Sekali Buruh Tetap Buruh”: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

(1)

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

PARDAMEAN DAULAY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

ABSTRAK

PARDAMEAN DAULAY. 2006. “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dibimbing oleh EKAWATI S. WAHYUNI dan

INDRASARI TJANDRANINGSIH.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor -faktor yang melatarbelakangi pembentukan generasi buruh dan menjelaskan respon anak terhadap sosialisasi nilai pekerjaan pada rumahtangga buruh tembakau Deli.

Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menjawab tujuan tersebut dengan memilih lokasi penelitian di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan be rperan serta dan data sekunder diperoleh melalu i buku dan dokumen lainnya. Responden kasus ditentukan sebanyak delapan rumahtangga buruh secara purposive dengan pertimbangan berdasarkan tujuan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan pekerja anak dalam kultur teknis merupakan bentuk inisiasi atau sosialisasi nilai-nilai kerja dimana para buruh berkeinginan agar anak-anak dapat menggantikan posisi mereka setelah pensiun. Motif utamanya tak lain adalah melanggengkan posisi sebagai bahagian dari sistem perkebunan, yang dapat memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan dalam mencari nafkah di luar atau di dalam perkebunan misalnya, menjadi pekerja harian lepas, beternak atau bertani. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa proses sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah

(task oriented), sedangkan anak perempuan diharapkan bersifat ekspresif yang berorientasi emosi (people oriented). Sosialisasi nilai kerja pada anak-anak dilakukan dalam empat tahap yakni tahap bermain, seleksi, orientasi dan pemantapan. Proses sosialisasi nilai kerja direspon negatif oleh anak-anak dengan menolak pekerjaan perkebunan dan memilih pekerjaan di luar perkebunan. Penolakan pekerja anak disebabkan pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap tradisional, kotor dan tidak menjanjikan. Keinginan anak-anak untuk bekerja di sektor luar perkebunan pada dasarnya bukan disebabkan oleh berkembangnya aspirasi baru yang meninggalkan minat menjadi buruh, akan tetapi pekerjaan buruh tembakau tidak dapat menjadi sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh Di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Pardamean Daulay


(4)

© Hak cipta milik Pardamean Daulay, tahun 2006

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tert ulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(5)

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

PARDAMEAN DAULAY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

Judul Tesis : “Sekali Buruh Tetap Buruh”: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Nama : Pardamean Daulay NIM : A152030121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni,MS Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. MT. Felik Sitorus, MS Prof. Dr. I r. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dapat terselesaikan.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu pe nulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS atas kepercayaan, arahan serta kesabaran bagi perbaikan tesis dan penyempurnaan kerangka analisis dan Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA ditengah kesibukannya sebagai peneliti di Yayasan AKATIGA masih sempat melowongkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan diskusi baik melalui mail dan telepon yang membuat semangat penulis bangkit kembali untuk menyempurnakan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis aturkan setulus-tulusnya dan rasa hormat setinggi-tingginya, kepada :

1. Ibunda tercinta Hj. Lenggahari Hasibuan yang telah rela, ikhlas dan bersusah payah membesarkan dan mendoakan penulis, sehingga menjadi inspirasi dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga pada saudara-saudaraku yang banyak membantu baik moril maupun materil selama perkuliahan, Kak Hafsah, Kak Iba, Bang Saleh, Kak Nita, Kak Melly, Kak Elfi, yang selalu memberi semangat dan doa.

2. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, atas rekomendasinya sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan tingkat magister.

3. Buat teman seperjuangan di SPD- IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Witrianto, Mbak Rita, Rokhani, Heru, Purnomo, Sofyan, Jean, Taya Toru, Jeter dan Agustina).

4. Teman-teman di Pondok Dayeuh Kuring yang setiap hari memberikan motivasi agar cepat lulus, buat Bang Tom, Apri, Pak Priyanto, dan teman-teman lainnya.

5. Teman-teman di Sa!ns (Bang Budi Baik Siregar, Mas Sohibuddin, dan terkhusus untuk Bapak Dr. Sayogyo atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan untuk maju).

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa meskipun diupayakan semaksimal mungkin, tesis ini masih jauh dari harapan. Disana-sini masih keliha tan kelemahan dan kekurangannya. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi peningkatan kualitas tulisan ini.

Bogor, Januari 2006


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sibuhuan, salah satu kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 14 Oktober 1976. Merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, dari keluarga Baginda Sayur Mulia Daulay (almarhum) dan Ibu Hj. Lenggahari Hasibuan. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN 02426 Sibuhuan tahun 1989. Pendidikan menengah pertama ditamatkan pada tahun 1992 di Madarasyah Tsyanawiyah Swasta di Sibuhuan dan pendidikan menengah atas di Madarasah Aliyah Negeri 1 Medan tamat tahun 1995. Tahun 1995 penulis diterima di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mendapat gelar Sarjana Sosial tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister sains di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi Pedesaan dengan bantuan dana BPPS DIKTI.

Ketertarikan pada masalah pekerja anak, tahun 1999 – 2003, mengantarkan penulis untuk bergabung pada salah satu LSM yang bergerak di bidang permasalahan pekerja anak yang diberi amanah untuk me nduduki posisi Koordinator Pusat Data dan Penelitian. Sejak itu, penulis memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat dala m rangka memperjuangkan hak-hak anak. Pada tahun 2001, penulis terlibat sebagai Badan Pendiri Konsorsium Anti Eksploitasi Seks ual Komersial Anak (KAESKA) dan pada tahun 2002 membentuk Forum Anak Sumatera Utara (FORASU).

Keinginan untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten dosen untuk beberapa mata kuliah seperti Pengantar Sosiologi, Sistem Sosial Indonesia, dan Sosiologi Perburuhan di FISIP USU Medan, tahun 2000 – 2003.


(9)

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

II. PENDEKATAN TEORITIS... 7

2.1. Tinjauan Pustaka ... 7

2.1.1. Pekerja Anak Suatu Tinjuan Historis... 7

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak ... 10

2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga ... 14

2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan PolaBudaya Buruh Perkebunan .. 18

2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga ... 22

2.2. Alur Pemikiran ... 25

2.3. Hipotesa Penelitian... 27

2.4. Konsep Kunci... 28

III. METODE PENELITIAN... 30

3.1. Metode Penelitian... 30

3.2. Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3. Penentuan Responden... 35

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.5. Teknik Analisa Data ... 44

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 46

4.1. Sejarah Desa Buluh Cina ... 46

4.2. Leta k Geografis dan Keadaan Alam ... 48

4.3. Kependudukan... 51

4.3.1. Pendidikan... 52

4.3.2. Agama ... 53

4.4. Potensi Ekonomi Desa ... 54

4.5. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan... 56

4.6. Gambaran Pasar Tenaga Kerja ... 58

4. 6.1. Permintaan Tenaga Kerja ... 58

4.6.2. Penawaran Tenaga Kerja ... 60


(10)

ii

V. PEMBENTUKAN GENERNASI BURUH DAN JAMINAN EKONOMI

RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI. 63

5.1. Kebijakan PTPN II Sebagai Pengelola Tembakau Deli... 64

5.1.1. Sistem Produksi Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak... 67

5.1.2. Keterlibatan Anak dalam Sistem Borongan... 69

5.2. Motivasi Keluarga dalam Pemanfaatan Pekerja Anak... 73

5. 2.1. Nilai Anak dalam Keluarga ... 74

A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah 74 B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 78

5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang tua... 84

A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah 84 B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 86

5.3. Orientasi Nilai Budaya Rumahtangga Buruh... 88

5.4. Ikhtisar... 93

VI. SOSIALISASI NILAI KERJA DAN DINAMIKA PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEMBAKAU ... 97

6.1. Pola Sosialisasi dalam Keluarga Buruh Temba kau Deli... 97

6.1.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah.. 97

6.1.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 101

6.2. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh ... 103

6.2.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah ... 105

6.2.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 108

6.3. Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli 110 6.4. Ikhtisar... 119

VII. RESPON PEKERJA ANAK TERHADAP SOSIALISASI NILAI KERJA... 123

7.1. Dinamika Perana n Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau... 124

7. 2. Respon Pekerja Anak terhadap Sosialisasi Nilai Ker ja ... 129

7.2.1. Penolakan Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja ... 129

7.2.2. Penerimaan Anak Terha dap Sosialisasi Nilai Kerja ... 136

7.4. Ikhtisar ... 137

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 139

8.1.Kesimpulan... 139

8.2. Implikasi Kebijakan ... 142

DAFTAR PUSTAKA... 143

LAMPIRAN... 149


(11)

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

PARDAMEAN DAULAY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

ABSTRAK

PARDAMEAN DAULAY. 2006. “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dibimbing oleh EKAWATI S. WAHYUNI dan

INDRASARI TJANDRANINGSIH.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor -faktor yang melatarbelakangi pembentukan generasi buruh dan menjelaskan respon anak terhadap sosialisasi nilai pekerjaan pada rumahtangga buruh tembakau Deli.

Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menjawab tujuan tersebut dengan memilih lokasi penelitian di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan be rperan serta dan data sekunder diperoleh melalu i buku dan dokumen lainnya. Responden kasus ditentukan sebanyak delapan rumahtangga buruh secara purposive dengan pertimbangan berdasarkan tujuan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan pekerja anak dalam kultur teknis merupakan bentuk inisiasi atau sosialisasi nilai-nilai kerja dimana para buruh berkeinginan agar anak-anak dapat menggantikan posisi mereka setelah pensiun. Motif utamanya tak lain adalah melanggengkan posisi sebagai bahagian dari sistem perkebunan, yang dapat memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan dalam mencari nafkah di luar atau di dalam perkebunan misalnya, menjadi pekerja harian lepas, beternak atau bertani. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa proses sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah

(task oriented), sedangkan anak perempuan diharapkan bersifat ekspresif yang berorientasi emosi (people oriented). Sosialisasi nilai kerja pada anak-anak dilakukan dalam empat tahap yakni tahap bermain, seleksi, orientasi dan pemantapan. Proses sosialisasi nilai kerja direspon negatif oleh anak-anak dengan menolak pekerjaan perkebunan dan memilih pekerjaan di luar perkebunan. Penolakan pekerja anak disebabkan pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap tradisional, kotor dan tidak menjanjikan. Keinginan anak-anak untuk bekerja di sektor luar perkebunan pada dasarnya bukan disebabkan oleh berkembangnya aspirasi baru yang meninggalkan minat menjadi buruh, akan tetapi pekerjaan buruh tembakau tidak dapat menjadi sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.


(13)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh Di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Pardamean Daulay


(14)

© Hak cipta milik Pardamean Daulay, tahun 2006

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tert ulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(15)

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

PARDAMEAN DAULAY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(16)

Judul Tesis : “Sekali Buruh Tetap Buruh”: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Nama : Pardamean Daulay NIM : A152030121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni,MS Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. MT. Felik Sitorus, MS Prof. Dr. I r. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(17)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dapat terselesaikan.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu pe nulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS atas kepercayaan, arahan serta kesabaran bagi perbaikan tesis dan penyempurnaan kerangka analisis dan Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA ditengah kesibukannya sebagai peneliti di Yayasan AKATIGA masih sempat melowongkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan diskusi baik melalui mail dan telepon yang membuat semangat penulis bangkit kembali untuk menyempurnakan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis aturkan setulus-tulusnya dan rasa hormat setinggi-tingginya, kepada :

1. Ibunda tercinta Hj. Lenggahari Hasibuan yang telah rela, ikhlas dan bersusah payah membesarkan dan mendoakan penulis, sehingga menjadi inspirasi dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga pada saudara-saudaraku yang banyak membantu baik moril maupun materil selama perkuliahan, Kak Hafsah, Kak Iba, Bang Saleh, Kak Nita, Kak Melly, Kak Elfi, yang selalu memberi semangat dan doa.

2. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, atas rekomendasinya sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan tingkat magister.

3. Buat teman seperjuangan di SPD- IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Witrianto, Mbak Rita, Rokhani, Heru, Purnomo, Sofyan, Jean, Taya Toru, Jeter dan Agustina).

4. Teman-teman di Pondok Dayeuh Kuring yang setiap hari memberikan motivasi agar cepat lulus, buat Bang Tom, Apri, Pak Priyanto, dan teman-teman lainnya.

5. Teman-teman di Sa!ns (Bang Budi Baik Siregar, Mas Sohibuddin, dan terkhusus untuk Bapak Dr. Sayogyo atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan untuk maju).

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa meskipun diupayakan semaksimal mungkin, tesis ini masih jauh dari harapan. Disana-sini masih keliha tan kelemahan dan kekurangannya. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi peningkatan kualitas tulisan ini.

Bogor, Januari 2006


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sibuhuan, salah satu kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 14 Oktober 1976. Merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, dari keluarga Baginda Sayur Mulia Daulay (almarhum) dan Ibu Hj. Lenggahari Hasibuan. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN 02426 Sibuhuan tahun 1989. Pendidikan menengah pertama ditamatkan pada tahun 1992 di Madarasyah Tsyanawiyah Swasta di Sibuhuan dan pendidikan menengah atas di Madarasah Aliyah Negeri 1 Medan tamat tahun 1995. Tahun 1995 penulis diterima di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mendapat gelar Sarjana Sosial tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister sains di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi Pedesaan dengan bantuan dana BPPS DIKTI.

Ketertarikan pada masalah pekerja anak, tahun 1999 – 2003, mengantarkan penulis untuk bergabung pada salah satu LSM yang bergerak di bidang permasalahan pekerja anak yang diberi amanah untuk me nduduki posisi Koordinator Pusat Data dan Penelitian. Sejak itu, penulis memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat dala m rangka memperjuangkan hak-hak anak. Pada tahun 2001, penulis terlibat sebagai Badan Pendiri Konsorsium Anti Eksploitasi Seks ual Komersial Anak (KAESKA) dan pada tahun 2002 membentuk Forum Anak Sumatera Utara (FORASU).

Keinginan untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten dosen untuk beberapa mata kuliah seperti Pengantar Sosiologi, Sistem Sosial Indonesia, dan Sosiologi Perburuhan di FISIP USU Medan, tahun 2000 – 2003.


(19)

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

II. PENDEKATAN TEORITIS... 7

2.1. Tinjauan Pustaka ... 7

2.1.1. Pekerja Anak Suatu Tinjuan Historis... 7

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak ... 10

2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga ... 14

2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan PolaBudaya Buruh Perkebunan .. 18

2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga ... 22

2.2. Alur Pemikiran ... 25

2.3. Hipotesa Penelitian... 27

2.4. Konsep Kunci... 28

III. METODE PENELITIAN... 30

3.1. Metode Penelitian... 30

3.2. Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3. Penentuan Responden... 35

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.5. Teknik Analisa Data ... 44

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 46

4.1. Sejarah Desa Buluh Cina ... 46

4.2. Leta k Geografis dan Keadaan Alam ... 48

4.3. Kependudukan... 51

4.3.1. Pendidikan... 52

4.3.2. Agama ... 53

4.4. Potensi Ekonomi Desa ... 54

4.5. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan... 56

4.6. Gambaran Pasar Tenaga Kerja ... 58

4. 6.1. Permintaan Tenaga Kerja ... 58

4.6.2. Penawaran Tenaga Kerja ... 60


(20)

ii

V. PEMBENTUKAN GENERNASI BURUH DAN JAMINAN EKONOMI

RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI. 63

5.1. Kebijakan PTPN II Sebagai Pengelola Tembakau Deli... 64

5.1.1. Sistem Produksi Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak... 67

5.1.2. Keterlibatan Anak dalam Sistem Borongan... 69

5.2. Motivasi Keluarga dalam Pemanfaatan Pekerja Anak... 73

5. 2.1. Nilai Anak dalam Keluarga ... 74

A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah 74 B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 78

5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang tua... 84

A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah 84 B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 86

5.3. Orientasi Nilai Budaya Rumahtangga Buruh... 88

5.4. Ikhtisar... 93

VI. SOSIALISASI NILAI KERJA DAN DINAMIKA PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEMBAKAU ... 97

6.1. Pola Sosialisasi dalam Keluarga Buruh Temba kau Deli... 97

6.1.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah.. 97

6.1.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 101

6.2. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh ... 103

6.2.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah ... 105

6.2.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah... 108

6.3. Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli 110 6.4. Ikhtisar... 119

VII. RESPON PEKERJA ANAK TERHADAP SOSIALISASI NILAI KERJA... 123

7.1. Dinamika Perana n Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau... 124

7. 2. Respon Pekerja Anak terhadap Sosialisasi Nilai Ker ja ... 129

7.2.1. Penolakan Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja ... 129

7.2.2. Penerimaan Anak Terha dap Sosialisasi Nilai Kerja ... 136

7.4. Ikhtisar ... 137

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 139

8.1.Kesimpulan... 139

8.2. Implikasi Kebijakan ... 142

DAFTAR PUSTAKA... 143

LAMPIRAN... 149


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian, di Desa Buluh Cina,

Tahun 2005... 41 Tabel 2. Jenis Data, metode pengumpulan Data dan sumber data ... 44 Tabel 3. Luas Wilayah Desa Buluh Cina Berdasarkan Tataguna Tanah

Tahun 2003... 50 Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Golongan Usia

dan Jenis Kelamin, Tahun 2003 ... 51 Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Jenis Pekerjaan

Tahun 2003... 54 Tabel 6. Perbandingan Sumber -sumber Pendapatan Rumahtangga Pemilik

Tanah dengan Nilai Fasilitas di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 83 Tabel 7. Tipologi Rumahtangga Buruh Tembakau Deli di Desa Buluh

Cina Berdasarkan Motivasi Pemanfaatan Pekerja Anak, Tahun

2005... 94 Tabel 8. Pembagian Kerja Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja

Anak di Desa Bulu h Cina, Tahun 2005... 96 Tabel 9. Fluktuasi Areal Tanaman Tembakau Deli, Tahun 2004... 112 Tabel 10. Proses Sosialisasi Pekerjaan Terhadap Anak Laki-laki dan

Perempuan di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 ... 120 Tabel 11. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pada Keluarga Buruh Tembakau

Deli di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 ... 122 Tabel 12. Respon Pekerja Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja di desa


(22)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran... 27


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halama n 1. Lampiran 1. Gambar Photo Aktivitas Kerja ... 147 2. Lampiran 2. Peta Desa Buluh Cina ... 150 3. Lampiran 3. Peta Kecamatan Hamparan Perak... 151 4. Lampiran 4. Peta Kabupaten Deli Serdang ... 152


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh anak merupakan persoalan serius dan menyangkut kepentingan banyak pihak. Salah satu persoalan klasik, kompleks dan masih tetap berlangsung adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak. Eksploitasi terjadi karena tekanan kemiskinan yang dihadapi keluarga, sehingga sering kali anak-anak di bawah umur bekerja pa da pekerjaan terburuk dan sangat berbahaya.

Seiring dengan berkembangnya perhatian terhadap buruh anak, telah menggeser pemahaman berbagai pihak dalam menyikapi keberadaan dan persoalan pekerja anak. Sebelumnya, persoalan pekerja anak berada dalam kerangka pasar tenaga kerja yang memandang eksistensi pekerja anak sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja kaum dewasa dan ketakutan kaum humanitarian atas munculnya kelas proletariat. Bagi kelompok yang menganut pandangan ini, anak-anak yang bekerja dianggap akan melestarikan kemiskinan karena anak yang bekerja tumbuh menjadi dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, sehingga pekerja anak akan terus berlanjut. Upaya yang ditawarkan untuk mengatasinya bersifat anti pekerja anak yang terwujud dalam gerakan penghapusan pekerja anak.

Namun, menolak anak-anak yang bekerja bukanlah pilihan yang terbaik, akan tetapi dapat menciptakan kemiskinan karena bagi keluarga miskin peranan anak bekerja sangat penting terutama dalam membantu ekonomi keluarga. Oleh karena itu kebijakan anti pekerja anak tidak realistis dan kontradiktif. Sehubungan dengan itu muncullah paradigma baru1 yang mendukung adanya pekerja anak disertai jaminan pemenuhan hak anak atas pendidikan dan pelayanan kesehatan.

1

Paradigma baru ini dikenal dengan “pro pekerja anak ” yang berkembang seiring dengan disahkannya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa -Bangsa yang menekankan adanya pemahaman baru tentang anak sebagai anggota masyarakat dan individu yang tidak hanya memiliki kewajiban tetapi juga memiliki hak. Pasal 32 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka (Tjandraningsih dan Anarita, 2002).


(25)

Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja, maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto, 1994). Senada dengan itu White (1994), menyatakan pekerja anak sebaiknya tidak usah dilara ng sepanjang anak-anak masih mempunyai kesempatan bersekolah dan pekerjaannya masih dalam batas kemampuannya. Lebih lanjut, Tjandraningsih (1995), menyatakan persoalan pekerja anak tidak perlu ditolak tanpa melihat terlebih dahulu situasi lingkungan si anak secara menyeluruh dan faktor-faktor yang menyebabkan anak terpaksa harus bekerja. Dalam batas-batas tertentu, anak diperbolehkan bekerja sepanjang tidak mengganggu pendidikan, kesehatan dan masa depan anak.

Di tengah perdebatan kedua paradigma tersebut, studi mengenai pekerja anak tetap merupakan tema yang penting di tengah kehidupan global yang mendorong munculnya ketimpangan dan kemiskinan. Berbagai studi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena pekerja anak makin meluas. Berdasarkan hasil Surve Angkatan Kerja Nasional dapat dilihat perkembangan pekerja anak. Pada tahun 2002 terdapat 842,228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Pa da tahun 2002, anak yang bekerja di pe desaan berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027 persen. Di perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931 ribu. Dengan demikian pekerja anak lebih banyak berada di pedesaan dibandingkan perkotaan (Sakernas, 2002 dan 2003).

Sayangnya, berbagai literatur mengenai pekerja anak menunjukkan bahwa studi-studi selama ini cenderung melihat permasalahan anak yang bekerja di kota-kota besar, seperti anak jalanan yang secara kasat mata mudah terlihat, sementara permasalahan pekerja anak di pedesaan seperti di sektor perkebunan masih jarang dilakukan. Padahal, dilihat dari jumlah dan kondisi kerja yang dilakukan pekerja anak di sektor perkebunan tidak jauh berbeda, bahkan jauh lebih eksploitatif dan marginal. Eksploitatif berkaitan dengan jam kerja anak ya ng lama dan upah kerja rendah, sementara marginal letak perkebunan yang jauh dari masyarakat luas. Sebagaimana dikemukakan Sitorus (1999), bentuk-bentuk pekerjaan anak di perkebuna n berbeda -beda sesuai dengan jenis tanaman. Di perkebunan kakao,


(26)

3

pekerja anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu, dan memangkas tunas tanaman. Di perkebunan sawit, anak bekerja untuk memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram bibit, dan mengumpulkan buah sawit yang berserakan.

Hal yang sama ditemukan pada perkebunan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana bentuk-bentuk pekerjaan yang melibatkan anak sudah lama terjadi, bahkan telah menja di sebuah fenomena yang dianggap lumrah (Sairin, 1994, Breman, 1997, Ikhsan, 1999, Tjandraningsih & Anarita, 2002). Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan yang didominasi oleh perkebunan milik negara PTPN II, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Perusahaan Perkebunan Swasta Asing. Komoditas utama sawit, karet, tebu, tembakau dan Kakao dengan luas keseluruhan areal perkebunan 138.373 Km2 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2000 ada sekitar 10.000.000 buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara dan Riau, diantaranya 10,8 persen tergolong pekerja anak dengan usia di bawah 18 tahun. Sementara itu, Ikhsan (1999), melalui penelitiannya di perkebunan tebu Sei Semayang PTPN II di Deli Serdang, memperkirakan 40.000 pekerja anak baik sebagai tenaga keluarga maupun sebagai pekerja upahan.

Berbagai penelitian terdahulu yang mengungkap masalah pekerja anak di perkebunan memperlihatkan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak di perkebunan karena sistem pekerjaan yang berlaku di perkebunan. Sairin (1994) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja di perkebunan karet tidak dapat dilepaskan dari keadaan kemiskinan keluarga, sehingga cenderung eksploitatif. Fenomena eksploitasi anak dan kemiskinan keluarga di perkebunan diindikasikan adanya anak-anak yang bekerja dalam usia muda dengan upah yang rendah dan tidak memiliki jenjang karir yang tinggi.

Ikhsan (1999) menunjukkan bahwa secara kultural keluarga pekerja anak memberi makna terhadap anak yang bekerja karena upaya anak untuk menunjukkan keperdulian dan bakti anak kepada orang tuanya. Alasan putus sekolah merupakan wujud dari beberapa hal yakni ketiadaan biaya sekolah, dan disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan orang tua.


(27)

Sementara itu, Tjandraningsih dan Anarita (2002) menemukan bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan karena didorong oleh faktor historis, sosio-kultural dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga ker ja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan.

Seiring dengan perkembangan jaman khususnya yang terkait dengan perkembangan ekonomi, demokratisasi serta ka rakteristik manajemen perkebunan di Indonesia, tampaknya fenomena pekerja anak di perkebunan tetap menonjol dan tidak banyak berubah, paling tidak bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli2 di Deli Serdang sebagian besar masih menginginkan anaknya menja di generasi buruh di perkebunan. Padahal kesempatan kerja di luar sektor perkebunan sudah mulai terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa perkebunan.

Penelitian Sairin (1994), Ikhsan (1999), Tjandraningsih dan Anarita (2002) kurang memberi tempat pada kajian fenomena adanya pewarisan nilai-nilai kerja buruh terhadap anak-anak di perkebunan. Meskipun dalam kerangka pemikiran gejala tersebut diungkapkan secara implisit, tetapi dalam analisa yang lebih mendalam masalah ini belum dikaji sama sekali. Kenyataan yang terjadi saat ini keluarga buruh tembakau Deli melakukan sosialisasi nilai-nilai kerja terhadap anak-anak dengan cara melibatkan mereka bekerja di perkebunan, di sawah, dan pekerjaan domes tik lainnya, meskipun usia anak-anak masih muda. Sosialisasi nilai kerja dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan kerja sebagaimana yang diharapkan pihak perkebunan. Keadaan inilah yang mendorong anak-anak yang belum mencapai usia kerja terpaksa harus bekerja. Anak-anak yang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja , melainkan untuk membantu kebutuhan ekonomi dan bagian dari strategi bertahan hidup keluarga.

2

Pada awalnya tembakau Deli merupakan tanaman yang diproduksi penduduk Melayu secara tradisional. Penanaman tembakau secara intensif melalaui usaha komersial dikembangkan oleh Neinhiyus yang membawa hasil memuaskan dengan aroma yang khas, sehingga banyak disukai konsumen di pasar lelang Breman. Pada saat tembakau mulai dilelang ke Breman nama tembakau belum ada, sehingga tembakau tersebut diberi nama sesuai dengan asal daerahnya tembakau Deli. Pemberian nama Deli, kem udiaan bukan saja karena asal daerahnya, tetapi juga ciri khas daun tembakau yang memberikan aroma khas yang tidak dapat ditandingi oleh produsen tembakau lainnya baik di dalam negeri seperti di Jember maupun dari negara lain.


(28)

5

Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini dilaterbelakangi oleh suatu minat untuk melihat kelanjutan penelitian terdahulu dalam kasus serupa dengan masalah yang lebih terfokus pada aspek peranan pekerja anak dalam keluarga dan pewarisan nilai-nilai kerja buruh terhadap anak di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Secara sosiologis gambaran penelitian ini sebagaimana yang diungkap di atas, cukup relevan digolongkan dalam paradigma fakta sosial, sehingga pendekatan struktural fungsional layak mewarnai kerangka pemikiran dan pembahasannya.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum perkebunan memperlihatkan beberapa variasi, tergantung pada kehidupan perkebunan itu berada apakah di perkebunan yang dikelola oleh negara, swasta atau dikelola oleh rakyat. Demikian pula didalam setiap jenis perkebunan terdapat variasi keadaan sosial ekonomi penghuninya, tergantung pada status pekerjaannya. Komunitas perkebunan di Desa Buluh Cina mencerminkan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap lebih terjamin keseja hteraannya dibanding dengan bekerja di sawah atau di luar kebun. Hal ini terkait dengan adanya fasilitas yang diberikan pihak perkebunan, seperti perumahan, kesehatan dan pensiunan. Implikasinya, kehidupan mereka dipertaruhkan dari dan untuk kebun, sehingga regenerasi buruh kebun berlangsung secara alamiah, dimana mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan pula.

Tradisi melibatkan anak-anak bekerja di perkebunan dianggap sebagai bagian dar i proses sosialisasi nilai kerja dan pendewasaan diri agar anak-anak memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan kondisi di perkebunan. Sosialisasi nilai kerja dilakukan sejak usia anak masih muda. Pilihan ini dilakukan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup rumahtangga buruh ditengah ketergantungan mereka terhadap perkebunan. Melihat kenyataan ini amatlah menarik bagi peneliti untuk mengkaji bagaimana sosialisasi nilai kerja pada keluarga buruh tembakau, sehingga dengan proses sosialisasi itu dapat memelihara stabilitas keluarga . Oleh karena itu pertanyaan utama yang diajukan


(29)

adalah bagaimana berlangsungnya proses sosialisasi nilai kerja dalam keluarga buruh. Berdasarkan pertanyaan itu, permasalahan yang hendak di jawab dalam penelitian ini adalah:

1. Mengapa orang tua menginginkan anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli?

2. Bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang berlangsung pada keluarga buruh perkebunan tembakau Deli?

3. Bagaimana respon pekerja anak terhadap proses sosialisasi yang dilakukan keluarga dalam rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi keluarga buruh mengharapkan anak-anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli.

2. Menggambarkan bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang dilakukan keluarga dalam mempersiapkan anak-anaknya menjadi buruh di perkebunan tembakau Deli.

3. Menjelaskan bagaimana respon pekerja anak terhadap keinginan orang tua dalam mempersiapkan generasi buruh di perkebunan.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap studi mengenai pekerja anak, khususnya pekerja anak di perkebunan dan kaitannya dengan sosialisasi nilai kerja buruh.

2. Secara praktis, hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para pemerhati pekerja anak, lembaga sosial, pemerintah dan lembaga yang berkepentingan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menanganai persoalan pekerja anak secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan.


(30)

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pekerja Anak Suatu Tinjauan Historis

Berbicara tentang pekerja anak bukanlah persoalan yang muncul secara tiba-tiba, namun bila dirunut ke belakang persoalan pekerja anak memiliki aspek historis yang panjang mulai dari perkembangan masyarakat primitif sampai modern3. Sebagaimana dijelaskan Blood (1972) bahwa dimasa berburu dan meramu peranan pekerja anak begitu penting bagi keluarga, karena pada masa berburu dan meramu kehidupan keluarga tergantung pada alam. Anak laki-laki diwajibkan ikut berburu binatang dan bagi anak perempuan diarahkan untuk membantu pekerjaan di rumah.

Perkembangan masyarakat selanjutnya, ditandai dengan kehidupan yang bercorak agraris, anak-anak ditugaskan bekerja membantu pekerja an di sawah dengan harapan setelah orang tua tidak mampu mengerjakan sawah, anak-anak dapat menggantikan posisi orang tua sebagai petani4. Dengan cara ini kelangsungan ekonomi keluarga dapat terjamin secara terus menerus dan nilai-nilai budaya masyarakat petani dapat dipertahankan. Namun, otoritas orang tua yang berkeinginan untuk menciptakan anak-anaknya menjadi seorang petani ternyata telah menghalangi anak-anak untuk melakukan migrasi ke kota yang menawarkan pekerjaan yang lebih baik dan menjanjikan.

Pada masyarakat modern peranan anak mulai beralih menjadi asset bagi orang tua. Pada awal perkembangan industri di Inggris peranan pekerja anak sangat penting5terutama untuk memproduksi barang-barang tekstil. Terbukanya kesempatan perempuan bekerja di sektor industri dan lahirnya kebijakan-kebijakan yang melarang mempekerjakan anak-anak, maka pemanfaatan pekerja anak di sektor industri mulai berkurang (Blood, 1972).

3

Untuk lebih jelasnya lihat Blood (1994) dalam buku Sociology of The Family, yang menjelaskan secara rinci bagaimana pelibatan pekerja anak untuk membantu kelangsungan hidup keluarga.

4

Pada mulanya anak bekerja untuk membantu orang tua, terutama pada sektor pertanian sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar. Walaupun mereka tidak menerima upah, pekerjaan yang mereka lakukan sangat banyak. Anak -anak yang bekerja digambarkan sebagai “kuda beban yang jinak” mereka melakukan pekerjaan yang ditugaskan tanpa banyak menuntut (Rahadi, 1994).

5

Anak-anak di pekerjakan dalam usia yang sangat muda mencapai puncak pembenaran pada masa Revolusi Industri (1750 -1840). Anak dipandang mampu dan wajib melakukan pekerjaan yang sebenarnya hanya tepat bagi orang dewasa (Aristriani, 2000).


(31)

Dalam kenyataannya, mempekerjakan anak atau tidak dalam kegiatan industri hanya berhasil pa da keluarga yang kebetulan mengalami perubahan alokasi sumber daya keluarga termasuk alokasi tenaga kerja anak. Boserup (1984) menunjukkan bahwa pada masyarakat awal era industri, seluruh anggota keluarga dituntut untuk turut bekerja agar keluarganya dapat bertahan hidup. Dalam konteks ini karena anak–anak termasuk dalam usia produktif, maka kemungkinan besar mereka terseret sebagai tenaga kerja menjadi lebih besar. Disini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya awal munculnya mempekerjakan anak baik dalam sektor ekonomi agraris maupun industri, karena berke mbangnya prinsip alokasi sumber daya keluarga.

Demikian juga halnya persoalan pekerja anak di Indonesia, bukanlah fenomena yang berkembang pada saat ini, tetapi telah berkembang sesuai dengan perkembangan kelu arga dan pembagian alokasi tenaga kerja. Anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan misalnya, telah ditemui sejak awal abad ke-20. Status pekerja anak pada masa itu sangat tergantung pada sistem kerja di unit-unit usaha perkebunan. Yasuo Uemura (1986) menunjukkan bahwa pemakaian tenaga kerja anak digunakan dalam proses pembudidayaan tebu di perkebunan Krian, pada afdeling Sidoarjo, Jawa Timur. Anak-anak ini terutama bekerja untuk pemupukan tanaman tebu dan pada saat panen tebu. Pada waktu yang bersamaan, penggunaan tenaga wanita dan anak-anak terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Sumatera Timur6 (Breman, 1997). Pekerjaan yang dilakukan anak-anak sebagaimana dikutip Breman (1997) dari Van den Brand adalah terutama pada masa menanam dan panen tembakau, tidak jarang anak laki-laki dan perempuan harus bekerja terus sampai malam hari untuk menggantungkan daun tembakau yang sudah dipetik di lumpung pengeringan.

Secara kultural, anak-anak yang bekerja untuk pekerjaan rumahtangga maupun pekerjaan mendapatkan upah merupakan hal yang lazim dilakukan. Kajian Geertz (1983) mengenai keluarga Jawa di Mojokuto, menunjukkan bahwa anak perempuan kecil diperkenalkan dengan dunia jual beli untuk segera belajar tentang seluruh pekerjaan berbelanja sehari-hari sendirian bagi keluarga jika

6

Daerah-daerah perkebunan tersebut saat ini dikenal dengan nama Binjai, Tembung, Sampali Helvetia, Klumpang, dan Hamparan Perak. Desa Buluh Cina yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini termasuk salah satu daerah rintisan perkebunan tembakau Deli karena letaknya berada di Kecamatan Hamparan Perak dan lebih lanjut akan dibahas pada bab be rikutnya.


(32)

9 9

ibunya seorang pedagang di pasar, serta barangkali juga mengambil alih peranan ibu selama periode tertentu. Anak laki-laki kecil diberi kebebasan bermain dengan sebayanya di seluruh kota, walaupun anak laki-laki pedesaan itu mempunyai pekerjaan berat tertentu, seperti misalnya menggembala ternak. Anak perempuan harus tinggal di rumah dan belajar bertanggung jawab mengurus rumahtangga.

Pekerjaan anak-anak dalam rumahtangga yang demikian dapat berkembang ke bentuk pekerjaan yang menghasilkan upah sebagaimana yang ditemukan White (1984) pada salah satu desa di Jawa bila anak-anak mulai menginjak remaja, pekerjaan mereka tentu menjadi lebih berharga. Seorang gadis mampu melakukan banyak pekerjaan rumahtangga dan untuk bekerja bersama ibunya di ladang dengan menerima upah bila ada kesempatan. Lebih lanjut, White (1984) menunjukkan bahwa anak yang mengerjakan pekerjaan rumahtangga memiliki kontribusi yang sama pentingnya dengan anak yang bekerja untuk mendapatkan upah. Paling tidak berdasarkan perkembangan usianya setelah anak tumbuh lebih besar, seorang anak tidak hanya melakukan pekerjaan rumahtangga saja, melainkan juga melakukan pekerjaan untuk mendapatkan upah. Peran produktif anak tidak jauh berbeda dengan orang dewasa. Pada usia 15 tahun, anak laki-laki terlibat dalam proyek pembangunan dan anak perempuan bekerja sebagai penenun di suatu pabrik kecil, rata -rata mereka menerima upah sama besar dengan orang dewasa. Sementara itu, anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun telah mampu mela kukan pekerjaan rumahtangga, sehingga anggota keluarga yang lebih besar atau dewasa dapat melakukan kerja produktif dengan memperoleh upah.

Penggunaan tenaga kerja anak dalam ekonomi rumahtangga dengan bekerja mendapatkan upah sendiri juga dapat dilihat da ri temuan Harbirson (Effendi, 1995). Harbirson memperlihatkan bahwa pada masyarakat pedesaan yang mengalami transisi perubahan kondisi ekonomi akan menuntut adaptasi keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia terutama dengan memanfaatkan tena ga kerja keluarga. Jika tenaga kerja wanita, terutama ibu rumahtangga belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa diikutsertakan dalam menopang ekonomi keluarga.

Di luar aspek budaya dan ekonomi, fenomena pekerja anak dapat dipahami dalam kerangka sistem perekonomian yang kapitalistik. Teori transisi industrialis yang dikembangkan Rodgers dan Standing dalam Effendi (1995) menjelaskan bahwa pada tahap awal industrialisasi dibutuhkan penumpukan


(33)

modal untuk meningkatkan produksi dan teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita dan anak-anak. Oleh karena itu di kebanyakan negara berke mbang wanita dan anak-anak secara kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua, da n karenanya dapat dibayar murah, sehingga pemilik modal lebih menyukai mempekerjakan mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah.

Pemikiran Rodgers dan Standing di atas dapat memberikan pijakan unt uk memahami persoalan atau kondisi pekerja anak di perkebunan dalam konstelasi perkembangan perekonomian perusahaan berkaitan dengan proses rasionalisasi sebagai upaya meningkatkan efisiensi perusahaan. Akan tetapi, penelitian ini akan diarahkan dengan menitikberatkan aspek kondisi pekerja anak, baik dirinya pribadi maupun latar belakang atau kondisi rumahtangganya. Walaupun demikian, aspek yang dikemukakan Rodgers dan Standing di atas tidak dapat diabaikan sebagai struktur makro yang membingkai fenomena pe kerja anak di perkebunan. Hal ini disebabkan keberadaan komoditi perkebunan yang langsung berhubungan dengan pasar dunia, sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi komunitas perkebunan ini dengan pasar internasional.

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak

Diskursus tentang batasan usia anak dan pekerjaa n apa yang layak dilakukan seorang anak hingga kini masih menjadi permasalahan yang belum tuntas. Setidaknya, hal ini diakibatkan keragaman batasan umur anak dalam Undang-Undang dan peraturan yang berlaku di suatu negara dan juga dipengaruhi persepsi yang berbeda serta tradisi budaya yang berkembang pada komunitas tertentu. Perdebatan mengenai batasan pekerja anak mendapat titik terang, setelah disahkannya Konvensi Hak Anak (KHA) pada tahun 1990. Konsepsi anak dalam KHA ditetapkan sebagai seseorang yang berusia 18 tahun, kecuali apabila peraturan perundang-undangan suatu negara menetapkan secara hukum bahwa usia dewasa lebih muda dari 18 tahun.

Untuk konteks Indonesia, terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan batasan usia anak. Misalnya, UU No. 12 tahun 1948, mendefenisikan anak adalah laki-laki atau perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah. Selanjutnya, dalam UU Kesejahteraan anak No. 4 tahun 1979 defisini anak adalah


(34)

11 11

seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan lain dapat dilihat pada UU Pengadilan anak No. 3 tahun 1977 yang menetapkan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Dalam Surat Edaran menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/1997, anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Sementara itu, UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Memperhatikan batasan-batasan tersebut, anak dapat didefenisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, batasan anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996 (Irwanto, 1999) memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10 – 14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal satu jam dalam seminggu. Kendati demikian, BPS 1993 meletakkan kategori anak yang berstatus sebagai pekerja anak tak dibayar, misalnya membantu orang tua menjaga warung, sebagai pekerja anak. Dari kondisi ini, Badan Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996 menjelaskan bahwa pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak (child labour). Buruh anak diidentifikasikan sebagai anak yang bekerja dalam situasi yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif. Konsepsi tersebut tidak mengabaikan bahwa pekerja anak kadangkala juga berada pada lingkungan kerja yang membahayakan. Akibatnya, batasan antara pekerja anak dengan buruh anak menjadi kabur.

Batasan lainnya dapat ditemukan pada Horiushi (Sofian et al. 1999) yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya yang bertujuan membiayai diri dan keluarganya. Sementara itu, Tjandraningsih (1995) melihat pekerja anak sebagai anak-anak yang melakukan pekerjaan rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Berdasarkan kedua batasan tersebut dapat dilihat bahwa aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Konsepsi pekerja anak yang digunakan dalam penelitian ini sedikit banyak mengikuti batasan yang dikemukakan oleh Sofian dan Tjandraningsih di atas dengan mempertimbangkan konsep anak dalam batasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian pekerja anak di perkebunan merupakan anak yang berusia dibawah 18 tahun yang melakukan


(35)

pekerjaan secara rutin dengan mendapatkan upah maupun sebagai pekerja keluarga yang tidak diupah. Kecenderungan yang terjadi pada pekerja anak perkebunan tembakau Deli adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, namun pekerjaan yang mereka lakukan cenderung eksploitatif karena diiringi dengan tekanan dari orang tua untuk mengejar target kerja borongan.

Berbagai penelitian mengenai pekerja anak menunjukkan kemiskinan secara umum dipandang sebagai faktor utama penyebab anak bekerja. Studi yang dilakukan White (1984) di lingkungan rumahtangga desa di Jawa membuktikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pekerja keluarga atau bekerja dalam usaha lain. Sementara itu, Irwanto

et al. (1995), mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya pekerja anak, antara lain; tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, tingkat pendapatan keluarga, dan kondisi lingkungan. Dengan demikian faktor penyebab keterlibatan anak-anak bekerja umumnya lebih bersifat struktural. Artinya, pekerja anak muncul bukan hanya sekedar faktor kemiskinan, melainkan karena keluarga mengalami apa yang disebut Chambers (1987) sebagai ”perangkap kemiskinan”, yang meliputi kemiskinan itu sendiri, kerentanan, ketidakberdayaan, keterisoliran, dan kelemahan jasmani.

Untuk menghindari kemiskinan penduduk desa biasanya melakukan strategi sustainable livelihood yaitu strategi mempertahankan hidup dan keberlanjutan hidupnya dengan memanfaatkan segala kemampuan, pengetahuan, akses dan tuntutan serta kekayaan yang dimiliki secara lokal maupun global dan terus meningkatkan kemampuan dirinya dengan bekerja sama dengan orang lain, berinovasi, berkompetisi, agar dapat bertahan dalam kondisi berbagai perubahan dan tercapai suatu keadilan (Chambers, 1992). Kaitannya dengan pekerja anak pada rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli, konsep ini dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana sebuah keluarga mengerahkan segala kemampuan keluarganya seperti mengerahkan seluruh tenaga yang ada termasuk wanita dan anak-anak, orientasi nilai budaya, pengetahuannya, serta asset yang dimiliki keluarga untuk tetap bertahan di komunitas perkebunan.

Praktek mempekerjakan anak di perkebunan hingga kini terus berkembang, meskipun pelibatan anak bekerja berbeda-beda sesuai dengan komoditas yang dikembangkan. Di perkebunan besar meskipun ada peraturan mengenai pembatasan umur terendah bagi buruh perkebunan, namun sistem


(36)

13 13

produksi perkebunan telah membuka kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam proses produksi perkebunan. Struktur perkebunan yang ditandai dengan pemakaian sistem kerja borongan dan target, maka orang tua terpaksa melibatkan tenaga kerja anak. Kartodirdjo dan Suryo (1991) memperlihatkan bahwa buruh perkebunan berada dalam kondisi hidup yang serba berat. Secara fisik mereka dieksploitasi, memperoleh upah minimal, dan berada pada taraf hidup yang sangat rendah. Keadaan tersebut memaksa buruh mencari tambahan penghasilan dan mengerahkan tenaga anak-anak.

Lebih lanjut Sairin (1994) mengungkapkan bahwa keterlibatan anak dalam produksi perkebunan juga tidak terlepas dari konteks masyarakat perkebunan sebagai suatu komunitas yang memiliki sistem ekonomi dan sosial tersendiri yang memiliki perbedaan dengan sistem yang berlaku dalam masyarakat luas7. Status pekerjaan seseorang berkait langsung dengan status sosialnya dalam masyarakat ataupun sebaliknya. Mobilitas sosial sangat jarang terjadi dan buruh perkebunan biasanya menempati kelas paling bawah, sehingga kehidupan mereka tidak berubah dari bayang-bayang kemiskinan. Keadaan ini pada akhirnya berdampak luas pada strategi buruh perkebunan untuk meningkatkan pendapatan kerluarga yang dalam banyak kasus mempunyai sasaran minimal untuk mempertahankan hidup. Dalam hal ini rumahtangga buruh perkebunan melakukan strategi bertahan hidup melalui optimalisasi peranan ekonomi dari rumahtangga de ngan melibatkan anak-anak terjun ke pasar tenaga kerja (Sukamdi dan Daryati, 1997).

Muntiyah dan Sukamdi (1997) menegaskan bahwa ada dua hal yang mempengaruhi pemanfaatan pekerja anak. Pertama, penghasilan yang diperoleh oleh kepala keluarga, baik penghas ilan pokok maupun sampingan sangat terbatas.

Kedua, tersedianya lapangan kerja di daerah tersebut. Dengan demikian faktor yang mendorong anak-anak terlibat bekerja merupakan suatu kebutuhan. Bila mereka tidak ikut bekerja, kebutuhan rumahtangga sulit dipenuhi. Namun, upaya ini sering menemui hambatan karena tidak tersedianya peluang kerja sehingga kemudian mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang sama dengan orang tua. Anak-anak inilah yang sering disebut pekerja anak yang terpaksa bekerja.

7

Sistem ekonomi dan sosial yang ada diperkebunan ini disebut sebagai sistem ekonomi dualisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Boeke (1953). Sistem ekonomi dualisme di dalam hubungan industrial ini bersumber dari sejarah perkebunan di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia yang terkait dengan sejarah kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi (Kartodirdjo dan Suryo, 1991; Mubyarto, 1991).


(37)

Sayogyo (1991) menyatakan bahwa strategi yang dilakukan petani dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya dapat dibedakan kepada tiga.

Pertama, strategi akumulasi, yang dilakukan petani lapisan atas, sebagai upaya mentransper surplus pertanian untuk membesarkan usaha di luar sektor pertanian.

Kedua, strategi konsolidasi, dilakukan petani lapisan menengah, dalam upaya memilih sektor luar pertanian sebagai pengembangan ekonomi. Ketiga, strategi bertahan hidup, yang merupakan strategi petani lapisan bawah, yaitu menunjuk pada pentingnya struktur di luar sektor pertanian sebagai sumber nafkah. Dalam hal ini keluarga buruh perkebunaan tembakau Deli terpaksa melibatkan anak-anak untuk bekerja sebagai strategi bertahan hidup rumahtangga.

Strategi bertahan hidup dengan cara melibatkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan lebih menegaskan beberapa kondisi tentang bagaimana buruh perkebunan menghadapi perlakuan pihak pengusaha, bagaimana mereka beradaptasi dengan pekerjaan di lingkungan perkebunan, juga dalam konteks bagaimana para buruh mempertahankan kehidupannya secara pribadi dan rumahtangganya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini tidak lepas dari konteks pendapat Suhendar dan Winarni (1998) bahwa upaya sebuah keluarga bisa tetap survavive mengamankan seluruh keluarga dan solidaritas komunitas tetap kuat, maka sikap kepatuhan terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama dilembagakan dalam komunitasnya. Dalam kerangka kultural, hal ini tentu saja peranan anak dalam ekonomi keluarga menjadi penting.

2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga

Peranan merupakan aspek dinamis dari status yang diartikan sebagai suatu posisi seseorang dalam suatu kelompok, berisi seperangkat peranan yang memberi batasan-batasan tentang perila ku yang diharapkan dari orang yang menempati status tersebut dalam berhubungan dengan orang lain. Menurut Soekanto (1997), terdapat tiga pengertian peranan (role) yaitu : (1) peranan meliputi norma -norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; (2) peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial dalam masyarakat. Peranan seseorang dalam masyarakat diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Di pedesaan masih berlaku norma tradisional yang umumnya


(38)

15 15

mengharapkan peranan anak dalam membantu ekonomi keluarga, bahkan di beberapa komunitas tertentu membantu ekonomi keluarga dianggap sebagai kewajiban seorang anak. Misalnya penelitin Geertz (1983) pada keluarga Jawa anak dianggap sebagai pembantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Status anak bekerja tidak saja mengandung peranan yang mengatur hubungannya dengan orang lain , tetapi juga peranan yang mengatur hubungan dengan keluarganya, khususnya dalam memberi manfaat ekonomi bagi keluarga tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peranan anak adalah suatu pola perilaku yang diharapkan dari seorang anak dalam mengambil bagian dari fungsi ekonomi keluarga. Peranan ini ditampilkan melalui alokasi waktu untuk bekerja dalam batas-batas pekerjaan yang dapat diterima keluarganya.

Pertanyaan yang muncul kemudiaan adalah mengapa keterlibatan anak dalam pekerjaan berlangsung secara mapan dan menjadi pola yang umum? Hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan struktural fungsional, yang memberi penjelasan bahwa bertahannya suatu praktek atau pola perilaku tertentu dapat dipahami dengan melihat manfaatnya. Merton dalam Johnson (1990) menyatakan bahwa sesuatu tindakan dapat bertahan jika didukung oleh kesadaran bahwa tindakan tersebut lebih memiliki konsekuensi yang memberi manfaat bagi masyarakat. Peranan anak dalam ekonomi keluarga yang berlangsung secara mapan, terus menerus, mengisyaratkan bahwa ada kecenderungan konsekuensi dari penampilan peranan anak tersebut disadari memberi manfaat. Konsekuensi manfaat tersebut dapat membentuk konsepsi yang menjadi keyakinan tentang cita-cita manfaat yang hendak diwujudkan dan memotivasi pemiliknya untuk mempertahankan pola perilaku tersebut. Bertolak dari tinjauan tersebut secara logis dapat dinyatakan bahwa konsepsi orang tua tentang manfaat yang diharapkan dari aktivitas kerja anak, menentukan keberlangsungan peranan anak.

Dalam struktur keluarga ada lima fungsi yang harus dijalankan agar kelangsungan hidup keluarga tercapai. Adapun fungsi yang merupakan sub struktur tersebut menurut Levy (1991), sebagaimana dikutip Newman & Grauerholz (2002) adalah: (1) diferensiasi peranan; (2) alokasi ekonomi; (3) alokasi integrasi dan ekspresi; (4) alokasi kekuasaan; dan (5) alokasi solidaritas.

Pertama, diferensiasi peranan, adalah cara mendudukkan anggota kerabat pada berbagai posisi menurut fungsinya atas pertimbangan perbedaan umur, jenis kelamin, generasi, posisi ekonomi dan dalam pe mbagian kekuasaan. Hal ini


(39)

diukur dengan curahan tenaga setiap anggota keluarga dalam berbagai pekerjaan produktif atau reproduktif dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan ekonomi keluarga. Konsepsi ini erat hubungannya dengan konsepsi ekonomi rumahtangga yang mencerminkan strategi dasar dari organisasi rumahtangga.

Kedua, alokasi ekonomi, adalah usaha-usaha produksi yang dilakukan setiap rumahtangga untuk keperluan konsumsi anggotanya akan barang dan jasa seperti: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Alokasi ekonomi menunjukkan peranan setiap anggota rumahtangga untuk memperoleh pendapatan dengan cara menghasilkan barang dan jasa. Alokasi ekonomi dalam penelitian ini akan menunjukkan peranan anak dalam meningkatkan pendapatan keluarga .

Ketiga, alokasi integrasi dan ekspresi, diartikan sebagai distribusi metode dan teknik sosialisasi, penanaman, dan pemeliharaan nilai, sikap, dan tatacara struktur kekerabatan khusus diantara anggota rumahtangga. Keempat, alokasi solidaritas, memiliki arti distribusi hubungan di antara anggota menurut isi, kekuatan, dan intensitas hubungan. Kelima, alokasi politik, merupakan distribusi kekuasaan atas kegiatan dari berbagai anggota unit kekerabatan. Analisis terhadap proses politik dalam keluarga dibatasi pada bidang-bidang penting yang terkait langsung dengan kebutuhan anak, seperti pendidikan dan kebutuhan fisik anak.

Peranan anak dalam keluarga setidaknya dapat diamati dari aspek nilai anak bagi orang tua. Konsep nilai anak untuk pertama sekali dikemukakan oleh Hoffman (1973) yang menyatakan bahwa di dalam keluarga lapisan bawah di pedesaan dalam rangka bertahan atau memperbaiki kehidupannya, maka timbul suatu budaya yang diturunkan secara turun temurun, yaitu mengenai nilai anak. Lebih lanjut Hoffman (1973) menyatakan nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang tua atau kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhinya. Nilai-nilai tertentu seperti yang tercermin dalam berbagai kebutuhan psikologis tertentu, juga nilai-nilai ini terkait pada struktur sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Nilai anak ini dapat diperoleh melalui keluarga dan juga dapat diperoleh melalui cara -cara yang lain.

Berdasarkan hasil penelitian Hoffman (1973) di beberapa negara, nilai anak dapat di rumuskan menjadi sembilan kategori. Dari kesembilan kategori nilai anak tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi tiga dimensi utama nilai anak, yaitu; (1) nilai psikologis anak, (2). nilai ekonomi anak, dan (3). nilai sosial


(40)

17 17

anak. Pertama, nilai psikologis, berkaitan dengan nilai anak yang diharapkan dapat memberi kebahagian, rasa aman, kepuasan, cinta dan persahabatan. Kedua,

nilai ekonomi, berkaitan dengan peranan anak dalam memberikan bantuan yang bernilai ekonomi berupa bantuan tenaga kerja. Ketiga, nilai sosial, berkaitan dengan peranan anak dalam menggantikan kewajiban orang tua dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat.

Suleeman (1999), menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan anak perempuan lebih banyak daripada bantuan anak laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, adanya kepercayaan bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat yang tercermin dari tugas perempuan dalam keluarga mengasuh adik sebelum menikah, setelah menikah merawat anak dan melayani suami, serta merawat orangtua . Kedua, perempuan biasanya tidak mencari nafkah, sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat orangtua.

Berbeda dengan pendapat Suharto et al. (1990) yang mengungkapkan bahwa peranan anak laki-laki lebih mempunyai nilai positif dan lebih tinggi dibanding anak perempuan karena; (1) bantuan praktis dan keuangan; (2) jaminan hari tua; (3) melanjutkan keluarga; (4) persahabatan; dan (5) kewajiban sosial.

Berkaitan dengan nilai anak, Sugito (1979) mengemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan orang tua terhadap anak dapat dilihat dari keuntungan kehadiran anak dalam keluarga yaitu dari segi kepaduan keluarga berupa kemajuan hubungan antara sua mi dan isteri dan kontinuitas garis keturunan. Dalam penelitiannya pada masyarakat petani di Jawa, Sugito juga mengemukakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian para petani (lapisan bawah) yang umumnya berpenghasilan rendah, cenderung menempuh cara penambahan tenaga kerja keluarga, diantaranya tenaga anak-anak.

Kajian mengenai nilai anak dilakukan juga oleh White (1984) pada masyarakat pedesaan di Jawa. White mengemukakan bahwa anak tidak saja penting sebagai sumber tenaga produktif dalam ekonomi material saja, (dimana anak menunjukkan peran yang sangat nyata dalam ekonomi rumahtangga), tetapi juga mempunyai nilai non material seperti menolong orang tua, menjaga harta keluarga maupun sebagai sumber keselamatan bagi orang tua pada usia lanjut. Hal ini menjadi sangat penting, khususnya di pedesaan Jawa, dimana hampir se mua orang tua yang telah melampaui usia produktif dipelihara oleh anak-anak mereka.


(41)

2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan Pola Budaya Buruh Perkebunan

Konsep nilai kerja berkaitan langsung dengan masalah tindakan, kerja dan nilai. Parsons (1973) mengartikan tindakan sebagai aksi yang melibatkan individu sebagai subyek yang aktif dan kreatif untuk memilih alternatif -alternatif dalam rangka meraih tujuan. Hal ini merupakan wujud refleksi dari proses penghayatan diri, aktivitas dan kreativitas. Parson dalam Johnson (1990) menyebut ini sebagai orientasi nilai, yang merupakan salah satu elemen dasar yang membentuk tindakan seseorang. Lebih lanjut, Parsons melalui teori aksi (1973) membagi lima unit dasar tindakan sosial yaitu; (1) adanya individu sebagai pelaku, (2) pelaku dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu, (3) pelaku mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuannya, (4) pelaku berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan, (5) pelaku berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhi pelaku dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan.

Kerja diartikan sebagai bagian yang lebih khusus dari tindakan. Pudjiwati (1985) menyatakan ciri-ciri kerja meliputi: (1) pelaku mengeluarkan energi, (2) pelaku menjalin interaksi sosial dan mendapat status, (3) pelaku memberi sumbangan dalam produksi barang dan jasa, (4) pelaku mendapatkan penghasilan

cash atau natura, dan (5) pelaku mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu. Berdasarkan hal itu, kerja dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga baik bersifat fisik, mental maupun sosial dengan imbalan berupa insentif ekonomi.

Wallman (1979) menguraikan bahwa secara sosiologis, kerja tidak bermakna tanpa adanya pembagian kerja, dan juga tidak bermakna secara fisik jika tingkatan teknologi tidak dipertimbangkan. Demikian pula, secara antropologi kerja dalam budaya ya ng berbeda mempunyai makna yang berbeda. Kerja dalam pandangan masyarakat industri misalnya, hanya berfungsi sebagai unit produksi semata, sementara dalam konteks rumah tangga petani kerja umumnya merangkap sebagai unit produksi, konsumsi dan reproduksi sekaligus. Lebih lanjut, Wallman (1979), menjelaskan bahwa makna kerja bervariasi karena perbedaan orang yang melakukannya. Beberapa pekerjaan dinilai lebih tinggi karena dibentuk oleh suatu kategori orang dibandingkan pekerjaan lainnya. Orang-orang dapat dikhususkan menjadi bentuk-bentuk pekerjaan dengan beberapa kriteria yang berbeda,


(42)

19 19

misalnya berdasarkan karakteristik fisik, seperti jenis kelamin, umur, kebangsaan, ras atau kasta. Pekerjaan dapat membentuk identitas dan memperoleh status sosial. Hasil pene litian pada masyarakat Israel menemukan bahwa konsep kerja berkembang sepenjang sejarah manusia. Survei yang dilakukan pada tahun 1980 – 1990. Mayoritas responden pada kedua periode itu menunjukkan kerja diartikan dimana seseorang mendapatkan bayaran.

Sementara itu, nilai merupakan pilihan moral yang berkaitan dengan apa yang dianggap baik dan buruk-pantas atau tidak dijadikan pedoman bertingkah laku. Hendropuspito (1989) merumuskan pengertian nilai dalam kerangka fungsional yaitu sebagai suatu penghargaan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama. Daya guna itu menjadikan sesuatu diberi penghargaan dan dipertahankan. Lebih lanjut Hendropuspito, menyatakan bahwa nilai akan mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan sosial yang didukung oleh motivasi. Berdasarkan ketiga konsep yang dikemukakan di atas, maka nilai kerja dapat dirumuskan sebagai suatu persepsi atau penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan suatu bentuk materi maupun non materi yang dapat memberi kepuasan bagi keluarga.

Ekonomi klasik percaya bahwa nilai kerja penting karena nilai tersebut menjadi ukuran nilai pertukaran barang- barang yang diperjualbelikan. Sebab ada aturan natural universal dalam ekonomi, yaitu pendapatan sama dengan pengeluaran, maka akan tercapai keseimbangan natural dari pertukaran nilai kerja tersebut. Artinya, setiap individu bebas bekerja meningkatkan kebahagiaan hidup mencari kesenangan, karena pada akhirnya akan tercapai kebahagiaan yang tidak hanya untuk seorang individu, tapi juga untuk seluruh masyarakat.

Perbedaan kondisi sosial ekonomi memiliki makna perbedaan pengalaman-pengalaman dan kebutuhan. Orang-orang berpengalaman dan berpendidikan rendah dapat memiliki pengalaman sosialisasi, bekerja, berteman, serta pengalaman sosial yang berbeda dengan orang yang berpenghasilan dan berpendidikan yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan ini merupakan karakteristik individu yang dapat membuat fokus perhatian yang berbeda-beda pula dalam memper sepsi sesuatu, termasuk mempersepsi nilai kerja. Akibatnya pandangan tentang nilai kerja pun dapat berbeda -beda.


(43)

Tjakrawati (1984) sebagaimana yang dikutif Lubis & Soetarto (1992) menyatakan bahwa nilai kerja dapat diukur melalui enam dimensi, yaitu: (1) dimensi lahan, (2) dimensi tenaga kerja, teknologi dan hasil kerja, (3) dimensi modal, (4) dimensi pasar, komoditas dan transportasi, (5) dimensi pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, serta (6) dimensi hubungan teman dan kerabat. Nilai kerja ini merupakan suatu akumulasi dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut sosialisasi yang terutama dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Faktor eksternal menyangkut aksessibilitas daerah, pendidikan dan kesempatan bekerja . Seseorang akan memiliki penilaian yang ber beda terhadap beragam pekerjaan. Namun kenyataannya, tidak seluruh harapan yang terkandung dalam nilai kerja dapat mewujudkan kenyataan pekerjaan yang dijalani. Dengan demikian ada peluang terjadi kesenjangan antara harapan pekerjaan dengan kenyataan pekerjaan yang sedang dijalani.

Berbeda dengan nilai kerja pada keluarga buruh, khususnya buruh perkebunan. Kehidupan yang khas berbentuk negara dalam negara sejatinya menciptakan nilai kerja tersendiri. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap sebagai penjamin kehidupan keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya nilai kerja buruh. Van Neil (2003) mengungkapkan bahwa kaum tani Jawa tidak terbiasa denga n sistem pengupahan terbuka dan umumnya tidak menganggap kerja upahan sebagai satu-satunya cara memuaskan kebutuhan. Kaum tani Jawa tidak memahami nilai kerja sebagai alat mencapai tujuan, melainkan memandang kerja sebagai beban yang harus dipikul dan diderita.

Wajah budaya masyarakat perkebunan seperti yang dijumapai di luar Jawa, khususnya Deli, menurut Kartodirdjo dan Suryo (1991), banyak menampilkan karakteristik masyarakat perkebunan di Jawa. Baik lokasi, isolasi, dan otonomi komunitas, serta dualisme ekonomi yang terjadi antara pengelola perkebunan dengan buruh maupun petani sekitar perkebunan, pluralisme sosial, hegemoni pengusaha, eksploitasi tenaga kerja di mana perlu dengan menggunakan daya paksa berupa teror dari unsur aparat keamanan maupun preman. Lebih lanjut Kartodirdjo dan Suryo (1991) , menjelaskan perbedaan antara budaya perkebunan luar Jawa dengan Jawa. Pada umumnya derejat isolasi perkebunan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Jawa sendiri. Hal itu disebabkan lebih berkembangnya infrastruktur di Jawa, sehingga komunikasi dengan daerah sekitar perkebunan yang dekat jaraknya untuk memobilisasi buruh cepat dilakukan.


(44)

21 21

Dengan demikian kaum pekerja tidak terlepas dari akar sosial budayanya sehingga tidak mengalami alienasi kultural. Selain itu para pekerja perkebunaan di samping memburuh di perkebunan juga masih bisa melanjutkan pekerjaan sendiri. Kontras dengan petani Jawa, buruh perkebunan di luar Jawa seperti digambarakan Breman (1997) buruh tembakau Deli mengalami alienasi kultural, intimidasi politik, kurangnya kontak dengan masyarakat luar, sehingga mempengaruhi terhadap pandangan mereka tentang nilai kerja. Menurut Breman8 (1997) nasib para kuli di perkebunan Sumatera Timur, mereka mengalami kekalahan yang amat sangat akibat perilaku tuan kebun yang menindas, bukan karena masalah budaya mereka yang lema h. Kuli-kuli di perkebunan tembakau yang sengsara kehidupannya, menurut Breman diakibatkan oleh pola pendisiplinan oleh tuan kebun yang berlebihan. Para kuli oleh tuan kebun hanya dipandang sebagai suatu kolektif dengan sifat-sifat negatif. Pendisiplinan yang keras (paksaan) diberlakukan sejak tuan kebun memberi panjar dalam rangka mengikat tenaga kerja di perkebunan tempat kuli mengabdikan dirinya. Dinyatakan bahwa dari semua kuli, kuli perempuan dan anak-anak sebagai yang paling sengsara, rentan terhadap pemerasan dan penindasan dari tuan kebun. Para kuli ditetapkan untuk bekerja selama sepuluh jam perhari, namun prakteknya mereka bekerja lebih lama, terkadang sampai larut malam. Paradoks dengan jam kerja yang lama para tuan kebun menggaji rendah para kuli, terutama para pembantu di ladang dan para kuli yang tidak bekerja di ladang tembakau paling rendah upahnya.

Bagi keluarga buruh, pekerjaan perkebunan dianggap sebagai nilai kerja yang mempunyai nilai tinggi. Untuk itu, mereka memiliki harapan dan pandangan pekerjaan di perkebunan semestinya dipertahankan dengan cara mensosialisasikan nilai kerja perkebuna kepada anak-anak dan regenerasi keturunan mereka selanjutnya. Sebetulnya sebagian buruh telah memiliki kekayaan di luar perkebunan tetapi lebih memilih tinggal di perkebunan yang membutuhkan biaya hidup lebih rendah (karena ada subsidi perusahaan). Posisi sebagai buruh disandang seumur hidup secara bergenerasi dipandang sebagai hal yang wajar. Hal ini terjadi akibat sulitnya mobilitas vertikal pada per kebunan tembakau yang memang pihak perkebunan tidak banyak mengubah pola manajemen.

8

Lebih lanjut lihat Jan Breman, 1997. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke- 20, Pustaka Utama Grafitri, Jaka rta.


(45)

2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga

Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi pokok yang sulit untuk dirubah atau digantikan oleh orang lain. Goode (2002) me ngemukakan bahwa keluarga sebagai suatu or ganisasi mempunyai fungsi me lahirkan, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan dan kontrol sosial. Mengacu kepada fungsi keluarga sebagaimana yang dikemukakan Goode (2002), maka fungsi pemasyarakatan dan kontrol sosial termasuk fungsi sosialisasi. Artinya, sosialisasi tidak lain merupakan bentuk pengasuhan yang harus dilalui oleh setiap manusia dalam memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan bela jar mengenai peran-peran sosial, sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang lebih luas.

Davis (1960) mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan dan pewarisan kebudayaan serta tingkah laku dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hal ini berarti, orang yang baru dilahirkan akan mendapat pengaruh dari lingkungan keluarga dan masyarakat dimana ia dibesarkan. Lebih lanjut, Soe’oed (1999) menyatakan sosialisasi merupakan suatu proses pengajaran yang dilakukan berulang-ulang mengenai keterampilan, perangai, dan nilai sikap yang dihubungkan dengan pekerjaan yang ada atau peranan-peranan yang diharapkan dari individu-individu.

Dengan memperhatikan batasan sosialisasi sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosialisasi mengandung unsur membentuk individu dengan menerapkan pola -pola sosial yang sesuai dan diinginkan oleh keluarga maupun masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Cohen yang diterjemahkan oleh Simamora (1983) bahwa tujuan pokok sosialisasi adalah: (1) memberikan keterampilan kepada orang-orang yang membutuhkan dalam kehidupannya kelak di masyarakat; (2) pengendalian fungsi-fungsi organik harus dipelajari melalui latihan mawas diri yang tepat; (3) tiap individu harus dibiasakan dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada masyarakat.

Posisi pertama dan utama dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Melalui konsep tabula rasa dapat dijelaskan bahwa individu adalah ibarat sebuah kertas yang berbentuk dan coraknya tergantung kepada orang tua (keluarga) bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Melalui pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus menerus, diri serta


(46)

23 23

kepribadian anak dibentuk. Lewat proses sosialisasi, seorang individu menghayati, internaslisasi, nilai-nilai, norma-norma dan aturan yang dianut kelompok dimana ia hidup. Artinya ia memiliki seperangkat sikap, nilai kesukaan dan ketidaksukaan, pola reaksi dan konsep yang mendalam dan konsisten tentang dirinya sesuai dengan latarbelakang budaya, status sosial keluarga maupun perannya dalam keluarga.

Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak sama dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Keluarga Jawa sebagaimana yang dikemukakan Geertz (1983) yaitu nilai hormat, rukun dan rasa malu. Pertama, hormat

(Sungkan); Nilai hormat diajarkan orang tua semenjak anak masih kecil, misalnya mengajarkan kepada anak untuk memakai bahasa krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, memakai tangan kanan ketika menerima sesuatu dari orang lain, memanggil ”mbak atau mas” kepada kakak dan lain-lain. Kedua, Rukun; memelihara hubungan yang harmonis (hidup rukun) sehingga hal-hal yang dapat mengakibatkan konflik harus dihindari. Misalnya, bila memiliki perasaa n kurang mengenakkan kepada seseorang yang dapat mengakibatkan konflik lebih baik jangan diungkapkan, kakak harus mengalah kepada adik, tidak boleh berselisih atau bertengkar dengan saudara atau teman dan lain-lain. Ketiga, Rasa malu

(isin); merupakan ungkapan rasa kecemasan, ketakutan dan rendah diri karena merasa dirinya lebih rendah dari yang lain. Rasa malu ditanamkan kepada anak pada hal-hal yang biasanya dianggap kurang baik oleh keluarga atau masyarakat setempat. Rasa malu akan berkembang setelah anak berumur lima tahun karena anak mengenal lingkungan yang lebih luas. Rasa malu yang ditanamkan orang tua kepada anak antara lain; anak merasa malu ketika ke luar rumah tidak memakai baju, bermain dengan teman yang berbeda kelas sosial, meminjam sesuatu ke pada orang lain tetapi tidak dipinjami, meminjam uang tetapi tidak bisa mengembalikan. Nilai malu (isin) juga ditanamkan orang tua pada situasi formal seperti saat ada pesta pernikahan atau pertemuan-pertemuan keluarga, orang tua mengajarkan kepada anak untuk diam (tidak boleh berbicara) dan selalu berada di dekat orang tuanya.

Berlangsungnya proses sosialisasi adalah melalui interaksi sosial. Agen sosialisasi berperan mentransmisikan nilai-nilai dan norma -norma tertentu baik secara langsung maupun tidak la ngsung kepada individu baru. Agen sosialisasi merupakan significant other yaitu orang yang paling dekat dengan individu seperti


(47)

orang tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Walgito, (2002) mengemukakan bahwa peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak ditentukan oleh faktor sikap dan kepemimpinan orang tua. Sikap dan kepemimpinan yang dimaksud adalah demokrasi dan otoriter. Orang tua yang otoriter akan senantiasa menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan kepada anak-anak, sehingga anak akan berlaku pasif, kurang inisatif, daya tahan berkurang dan penakut. Sebaliknya sikap demokratis orang tua akan menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, jujur, dan bertujuan.

Proses sosialisasi dalam keluarga memliki dua pola, yaitu pola sosialisasi

partisipatory yang menitikberatkan pada partisipasi dan pola represif yang menitikberatkan pada ketaatan (otoriter) (Soe’oed, 1999). Pola sosialisasi partisipasi menekankan pada komunikasi berbentuk dialog yang memberi kemungkinan pada anak untuk mengungkapkan kehendak dan kebutuhannya serta mencoba segala sesuatunya, namun orang tualah yang memberi pengawasan. Disini orang tua sangat memperhatikan keperluan anak dan memberikan imbalan agar anak dapat mengulangi perilaku yang baik. Pola sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan menitikberatkan hukuman pada perilaku yang salah dan menuntut kepatuhan dari anak. Komunikasinya cenderung vertikal, searah dan mengarah ke bawah yaitu dari orang tua ke anak serta berbentuk perintah.

Holzner dan Saptari (1997), mengemukakan bahwa sosialisasi yang diterima anak dipengaruhi oleh faktor strata atau posisi keluarga dalam struktur sosial. Orang tua yang berasal dari kelas menengah cenderung menekankan kepada anak-anak tentang pentingnya prestasi. Sebaliknya, orang tua dari kelas rendah lebih menekankan kepada anak-anak mereka tentang bagaimana upaya memenuhi kebutuhan hidup segera. Kondisi keluarga yang miskin, didukung oleh lingkungan kondusif untuk bekerja menyebabkan anak-anak terpaksa masuk ke pasar tenaga kerja . Parker dan Brown sebagaimana dikutip Ulrich (1989) menyatakan bahwa sosialisasi dari rumahtangga petani menyebabkan anak-anak petani mudah melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan bertani, sehingga secara tidak sadar kemungkinan besar anak-anak tersebut akan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang petani.

Soekanto (1982) menyatakan bahwa sosialisasi dipengaruhi oleh faktor pola pendidikan keluarga yang pernah dialami orang tua. Pola pendidikan ini biasanya didukung oleh kerabat yang menganggap bahwa pola itulah yang terbaik


(48)

25 25

dan harus dilestarikan. Pola pendidikan yang diterapkan kepada anaknya, sama dengan pola yang mereka terima dahulu. Penelitian Fisher dan Miller (1984) sebagaimana dikutif Soe’oed (1999) membuktikan bahwa orang tua dengan tin gkat pendidikan dan keterampilan rendah akan menciptakan anak-anak dengan tingkat pendidikan yang hampir sama rendahnya. Siswa berprestasi rendah biasanya berasal dari kalangan keluarga pekerja.

Geertz (1983) menyatakan bahwa sosialisasi nilai kerja pada anak-anak merupakan bagian dari kepatuhan terhadap tatakrama (budaya). Hal ini dikemukakannya dalam penelitiannya pada keluarga Jawa, misalnya memperlihatkan sejak kecil anak-anak sudah dilibatkan bekerja baik di sektor domestik maupun sektor publik. Bagi keluarga Jawa anak bekerja dalam usia yang muda dianggap bernilai positif karena merupakan proses sosialisasi dalam mempersiapkan anak untuk dapat melakukan tugas-tugas tertentu ketika anak sudah dewasa. Awalnya anak bekerja dimaksudkan untuk melatih dan mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi dunia pekerjaan dan sebagai tanggung jawab dalam mematuhi perintah orang tua, akan tetapi anak-anak terjebak dan memiliki keinginan untuk tetap bekerja.

Dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dipengaruhi oleh sikap dan kepemimpinan orang tua, strata atau posisi dan status sosial keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan kepatuhan terhadap tatakrama (budaya).

2.2. Alur Pemikiran

Masyarakat perkebunan mencerminkan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Kehidupan buruh diperuntukkan dari dan untuk kebun, karena itu regenerasi orang kebun berlangsung alamiah, mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan. Keadaan ini disebabkan sistem penguasaan lahan dan kepemilikan asset produksi, serta terbatasnya akses buruh terhadap pendidikan dan fasilitas perumahan. Sementara itu, mobilitas vertikal yang terwujud dari peningkatan posisi pekerjaan tidak pernah terjadi, meskipun ada jumlahnya sangat terbatas. Posisi buruh akan disandang selamanya sampai mereka meninggal, sehingga sebagian besar rumahtangga buruh perkebunan tidak dapat meningkatkan


(49)

pendapatan keluarga. Bahkan, ruma htangga mereka masih tergolong miskin. Kemiskinan rumahtangga buruh perkebunan dapat diamati dari strategi bertahan hidup buruh yang hanya memiliki sasaran minimal untuk bertahan hidup.

Rumahtangga buruh perkebunan melakukan berbagai strategi bertahan hidup melalui optimalisasi fungsi ekonomi dari anggota rumahtangga dengan melibatkan peranan tenaga kerja anak. Peranan anak dalam ekonomi keluarga dapat berlangsung karena adanya motivasi dari orang tua untuk memperoleh manfaat dari tenaga kerja anak. Peranan anak juga terbentuk karena dipengaruhi oleh adanya nilai anak yang diyakini orang tua, yaitu: nilai psikologis anak, nilai ekonomi anak, dan nilai sosial anak (Hoffman, 1973). Tingkat pendidikan orang tua dan or ientasi nilai serta ketergantungan buruh terhadap perkebunan.

Untuk mempertahankan adanya generasi buruh anak, rumahtangga buruh tembakau melakukan sosialisasi nilai kerja buruh perkebunan dengan cara memperkenalkan dan melibatkan anak-anak bekerja di perkebunan sejak usia mereka masih kecil. Sosialisasi nilai kerja terhadap anak penting dilakukan agar memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat perkebunan. Dengan demikian anak-anak dapat bekerja sebagai buruh tembakau sesuai dengan pekerjaan orang tua mereka sebelumnya.

Lingkungan perkebunan yang sebelumnya didominasi oleh kepentingan perkebunan, saat ini sedang mengalami pergeseran. Ada beberapa hal yang menyebabkan pergeseran diantaranya; terbukanya akses dengan masyarakat luar, adanya pilihan-pilihan pekerjaan non perkebunan dan munculnya rasionalitas buruh. Dalam lingkungan yang sedang berubah, rumahtangga buruh melakukan strategi bertahan hidup dengan cara tidak saja melakukan sosialisasi nilai kerja buruh, tetapi mulai bergeser kepada nilai pendidikan. Keseluruhan strategi ini mengarahkan anak untuk tetap terlibat bekerja, baik di perkebunan untuk menggantikan posisi orang tua maupun pekerjaan di luar perkebunan. Pilihan strategi tersebut terkait dalam kerangka fungsional keluarga sebagai suatu sistem sosial. Terkait dengan sosialisasi nilai kerja, pada kenyataannya pekerja anak memberikan respon dalam bentuk penolakan dan penerimaan. Bentuk respon pekerja anak terbentuk dari penilaian anak-anak tentang nilai kerja perkebunan yang dipersepsikan sebagai pekerjaan yang kotor, jorok dan tidak memberikan masa depan yang lebih baik. Selengkapnya alur pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(1)

Gambar 3. Seorang pekerja anak sedang bekerja menanam tembakau bersama peneliti

Gambar 4. Tanaman Tembakau Deli di areal PTPN II Kebun Buluh Cina yang siap panen


(2)

Gambar 5. Seorang ibu mantan buruh tembakau Deli, sejak 20 tahun yang lalu

sudah menjalani pekerjaan menyujuk daun tembakau Deli

Gambar 6. Ibu-ibu dan anak perempuan sedang bekerja menyujuk daun tembakau di Bangsal pengeringan


(3)

Gambar 7. Seorang buruh tembakau Deli sedang menjerangi daun tembakau

sebelum digantung secara berjejer ke atas atap di Bangsal Pengeringan

Gambar 8. Peneliti bersama beberapa orang pekerja anak laki-laki yang bekerja di pabrik


(4)

Keterangan :

Batas Desa Kebun Tebu

Jalan Tanah / Jalan Desa Kebun Tembakau Jalan Raya

Perumahan Masyarakat

Kantor PTPN II (Emplacement)

Hutan


(5)

(6)