Sejarah Desa Buluh Cina

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sejarah Desa Buluh Cina

Sejarah lahirnya Desa Buluh Cina tidak bisa dilepaskan dari perkembangan perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur. Konon sebelum perkebunan besar hadir, wilayah desa Buluh Cina merupakan hutan belantara yang dikuasai oleh Sultan Deli dengan perantaraan Datuk Hamparan Perak. Desa Buluh Cina sebagai enklave kebun diperkuat oleh kedudukan emplasmen yang amat penting bagi perkembangan sosial ekonomi di Desa Buluh Cina. Perkebunan ini dibuka NV Cultuur Maatschappij sekitar tahun 1879 yang selanjutnya dikembangkan oleh kolonial Belanda. Seiring dengan perluasan areal perkebunan tembakau, pemerintah kolonial Belanda membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Penduduk asli yang tinggal di se kitar lingkungan perkebunan kebanyakan etnik Melayu, Batak dan Karo menolak untuk menjadi buruh di perkebunan. Sebaliknya, penduduk lokal menunjukkan ketidaksenangannya terhadap pihak perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari adanya perlawanan yang pada dasar nya disebabkan dua hal. Pertama, tanah rakyat yang diambil oleh perkebunan, sehingga masyarakat setempat yang dahulunya juga menanam tembakau tidak lagi dapat menanam tembakau karena ketiadaan lahan. Kedua hilangnya pasar eksport tembakau bagi rakyat. Sulitnya mencari tenaga kerja, menyebabkan tuan kebun berusaha untuk mendatangkan kuli dari dataran Cina 1 2 , India dan Jawa dengan cara membuat sistem kontrak kerja. Dalam perkembangannya orang Cina dan India sebagian besar sukses mengakumulasi modal dan mengembangkan kegiatan ekonomi di dalam maupun di luar perkebunan. Sedangkan orang-orang Jawa tetap tinggal terbenam dalam kehidupan sebagai buruh perkebunan dari generasi ke generasi karena tergantung pada upah kerja yang hanya dapat digunakan untuk kebutuhan subsisten. Hingga saat ini, keturunan kuli Jawa tetap menempati Desa Buluh Cina dan sebagian besar tetap bekerja sebagai buruh tembakau Deli. 12 Ketika Neinhuyus pertama kali membuka kebun tembakau, dia mempeker jakan 88 orang Cina dan 23 orang Melayu dan buruh Cina khusus dipekerjakan untuk perkebunan tembakau terutama pada jenis pekerjaan menanam dan menyortir daun tembakau Sairin, 1997 Berdasarkan cerita yang berkembang pada masyarakat setempat, nama Desa Buluh Cina terkait dengan sejarah masuknya kuli kontrak. Kata ”buluh” diambil dari bahasa lokal untuk menyebut pohon bambu berwarna kuning yang tumbuh di sekitar emplasmen. Konon pohon bambu itu dibawa oleh tuan kebun dari Cina yang digunakan untuk melindungi kawasan emplasmen yang disekitarnya berdiri kantor administrasi, perumahan administratur, staf dan asisten dari penduduk lokal dan kuli kontrak yang tidak senang kepada pihak perkebunan. Dalam perkembangannya, bambu kuning banyak digunakan para kuli kontrak untuk menghisap candu atau madat. Para kuli kontrak memiliki kebiasaan menghisap madat yang dipercaya mampu menghilangkan sakit setelah seharian bekerja. Pihak kolonial Belanda tidak melarang menghisap madat, karena kenyataannya madat digunakan sebagai salah satu strategi tuan kebun untuk menciptakan ketergantungan buruh terhadap perkebunan. Dengan demikian, pihak perkebunan tidak mendapat hambatan untuk memperoleh tenaga kerja, bahkan ketergantungan buruh menjadi jaminan penyediaan tenaga kerja jangka panjang. Pada tahun 1950 komunitas perke bunan ini resmi menjadi sebuah desa otonom yang diberi nama Buluh Cina. Pada awal berdirinya desa, peran administrasi perkebunan sangat besar. Bahkan proses pendirian desa di dorong oleh para elit perkebunan. Pihak perkebunan tidak lagi menjadi sumber kontrol sebagaimana terdahulu , namun perannya tidak hilang begitu saja. Kepemimpinan desa masih bercorak perkebunan meski ada sumber kekuasaan lain. Sebelum dipimpin oleh Kepala Desa yang sekarang, Desa Buluh Cina telah memiliki enam orang Kepala Desa. Kepala Desa yang pertama adalah seorang buruh tembakau yang bernama Citro Miharjo. Kepemimpinannya diawali pada tahun 1950-an, yang selanjutnya digantikan oleh Muto Gino. Kepemimpinan Muto Gino tidak berlangsung lama, karena itu kepala desa digantikan Muchtahudin. Pada masa kepemimpinan Muchtahudin terjadi beberapa perubahan sistem pemerintahan desa, yaitu tidak bergantung secara penuh kepada pihak perkebunan. Setelah kepala desa Muchtahudin berhenti, kepala Desa Buluh Cina diteruskan oleh Jamirin sampai tahun 2005. Dan untuk periode 2005 - 2010, kepala desa dijabat Bapak Zainal yang terpilih saat penelitian ini dilakukan, tepatnya tanggal 16 April 2005.

4.2. Letak Geografis dan Keadaan Alam