Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli

mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. Proses akomodasi dari orang tua terhadap anak menjadi lancar karena lingkungan masyarakatnya yang seragam dengan keluarga dan sedikitnya pengaruh dari luar kebiasaan yang berbeda, menjadikan kebiasaan, pola pikir dan nilai anak seragam dengan keluarga dan juga lingkungannya. Sosialisasi yang dipengaruhi kehidupan berburuh tembakau Deli, terdapat juga pada tipologi rumahtangga pemilik tanah. Hal ini dikarenakan kehidupan pertanian tetap diperkenalkan pada anak-anak, sementara itu anak-anak dapat melihat dari waktu ke waktu bahwa pekerjaan pertanian menguntungkan secara ekonomi. Dari segi inovasi, tipologi rumahtangga ini mewarisi sifat dari pendahulunya, yaitu mempunyai inovasi yang tinggi, hal ini dikarenakan keluarga sudah terbiasa memiliki modal besar. Sementara dari segi wawasan hidupnya, walaupun lapisan atas ini lebih sering berhubungan dengan luar desa dan masuknya informasi lewat media informasi lebih banyak, namun karena ruang lingkup pergaulannya lebih sering di desa, maka wawasan hidupnya sama dengan tipologi rumahtangga yang tidak memiliki tanah, hal ini bisa dilihat dari cara mereka memandang arti pendidikan, arti keberhasilan hidup yang selalu dihubungkan dengan keberhasilan pertanian.

6.3. Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli

Perubahan nilai kerja merupakan konsekuensi logis dari sebuah peristiwa mengubah cara-cara manusia hidup sehari-hari dan bekerja melalui orang dan tempatnya. Proses pembangunan, kekuatan ekonomi uang atau unsur -unsur luar memiliki kekuatan untuk menekan dan mengubah jalan hidup pribadi dan keluarga. Kehidupan buruh yang selalu mengedepankan hubungan sosialnya dari ikatan-ikatan kekeluargaan, memang sangat rentan dengan pengaruh industrialisasi maupun sebagian dari rentetan kejadian dan tindakan dari luar, tetapi itulah gambaran masyarakat yang sedang berada dalam dinamika perekonomian dan industrialisasi. Bertitik tolak dari sisi perubahan, maka dapat dikatakan bahwa industrialisasi merupakan mesin utama sebuah perubahan yang terkait dengan persoalan keluarga maupun nilai-nilai fungsional keluarga. Perubahan demikian dalam prosesnya sering digambarkan dengan proses transisi perubahan masyarakat perkebunan yang tradisional ke masyarakat modern. Hal ini berarti juga sebagai peralihan suasana keluarga buruh perkebunan ke masyarakat modren yang dalam prosesnya tidak hanya berdampak kepada perubahan struktur cara produksi, tetapi telah menggeser nilai-nilai sosial dan ikatan sosial. Perubahan nilai-nilai kerja juga mengedepankan sebuah pemahaman tentang lajunya perubahan yang digambarkan dalam dimensi-dimensi karakteristik modern, dinamis dan relatif stabil. Artinya, pola kehidupan dan strategi keluarga buruh untuk menghadapi gejolak yang sedang dan akan muncul akibat menyempitnya lapangan pekerjaan di perkebunan yang berada di dalam desa, dilakukan melalui perubahan pola sosialisasi nilai kerja ke luar desa untuk menjadi seorang individu yang lebih aktif, produktif dan percaya diri. Di samping itu tergambar pula sikap para orang tua yang selalu berpegang kepada kearifan nilai-nilai tradisional tampaknya tidak banyak me ngambil sikap terhadap perubahan yang terjadi pada komunitas perkebunan. Bagi orang tua yang tetap mempertahankan sosialisasi nilai kerja buruh, lebih disebabkan adanya keinginan mereka untuk dapat memiliki tanah, rumah dan aset perkebunan lainnya. Melalui wawancara dengan informan maupun responden terungkap tiga faktor penting yang mempengaruhi terhadap perubahan sosialisasi nilai kerja buruh. Pertama, ketergantungan keluarga buruh. Sesuai dengan corak agraris yang mewarnai desa Buluh Cina, buruh tembakau Deli rata -rata berasal dari keluarga buruh perkebunan baik sebagai buruh tetap maupun buruh harian lepas. Diperkirakan 85 persen dari keluarga buruh tembakau tidak memiliki lahan pertanian. Kondisi tanpa lahan yang dihadapi oleh keluarga buruh, makin memperbesar keinginan mereka untuk tetap bertahan pada pasar tenaga kerja yang ada di perkebunan. Kemiskinan diturunkan dari generasi ke generasi, anak-anak buruh mewarisi keadaan orang tuanya. Kombinasi penguasaan tenaga kerja dengan melibatkan anak-anak dila kukan sedemikian rupa semata -mata untuk dapat bertahan hidup, karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal subsisten. Adanya ketergantungan keluarga buruh terhadap perkebunan menyebabkan buruh selalu berusaha menjaga hubungan dengan perusahaan. Hubungan ini akan menjamin akses ekonomi keluarga. Salah satu bentuk usaha menjaga hubungan itu adalah melibatkan anak dalam proses produksi perkebunan dan diharapkan akan terus menjadi generasi buruh. Kedua, perusahaan perkebunan tembakau Deli dewasa ini terus mengalami penurunan. Produksi tembakau semakin merosot, luas lahankebun yang diusahakan semakin sempit, banyak bangsal 20 yang tidak produktif, tidak ada pembangunan dan penambahan alat-alat produksi baru, dan secara perlahan ada pengalihan jenis komoditi dari tembakau ke tebu dan sawit. Merosotnya produksi tembakau Deli berkaitan dengan issu globalisasi. Gejala globalisasi yang paling nyata dialami oleh PT. Perkebunan Nusantara II adalah penurunan komoditiharga tembakau Deli di pasar internasional. Sebelumnya, pasar tembakau Deli di tingkat internasional terus mengalami fluktuasi yang bercirikan peningkatan sepanjang tahun. Menurut laporan PTPN II sebagaimana yang diacu Tjandraningsih dan Popon 2002 pada tahun 1970-an, produksi tembakau mencapai titik tertinggi hampir mencapai 40.000 bal. Pada tahun 1980-an, produksi mulai menurun tetapi secara konstan berada pada kisaran 15.000 – 25.000 bal. Mulai dekade 1990-an, produksi berlangsung konstan. Pada tahun 1998, PTPN II menda patkan keuntungan dari nilai tukar dolar sebagai akibat krisis moneter yang dialami Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 1999 terjadi penurunan produksi yang cukup drastis hingga produksi mencapai angka 8.000 bal. Perkembangan fluktuasi produksi dan harga tembakau Deli di Bremen dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Fluktuasi Areal Tanaman Tembakau Deli, Tahun 2004 Tahun panen Luas areal tanaman ha Total ball Jumlah kg Harga rata -rata 19971998 3.286 7,452 526.446 45.78 DM per pon 19981999 3.286 9,434 678.942 36.88 DM per pon 19992000 3.297 4,479 292.958 32.53 DM per pon 20002001 3.297 6,782 489.675 22.32 DM per pon 20012002 3.221 2,704 194.231 20.48 euro per kg 20022003 3.070 2,304 166.788 21.64 euro per kg 20032004 2.813 33,155 128.400 860.4 euro per kg Sumber : Kantor Direksi PTPN II, Medan, 2004. 20 Bangsal adalah tempat pemeraman tembakau yang baru dipetik dari kebun tembakau. Bangsal ini ramai didatangi oleh anak-anak buruh karena tempatnya yang luas. Selain bermain anak-anak yang belum bisa berjalan terbiasa juga ditidurkan di bangsal ini. Sedangkan di aras mikro merosotnya produktivitas tembakau Deli antara lain akibat adanya okupasi areal oleh masyarakat di sekitar kebun yang mengatasnamakan rakyat kecil, orang-orang miskin dan penduduk asli yang ingin menguasai tanah yang mereka anggap milik kolonial. Selain itu pemekaran kota dan pemukiman penduduk kota Medan, Binjai dan Deli Serdang secara berangsur- angsur telah mengurangi areal tembakau Deli. Dampak lainnya adalah menurunnya minat tenaga kerja untuk menanam tembakau, karena berkembangnya industri-industri atau pabrik-pabrik di sekitar kebun yang semua ini menyebabkan penurunan produktivitas tembakau Deli. Namun, dari segala bentuk ancaman terhadap keberadaan tembakau Deli, yang paling serius adalah adanya ancaman penggarapokupasi oleh masyarakat. Kemerosotan produksi tembakau yang disebabkan oleh beberapa faktor di atas berpengaruh terhadap produktivitas tembakau. Keadaan ini secara siklikal berakibat pada melorotnya sema ngat para mandor dan buruh perkebunan dalam bekerja. Sejak awal masa tanam tembakau pada bulan Pebruari 2005, karyawan tanam tembakau yang sebelumnya mendapat jatah lahan dipindahkan ke kebun lain, atau bekerja di pabrik tebu dan sebagian ditugaskan untuk menjaga keamanan. Untuk masa tanam tembakau tahun 2005 ini kebun Buluh Cina hanya memaksimalkan areal sekitar 140 ha, dengan peincian 175 ladang. Dengan demikian untuk tahun 2005 ini karyawan yang dilibatkan untuk mengelola tembakau hanya 175 orang. Upaya peningkatan produktivitas tembakau Deli terus dilakukan melalui intensifikasi pemupukan organik dengan kompos. Di samping itu untuk meningkatkan ketahanan dari kekeringan juga diintroduksi bahan-bahan pembuat jasad renik Trichoderma sp, selain inpkulasi Mimosa invisa pada perakaran tanaman hutan terbukti antagonis terhadap layu bakteri Hartana, 1996. Peningkatan produktivitas tembakau Deli, sejak tahun 1997 PTPN II telah menetapkan delapan upaya pemantapan tembakau Deli yaitu : Pertama , konversi lahan tembakau Deli bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuburan alamiah tanah. Dengan memisahkan areal tebu dengan areal tembakau, mengembalikan rotasi lima tahunan dan menanam kayu hutan. Kedua, perbaikan pemupukan berupa pemberian bahan organik berupa pupuk kompos dan penambahan unsur N Nitrogen. Ketiga, mengantisipasi cuaca dengan mengembalikan penanaman tanaman pelindung, mengefektifkan pemakaian sprinkler irigation dan jog selang dengan membuat sumur-sumur artetis sebagai pengganti air sungai yang terce mar. Keempat, menggalakkan penelitian untuk menekan penyakit layu bakteri. Kelima, mencoba penanaman tembakau di areal rotasi khusus, yaitu areal sawah dan tegalan. Keenam, meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia. Ketujuh, efisiensi biaya sehubungan dengan makin langka dan mahalnya sarana serta bahan produksi tembakau. Kedelapan, mengambil kembali areal yang diserobot penggarap liar dan melindungi areal HGU tembakau sesuai Perda No. 12 tahun 1997. Ketiga, di Buluh Cina beberapa tahun belakangan ini muncul kesempatan- kesempatan ekonomi di luar perkebunan yang dapat diakses oleh keluarga buruh. Anggota keluarga buruh bekerja di pabrik, pertanian beternak, juga masuk di sektor perdagangan dan jasa. Selain itu ada juga kesempatan untuk bekerja di luar perkebunan yang dia nggap lebih baik melalui jalur pendidikan. Terbukanya kesempatan kerja bagi banyak remaja dan anak-anak ke desa Buluh Cina mendapat respon yang baik dari pada anak-anak termasuk keluarga. Pelayanan yang dilakukan pabrik setidaknya mempercepat motivasi anak-anak untuk beralih kerja ke pabrik dan mulai meninggalkan pekerjaan di perkebunan. Seperti yang diungkapkan Bapak Suriadi 38 tahun berikut ini : ”Beberapa tahun belakangan ini anak-anak dan pemuda di Desa Buluh Cina banyak yang bekerja di luar perkebunan, seperti di pabrik yang baru dibangun di Kecamatan Hamparan Perak. Pada awal pembukaan pabrik banyak membutuhkan tenaga kerja, sehingga anak-anak dari Desa Buluh Cina tertarik untuk bekerja di pabrik. Apalagi dengan adanya fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh pengusaha. Kemudahaan terlihat dengan adanya penyediaan bus khusus karyawan pabrik yang masuk ke Desa Buluh Cina untuk mengantar dan menjemput para buruh. Bagi anak-anak dan pemuda yang bertempat tinggal di dusun yang jauh terpaksa memakai sepeda ke tempat dimana bus Karyawan pabrik biasanya menunggu. Mereka yang memakai sepeda terpaksa harus menitipkannya di salah satu rumah penduduk dan selanjutnya akan diambil pada sore harinya ketika pekerjaan sudah selesai” Uraian di atas menggambarkan bahwa kehidupan sosial masyarakat di Buluh Cina pada dasarnya telah mengalami perubahan dari tata hidup tradisional menjadi masyarakat yang cenderung berlaku rasional. Sikap demikian dapat diidentifikasi dalam pola kerja dan pola pengambilan keputusan dalam menghadapi perubahan yang sedang berlangsung di sekitar lingkungan perkebunan. Pada akhirnya orang tua terbuka terhadap pola kerja luar perkebunan dan mendukung keinginan anak-anak mereka bekerja di luar desa, karena jika orang tua tidak mendukung akan menjadi hambatan bagi kelangsungan hidup rumahtangga. Kemampuan orang tua dalam menyesuaikan dan membagi peran diantara anak-anaknya siapa yang bekerja di luar desa dan siapa pula yang akan dipertahankan di dalam desa merupakan bagian dari strategi untuk bertahan hidup di atas ketergantungan buruh yang masih tinggi terhadap perkebunan. Sebagai konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan didalam proses kerja, maka setiap keluarga buruh tidak lagi mempertahankan sosialisasi nilai kerja buruh perkebunan semata, tapi di satu sisi muncul model sosialisasi baru dengan mengajarkan dan mendorong anak-anak untuk memasuki kerja di luar perkebunan seperti bekerja di pabrik. Di sisi lain karena keluarga masih mengharapkan menjadi bagian dari struktur sosial perkebunan sehingga anak-anak tetap dipertahankan untuk meneruskan profesi seorang buruh perkebunan. Bagi keluarga buruh sosialisasi nilai kerja dilakukan sangat ketat dan memaksa agar anak-anak sejak kecil sudah terlibat bekerja di kebun tembakau. Proses sosialisasi nilai kerja kepada anak-anak dilakukan empat tahap, yakni sebagai berikut: Pertama, Tahap Pengenalan. Anak-anak yang sudah berusia dua tahun dimana anak sudah bisa berjalan, tahan terhadap sengatan matahari mulai dibawa ke kebun, bangsal dan tempat-tempat kerja lainnya. Anak-anak dibawa oleh ayah, ibu, abang dan kerabat lainnya untuk sekedar bermain dengan teman-teman yang lain. Mereka mulai mengenal lingkungan kerja perkebunan meski tidak terlibat dalam pekerjaan. Paling tidak pada masa ini anak-anak sudah mengamati bagaimana cara-cara kerja di kebun dan mereka dapat mempelajarinya. Meski tidak ikut dalam kerja, bagaimanapun hal-hal yang dilakukan oleh orang tua di kebun akan membekas dalam pikiran anak-anak. Seperti kasus Bu Rini 39 tahun, dalam usianya yang masih muda memiliki anak kecil yang baru berusia 1,5 tahun. Bu Rini sengaja membawa anak yang paling kecil ke bangsal pengeringan tembakau. Di tempat kerja itu anaknya ditidurkan memakai ayunan yang dibuat seadanya. Anaknya dibawa ke lokasi kerja karena tidak ada yang mengasuh di rumah, sementara abangnya ikut membantu bekerja di kebun te mbakau. Nenek yang tinggal satu rumah dengan mereka ikut pula bantu nyujuk di bangsal. Mereka bermain sama anak-anak sambil memperhatikan cara-cara kerja di kebun sehingga kalau mereka sudah besar bisa menggantikan kerja orang tua. Proses sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Scanzoni dan Scanzoni dalam Soe’eod 1999, sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah task oriented sedangkan anak perempuan harus melakukan peran yang bersifat ekspresif yang berorientasi emosi serta hubungannya dengan orang lain people oriented. Oleh karena itu, anak laki-laki disosialisasikan untuk menjadi lebih aktif dan tegas sedangkan anak perempuan lebih pasif dan tergantung. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kepentingan setelah dewasa laki-laki harus bersaing bekerja sedangkan perempuan menjadi istri dan ibu dalam keluarganya. Sementara itu, hasil wawancara dan pengmatan menunjukkan perbedaan sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan anak perempuan pada rumahtangga buruh berkaitan dengan rantai proses produksi tembakau Deli yang setidaknya dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk. Pertama, proses produksi di kebun. Sistem kerja di perkebunan lebih membutuhkan tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga sosialisasi nilai kerja lebih terfokus pada anak laki-laki. Sementara itu, anak perempuan lebih banyak diajarkan jenis pekerjaan ringan dan umumnya pekerjaan domestik. Perhatian lebih terhadap anak laki-laki berhubungan dengan keinginan orang tua untuk menjadikan mereka sebagai generasi buruh yang dapat menggantikan posisi orang tua di perkebunan. Kedua, proses produksi di gudang. Anak-anak perempuan banyak dilibatkan pada pekerjaan di gudang dan bangsal pengeringan tembakau. Jenis pekerjaan yang diajarkan di bangsal adalah nyujuk tembakau, menjerangi tembakau dan menyusunnya berjejer ke palang-palang penyanggah yang disusun mulai dari atas sampai bawah. Pada tahap penyucukan hingga penjerangan, anak- anak perempuan terlibat intensif bersama ibu mereka. Anak laki-laki tidak ada yang ikut nyujuk daun tembakau. Sementara ayah menggantungkan ikatan-ikatan daun tembakau di palang-palang bambu, dimulai dari palang di tingkat tertingi berurutan sesuai dengan urutan waktu pemetikan. Sementara itu, di gudang pemeraman tembakau anak-anak perempuan diajarkan untuk bisa menyortir daun tembakau. Salah seorang informan Bu Astri 35 tahun istri seorang mandor tanam yang bekerja di bagian gudang pemeraman tembakau menyatakan bahwa pekerjaan memilih sorter daun tembakau sangat sulit, karena seorang buruh harus mengenali banyak nama-nama daun tembakau menurut jenis warna yang dihasilkan. Daun tembakau yang akan diekspor ke Breman adalah daun tembakau yang memiliki warna coklat yang biasa disebut sebagai daun kaki satu VA. Begitu intensifnya pekerjaan di bagian penyortiran ini, pada saat mereka bekerja di gudang pengeringan harus memakai pakaian yang berwarna putih dan kain batik klasik, dimana untuk bagian bawah pada umumnya berwarna coklat yang sama dengan warna daun tembakau yang sudah kering. Mereka dilarang memakai pakaian berwarna lain karena warna pakaian dianggap dapat mempengaruhi warna daun tembakau. Kedua, Tahap Seleksi. Pada masa anak-anak berusia 4 – 5 tahun, mereka dilibatkan dalam pekerjaan yang mudah. Seperti mengangkat bibit tembakau pada saat penanaman. Sebenarnya a na k-anak yang bekerja pada usia 4 – 5 tahun tidak begitu bernilai, malah mungkin membebani orang tua, bahkan menambah pekerjaan orang tua karena cara kerjanya tidak bersih atau mungkin juga menginjak tanaman. Namun, lama kelamaan pekerjaan tersebut akan terbiasa. Secara tidak sadar proses tersebut merupakan proses sosialisasi tentang kegiatan kerja di perkebunan yang merupakan bagian dari kehidupan keluarga yang tidak dapat terlepaskan sampai anak-anak dewasa. Untuk posisi ini anak-anak memerlukan bimbingan dan arahan sebaik mungkin. Artinya harus didampingi dan diarahkan dan terus dipertahankan. Memasuki usia sekolah keterlibatan anak-anak bekerja sepulang sekolah atau sebelum sekolah. Namun, dalam beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak, orang tua meminta anak-anak untuk tidak sekolah dan menyuruh mereka bekerja. Jenis pekerjaan yang diajarkan kepada anak-anak sesuai dengan pembagian gender. Di kebun tembakau anak laki-laki dan perempuan dilibatkan membantu sewaktu nanam tembakau. Anak laki-laki mengerjakan mengangkat bibit, membuat lobang tempat penanaman tembakau, menyiram, sementara anak perempuan melakukan pekerjaan melocoti bibit tembakau. Selain itu, setelah pulang sekolah anak-anak laki-laki langsung disuruh ngangon kambing dan lembu. Ketiga, Tahap Orientasi. Pada usia anak 10 tahun anak-anak dibimbing untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan orang dewasa. Anak-anak diberikan contoh bagaimana mencangkol, membersihkan rumput, menanam, pemeliharaan, dan panen tembakau. Pada tahap ini juga orang tua mulai memperhatikan dan menilai siapa kira-kira diantara anaknya yang tidak serius belajar, maka anak-anak itu akan tetap diarahkan untuk menjadi buruh. Namun, apabila anak-anak itu memiliki pendidikan yang baik di sekolah orang tua akan tetap menyekolannya tergantung kemauan si anak. Seiring dengan berjalannya waktu, orang tua terus melakukan pemilihan terhadap anak-anak yang akan menjadi buruh menggantikan orang tua. Kriteria anak-anak yang dipilih adalah anak yang malas sekolah, tidak pintar, penurut yang tidak banyak menuntut, dan rajin bekerja. Dalam proses ini anak-anak sudah dipisah-pisahkan antara anak yang dapat dipersiapkan untuk mengakses peluang ekonomi di luar dan menjadi buruh kebun. Anak-anak yang dianggap pintar aka n di sekolahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga, sementara anak-anak yang masuk kriteria buruh diberikan perhatian khusus dengan membawa mereka bekerja di perkebunan. Pada tahap ini anak-anak dipisah-pisahkan secara jelas antara anak yang akan menjadi buruh dan bekerja di luar dengan penanaman nilai kerja yang berbeda. Bagi anak yang terseleksi akan ditanamkan nilai kerja buruh lebih mendalam dan bahkan mereka juga diajari kerja -kerja teknis perkebunan dengan lebih terstruktur. Sementara bagi anak-anak yang pintar akan terus disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi dan didorong untuk dapat mengakses kerja di luar perkebunan. Keempat. Tahap Pemantapan. Keluarga telah memutuskan akan menjadikan anak sebagai pekerja . Sosialisasi semakin spesifik dan dilakukan secara intensif melalui pelibatan kerja yang lebih banyak. Anak-anak sudah mulai tidak memperhatikan sekolah sementara orang tua cenderung membiarkan. Hal itu semakin memantapkan posisi anak sebagai ahli waris buruh. Setelah itu akhirnya anak-anak dianggap layak untuk menjadi penerus orang tua bekerja di kebun. Proses ini berlangsung sampai anak-anak memasuki usia dewasa dimana mereka berhasil menjadi buruh tetap atau sebagai pekerja harian lepas menggantikan orang tuanya. Kondisi yang dihadapi oleh rumahtangga buruh tembakau ini makin memperbesar keinginan mereka untuk tetap bertahan pada pasar tenaga kerja yang ada di perkebunan. Kemiskinan diturunkan dari generasi ke generasi, anak-anak buruh mewarisi keadaan orang tuanya. Kombinasi penguasaan tenaga kerja dengan melibatkan anak-anak dilakukan sedemikian rupa semata -mata untuk dapat bertahan hidup, karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal subsisten. Adanya ketergantungan keluarga buruh terhadap perkebunan menyebabkan buruh selalu berusaha menjaga hubungan dengan perusahaan. Hubungan ini akan menjamin akses ekonomi keluarga. Salah satu bentuk usaha menjaga hubungan itu adalah melibatkan anak dalam proses produksi perkebunan dan diharapkan akan terus menjadi generasi buruh.

6.4. Ikhtisar