desa Buluh Cina. Sejak menikah dengan Ponitri 37 tahun, keluar ga Bapak Legiran tinggal di rumah orangtua istrinya yang merupakan mantam buruh tembakau Deli. Setelah mertuanya pensiun, rumah tersebut menjadi hak pakai atas nama Bapak Legiran. Setelah menikah kurang lebih 20 tahun, keluarga ini dikarunia dua orang anak laki-laki. Keluarga Bapak Legiran mencirikan kasus buruh yang tidak memiliki modal ekonomi berupa tanah untuk menunjang kebutuhan keluarga. Kedua, responden keluarga Bapak Syamsuddin 46 tahun. Beliau lahir dan dibesarkan dalam komunitas perkebunan tembakau Deli. Sejak umur lima tahun, beliau sudah terbiasa bekerja di kebun tembakau untuk sekedar membantu ayahnya yang kebetulan bekerja sebagai buruh tembakau. Kebiasaan bekerja pada usia muda menyebabkan beliau tidak tertarik untuk melanjutkan sekolah sampai tingkat SLTP. Setelah menikah dengan bu Surtini 43 tahun, beliau diterima bekerja sebagai buruh tetap di kebun tembakau. Menjadi buruh perkebunan merupakan sumber utama e konomi keluarga, karena pak Syamsuddin belum mampu memiliki tanah, ternak dan asset ekonomi lainnya. Akibatnya, pak Syamsuddin sejak kecil sudah memanfaatkan tenaga kerja anak-anaknya untuk membantu di kebun dan di pekerjaan lain yang mendapatkan uang. Beliau memiliki empat orang anak Surif 20 tahun, Hendi 17 tahun, Srimulyani 15 tahun dan Dewi 13 tahun yang selalu membantu ekonomi keluarga, dimana dua orang diantaranya telah bekerja di luar perkebunan, satu or ang masih sekolah kelas tiga SMP, dan satu orang lagi bekerja di perkebunan sebagai buruh harian lepas yang diharapkan oleh Bapak Syamsuddin akan melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh tembakau. Ketiga, responden keluarga Bapak Aman 50 tahun. Beliau sudah sangat sulit mengingatkan persisnya tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. Suatu hal yang masih dapat terngiang dalam ingatannya adalah dia sebagai anak kuli tembakau Deli dan bekerja sebagai buruh perkebunan di Desa Buluh Cina. Bagi Bapak Aman, keterlibatan anak membantu kerja di kebun tembakau sangat penting. Bapak Aman memiliki tiga orang anak laki-laki, salah satunya tetap menginginkan meneruskan pekerjaannya sebagai buruh. Karena itu, pada usia anak-anaknya masih muda, mereka telah dibiasakan bekerja keras, mandiri dan ulet, di samping untuk membantu ekonomi orang tua bekerja di kebun, mengangon dan pekerjaan domestik. Keluarga ini juga menunjukkan tipologi keluarga yang tidak memiliki tanahsawah. Keempat, responden Bapak Sutardjo 48 tahun. Beliau lahir dan dibesarkan di luar perkebunan. Namun sejak kecil sudah mengenal pekerjaan di kebun tembakau dari pamannya yang kebetulan bekerja sebagai buruh tembakau. Orang tuanya sendiri bekerja sebagai petani dan tinggal di desa dekat perkebunan. Berdasarkan pengakuannya sebagai seorang buruh, peranan anak dalam membantu ekonomi orang tua terutama untuk bekerja di perkebunan sangat penting, disamping sebagai bentuk penghargaan terhadap etika sosial bagi seorang anak tetapi juga merupakan ajang latihan atau magang untuk mempersiapkan anak-anak menjadi kepala keluarga ketika saatnya nanti telah bersistri. Jadi ketika usianya dipandang dewasa dan siap membentuk rumahtangga anak-anak telah mengenal cara-cara strategi berproduksi untuk kebutuhan keluarga. Kelima, responden Bapak Sugiono 48 tahun. Beliau merupakan keturunan buruh tembakau Deli, dimana orang tuanya termasuk generasi kedua yang tinggal di Desa Buluh Cina. Pekerjaan perkebunan tembakau di perkenalkan orang tuanya sejak usia kecil, meskipun dia tidak dapat mengingat persisnya umur berapa mulai bekerja di perkebunan, namun yang masih diingatnya adalah dia mulai bekerja sewaktu masih sekolah SD. Bapak Sugiono berhenti sekolah setelah tamat SD dan tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggai, karena dia tidak memiliki minat untuk sekolah dan lebih ingin cepat-cepat bekerja. Pilihan Bapak Sugiono untuk bekerja sebaga i buruh di perkebunan tembakau, karena pada masa itu lowongan pekerjaan lain tidak tersedia. Sementara itu, orang tuanya sangat mendukung pilihan Bapak Sugiono untuk bekerja di perkebunan, karena merupakan tradisi pada masyarakat Buluh Cina, bekerja sebagai buruh tembakau diteruskan secara turun temurun. Dorongan ini lebih disebabkan adanya fasilitas- fasilitas yang diberikan perkebunan, berupa rumah untuk tempat tinggal selama menjadi buruh, upah tetap, dan fasilitas kesehatan. Bapak Sugiono menikah pada usia 17 tahun dengan seorang gadis yang berdomisili di desa Buluh Cina. Selain membantu pekerjaan Bapak Sugiono di kebun tembakau, istrinya juga bekerja sebagai buruh harian lepas mencari ulat di kebun tembakau dan bekerja menyortir daun tembakau di gudang pengeringan. Dari perkawinannya dengan Bu Astri 43 tahun, mereka memiliki empat orang anak, dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Diantara anaknya tersebut dua orang telah menikah, satu orang masih sekolah kelas satu SMP, sementara satu orang lagi berusia tiga tahun. Dari usaha Bapak Sugiono dan istrinya, mereka telah memiliki tanah seluas 1,5 ha dan memiliki hewan ternak peliharaan sebanyak lima 5 ekor lembu. Sejak kecil, kepada anak-anaknya telah diperkenalkan bagaimana sistem pekerjaan tembakau, bekerja di sawah dan tanggungjawab untuk mengangon dan mengarit rumput untuk makanan ternak. Pelibatan anak-anak ikut bekerja sejak usia kecil selain untuk membantu ekonomi keluarga, tepi juga bagian dari proses sosialisasi nilai kerja sehingga bila anak-anaknya besar tidak sulit untuk bekerja. Adanya sumber penghasilan di luar perkebunan, Bapak Sugiono dan istrinya tidak mengharapkan anak-anaknya bekerja di luar perkebunan, seperti yang berkembang pada akhir- akhir ini di Desa Buluh Cina. Keenam, responden keluarga Bapak Usman 45 tahun. Beliau termasuk keturunan kuli kontrak. Masa kecil beliau banyak dihabiskan untuk membantu pekerjaan orang tuanya di kebun tembakau dan di sawah. Sejak kecil orang tua pak Usman selalu memberikan pelajaran bagaimana mengelola tanaman tembakau. Hal ini disadari pak Usman sangat penting untuk bekal mencari pekerjaan ketika memasuki pernikahan dan menjadi kepala keluarga. Berkat pendidikan yang diberikan orang tuanya , dia dapat meneruskan pekerjaan sebagai buruh tembakau. Bapak Usman menikah pada usia 18 tahun dengan salah seorang gadis Rini 37 tahun yang juga termasuk keturunan buruh tembakau Deli. Dari perkawinanya tersebut, mereka telah memiliki anak empat orang, Tono 17 tahun, kelas satu STM, Ariyanto 15 tahun, kelas dua SMP, Anti 9 tahun kelas empat SD dan Wulandari 3 bulan. Bapak Usman selalu menasehati dan memberikan pelajaran kepada anak-anaknya agar rajin-rajin membantu pekerjaan orang tua baik di kebun tembakau, di sawah dan di rumah. Hal ini penting dalam membantu ekonomi keluarga dan juga berguna bagi anak-anaknya dikala mereka memasuki remaja dan untuk kepentingan mencari pekerjaan nantinya. Berkat kegigihan Bapak Usman bersama istri dan anak-anaknya, saat ini keluarga Bapak Usman selain menggantungkan hidup di perkebunan, beliau juga telah memiliki tanah seluas 2,5 ha yang diusahakan dengan menanam tanaman padi dan holtikultura secara bergantian mengikuti musim. Oleh karena itu anak-anak Bapak Usman selain diajak bekerja di kebun tembakau juga bekerja di ladang. Keluarga ini tidak mengharapkan anak-anaknya akan menjadi buruh di kebun tembakau, karena bisa bekerja sebagai petani sambil bekerja di kebun tembakau. Namun, apabila ada kesempatan diantara anak-anaknya tetap meneruskan pekerjaan di tembakau, sehingga dapat bekerja di sawah dan di kebun secara melengkapi. Ketujuh , responden Bapak Aryadi 41 tahun merupakan keturunan dari keluarga buruh perkebunan tembakau Deli. Jabatan terakhir orang tuanya di perkebunan adalah sebagai mandor. Sama seperti sembilan orang saudaranya, ketika musim tanam tembakau orang tua nya selalu melibatkan mereka untuk bekerja. Jenis pekerjaan yang diikuti oleh responden adalah mulai dari proses persiapan, penanaman, perawatan sampai panen tembakau. Banyaknya pekerjaan yang dibebankan kepada orangtuanya, maka kesempatan untuk sekolah tidak ada. Pendidikan responden sendiri hanya sampai SD. Walaupun demikian pak Aryadi dapat bekerja sebagai buruh di kebun tembakau, karena untuk menjadi buruh perkebunan tembakau tida k memerlukan tingkat pendidikan. Syarat utama diterima bekerja sebagai buruh hanya kesanggupan untuk bekerja dalam mengelola tembakau dan kepatuhan terhadap pihak perkebunan. Di antara sembilan orang saudaranya, lima orang bekerja meneruskan profesi orang tua sebagai buruh perkebunan tembakau. Setelah menikah responden tinggal di rumah keluarga istri hingga sekarang dan tinggal bersama mertua dan saudara-saudara istrinya. Bapak Aryadi telah memiliki tiga orang anak, satu orang perempuan yang sudah sekolah di kelas tiga SD, dua orang lagi masih belum sekolah. Karena anak-anak Bapak Aryadi masih kecil-kecil, maka belum ada yang dapat membantu bekerja di kebun tembakau. Kehadiran mertua di rumah menguntungkan bagi istrinya, karena dapat leluasa bekerja di luar rumah. Istrinya ikut bekerja terutama pada masa tanam tembakau, yaitu memupuk tembakau, mencari ulat dan di bangsal pengeringan, istrinya juga bekerja dibagian penyortiran. Bapak Aryadi merupakan tipologi buruh yang memiliki sawah di luar perkebunan yang diperoleh dari pembagian warisan dari keluarga istrinya. Kedelapan, responden keluarga Bapak Purwanto 47 tahun. Beliau termasuk keturunan kuli tembakau yang termasuk keturunan ketiga. Bekerja sebagai buruh perkebunan tembakau sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat di Buluh Cina, termasuk pada keluarga Bapak Purwanto, sehingga tidak heran bila dia telah mendapatkan sosialisasi nilai kerja tembakau pada usianya masih muda. Beliau menikah pada usia 16 tahun dan saat ini telah dikaruniai lima orang anak. Kelima orang anaknya selalu ikut membantu pekerjaan di kebun tembakau ataupun di sawah. Selain kelima orang anaknya, istri juga bekerja menyortir daun tembakau di gudang pemeraman pada saat musim tembakau, dan pada musim motong tebu, istrinya sesekali ikut bekerja memotong tebu bersama anak- anaknya. Bapak Purwanto merupakan tipologi keluarga buruh yang memiliki tanahsawah yang berhasil diperoleh berkat kegigihannya selama kurang lebih 18 tahun bekerja di perkebunan. Karakteristik responden penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 J umlah Anak Pemilikan Modal N o Nama Kepala rumah tangga Umur Tempat Lahir Asal keluarga Nama Istri Umur Pekerjaan Istri L P Tanah Ternak 1 Legiran 42 Desa Buluh Cina Kuli kontrak Jawa Ponirin 37 Ikut Suami 2 - - - 2 Syamsuddin 46 Desa Buluh Cina Kuli kontrak Jawa Surtini 45 BHL 2 2 - - 3 Aman 50 Desa Buluh Cina Kuli Kontrak Jawa Mariya 47 - 4 2 4 Sutarjo 48 Desa luar Petani biasa Intan 45 BHL 3 2 - 5 ekor 5 Sugiono 48 Desa Buluh Cina Kuli Kontrak Astri 43 BHL 2 2 1,5 ha 5 ekor lembu 6 Usman 45 Desa Buluh Cina Kuli kontrak Rini 39 - 2 2 2,5 4 7 Aryadi 41 Desa Buluh Cina Kuli kontrak Misnah 35 BHL 2 1 2 ha 10 8 Purwanto 47 Desa Buluh Cina Kuli kontrak Jumiati 40 BHL 4 1 2 ha Sumber : Data Primer, 2005 Rumahtangga buruh perkebunan digunakan sebagai unit analisis dengan pertimbangan kajian penelitian ini tidak terlepas dari hubungan antar anggota rumahtangga terutama dalam melakukan strategi bertahan hidup. Lebih lanjut, unit analisis rumahtangga juga dipilih untuk melihat keragaman pola nafkah dan pola pembagian kerja yang dibangun anggota rumahtangga, sehingga dapat memperlihatkan peran masing-masing anggota rumahtangga, termasuk peran anak dalam membantu ekonomi keluarga. Sekalipun aktivitas kerja dilakukan oleh individu anggota keluarga, namun pengelolaannya berada dalam satu unit rumahtangga. Dalam penelitian ini, pengertian keluarga dan rumahtangga dibedakan, dimana anggota dari suatu rumahtangga tidak selalu bertampat tinggal di satu rumah yang sama dan sebaliknya penghuni satu rumah bisa lebih dari satu rumahtangga. Dengan mengacu kepada pendapat White 1978, rumahtangga di pedesaan Jawa, merangkap fungsi banyak yaitu sebagai unit produksi, konsumsi, reproduksi, serta unit interaksi sosial-ekonomi dengan tujuan utama untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Kebutuhan anggota rumahtangga dipenuhi dalam satu dapur yang sama. Setiap bagian dari anggota rumahtangga baik ayah, ibu, anak, maupun kerabat mempunyai fungsi dan peranan masing- masing dalam satu totalitas, akan tetapi peran tersebut saling menunjang dalam rangka mempertahankan kelangsungan keluarga. Dengan demikian, dalam penelitian ini unit analisis rumahtangga dipahami sebagai sebuah unit sosial terkecil dimana anggota rumahtangga berada dalam satu dapur yang sama.

3.4. Teknik Pengumpulan data