VI. SOSIALISASI NILAI KERJA DAN DINAMIKA PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEMBAKAU
Bab ini akan menjelaskan bagaimana rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli membentuk anak-anak menjadi buruh, sehingga keluarga mereka
dapat hidup terus secara bergenerasi di komunitas perkebunan. Pada penelitian ini terungkap bahwa pembentukan generasi buruh dilakukan melalui proses
sosialisasi nilai kerja. Peranan pekerja anak merupakan nilai yang berharga bagi orang tua karena dapat membantu di kebun, mengembala ternak, di rumah untuk
mengasuh adik sekalipun umur mereka masih muda. Keterlibatan anak bekerja dianggap sebagai suatu proses belajar, pendewasaan diri, menumbuhkan rasa
percaya diri, kemandirian anak, dan bagian dari proses pe mbentukan generasi buruh. Berlangsungnya pembentukan generasi buruh juga dipengaruhi oleh daya
tarik perkebunan yang menyediakan beberapa fasilitas kepada buruh, seperti perumahan, kesehatan, dan pensiunan. Fasilitas perumahan memberikan makna
penting bagi orang tua, sehingga fasilitas ini pula menjadi alasan untuk mendidik anak-anak menjadi generasi buruh. Bagian ini beturut-turut akan menjelaskan
sosialiasasi anak-anak pada rumahtangga buruh tembakau Deli, proses sosialisasi nilai pekerjaan dan perubahan sosialisasi nilai kerja. Pembahasan mengacu kepada
dua tipologi rumahtangga buruh pemilik tanah dan yang belum memiliki tanah.
6.1. Sosialisasi Anak Pada Rumahtangga Buruh Tembakau Deli
6.1.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah
Komunikasi antara orang tua dan anak merupakan salah satu cara dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, karena melalui komunikasi dengan anak
akan diketahui nilai dan norma mana yang dianggap baik dan tidak baik serta mana yang harus dilakukan atau dihindari. Dalam kehidupan sehari-hari,
rumahtangga buruh tembakau Deli yang tidak memiliki tanah melakukan pendekatan yang berbeda dalam sosialisasi terhadap anak, baik kepada anak kecil
balita, kanak-kanak 6 – 9 tahun, dan kepada anak remaja 10 – 15 tahun. Hubungan ayah dengan anak usia balita le bih akrab apabila dibandingkan dengan
hubungan kepada anak remaja. Hubungan antara ayah dengan anak laki-laki terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting, sementara dalam hal-hal yang
biasa, seorang ibu berperan sebagai penghubung antara anak dengan ayahnya, sehingga hubungan ibu dengan anak sangat dekat. Terdapat rasa canggung bila
seorang ayah bepergian santai dengan anak-anaknya, apalagi bersama dengan anak perempuan, sehingga jarang terlihat se orang ayah mengajak bermain anak-
anaknya. Orang tua pada tipe rumahtangga ini tidak pernah melakukan hal itu karena mereka tidak cukup waktu. Bila mereka tiba di rumah sepulang bekerja,
biasanya dipergunakan untuk istirahat sebentar kemudian mengerjakan sesuatu di sekitar rumahnya, seperti berkebun atau meme lihara ternak kambing, sapi, ayam
dan lain-lain. Bahkan tidak jarang menjelang magrib ayah masih mencari rumput ngarit untuk makanan ternak
Hasil wawancara yang dilakukan dengan responden dan pengamatan secara langsung, terekam pula bahwa tipe rumahtangga buruh ini berkumpul di
rumah bersama -sama dengan seluruh anggota keluarga hanya setiap sore hari sekitar pukul 17.00. Pada malam hari mereka kadang-kadang berbincang-bincang
dengan keluarga sambil beristirahat dan mendengarkan radio, menonton televisi samapai pukul 21.00 Wib. Setiap malam hari biasanya para buruh perkebunan
beserta anak-anaknya menyempatkan waktu menonton televisi ke rumah-rumah tetangga yang kebetulan memiliki televisi. Nampaknya, di kawasan perkebunan,
menonton televisi merupakan sala h satu hiburan yang paling umum dan sangat digemari untuk mengurangi kelelahan setelah seharian penuh bekerja di kebun
tembakau. Acara yang paling digemari oleh anak-anak adalah sinetron bercerita percintaan seperti Liontin, Dara Manisku, dan Si Cantik dan Si Buruk Rupa.
Nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak sama dengan yang diajarka n pada Keluarga Jawa sebagaima na Geertz 1983 yaitu nilai hormat, rukun dan rasa
malu. Seperti yang diajarkan dalam rumahtangga Bapak Syamsuddin – Surtini, bila berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa krama,
patuh dengan orang tua, bila bertemu dengan orang yang lebih tua harus lebih dahulu menyapa, hidup rukun dengan saudara, kakak harus mengala kepada
adiknya, tidak boleh berkata kotor, punya rasa malu isin malu ketika memakai barang milik orang lain tanpa izin, cara makan mendahulukan orang yang lebih
tua, piring tidak boleh bunyi, berpakaian laki-laki memakai celana, perempuan memakai rok, tidak boleh memakai pakaian yang ketat.
Cara yang digunakan orang tua dalam sosialisasi anak cenderung otoriter dan bersifat ketaatan. Orang tua membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati
oleh anak, seperti meletakkan pakaian pada tempatnya, sebelum magrib sudah harus di rumah, tidak boleh main jauh-jauh. Orang tua tidak segan-segan akan
memukul anaknya jika mereka berlaku tidak sesuai dengan perintah orang tua atau hal-hal yang tidak senonoh dan bertentangan dengan budaya setempat. Orang tua
terutama ayah memukul anaknya terutama anak laki-laki bila tidak mentaati apa yang diperintahkan. Berikut ini pernyataan responden Bu Astri 43 tahun:
”Ibu hanya cukup memberikan nasehat seperti ini, kamu harus belajar membantu pekerjaan orang tua, karena manusia tidak enak
dagingnya, manusia yang rajin bekerja kehidupannya kelak akan senang. Akan tetapi kalau ayahnya kadang-kadang marah sambil
memukul”.
Dalam komunikasi sehari-hari jarang sekali anak-anak mempunyai kesempatan untuk bercakap-cakap secara akrab, santai dan leluasa dengan
ayahnya. Ayah hanya sekali-kali memulai percakapan jika dalam keadaan terpaksa harus memberikan nasehat langsung berkenaan dengan kesalahan yang
dilakukan anak, itupun jika kesalahan dianggap perlu ditanggapi secara langsung oleh ayah sebagai kepala keluarga. Kerenggangan hubungan tersebut menurut
para informan bukanlah karena ayah tidak sayang kepada anaknya, tetapi peranan dan fungsi ayah yang diletakkan pada posisi ”disegani”. Masyarakat pedesaan
yang primordial telah menempatkan posisi ayah sebagai tokoh panutan utama dalam keluarga yang harus dijaga kewibawaannya.
Sifat primordial yang sering diiringi oleh sikap patrimonial mengangungkan dominasi peranan kaum laki-laki, sehingga menyebabkan proses
sosialisasi anak perempuan dibedakan secara tegas dengan anak laki-laki. Anak perempuan cenderung diarahkan kepada pewarisan peranan kaum ibu sebagai
orang yang melahirkan, pengasuh anak, dan pendidik anak. Hal ini cenderung pula memperlebar jarak keakraban anak perempuan dengan ayahnya. Anak-anak
perempuan dianggap harus lebih banyak belajar dari kaum ibu, karena itu mereka lebih intim dengan ibu kandungnya dan pencurahan hati mereka juga lebih
dipercayakan kepada ibu. Seperti kasus responden Bapak Sugiono 48 tahun yang tidak menyuruh anak perempuannya untuk menyabit ngarit rumput. Pada usia
dua tahun sudah mulai membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Keberadaan seorang anak mulai dibedakan dengan pakaiannya, permainannya,
dan perbedaan yang erat kaitannya dengan jenis pekerjaan, misalnya pekerjaan mencucui piring menja di tugas anak perempuan sementara memotong ngarit
rumput adalah pekerjaan anak laki-laki. Penentuan pendidikan bagi anak pada rumahtangga tipologi ini lebih
banyak ditentukan oleh bapak, hal ini dikarenakan bapak merupakan kepala keluarga yang wajib menafkahi keluarganya termasuk membiayai pendidikan
anak-anaknya. Mereka berpendapat bahwa motivasi menyekolahkan anak adalah untuk memiliki bekal pengetahuan yang tinggi. Jika anak berbekal pengetahuan
yang tinggi akan memperoleh kehidupan yang layak dan lebih baik. Orang tua yang ada di lingkungan keluarga buruh tembakau Deli umumnya hanya
berpendidikan Sekolah Dasar SD dan tidak tamat Sekolah Dasar. Karena itu buruh tembakau Deli sangat mengharapkan anak-anaknya dapat mencapai
pendidikan formal lebih tinggi dari mereka, seperti Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA, baik sekolah umum
maupun sekolah kejujuran, bahkan apabila ada biaya dan anaknya mampu dapat dilanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sebenarnya motivasi menyekolahkan anak
selepas SD besar sekali, namun karena keterbatasan biaya maka hanya beberapa di antara keluarga buruh tembakau Deli yang bisa menyekolahkan anaknya
sampai tingkat SLTA. Seperti pernyataan responden Bapak Legiran 42 tahun: ”sebanarnya saya bukan tidak ingin menyekolahkan anak, bukan
tidak sayang sama anak, tetapi biayanya tidak ada. Saya yakin kalau uang mencukupi pasti orang tua menyekolahkan anak. Lagian saya
lihat sekolah tinggi-tinggi juga percuma, karena anak-anak yang sudah tamat SLTA sama saja dengan yang tidak sekolah, mereka juga
tidak dapat kerja yang bagus. Hal ini juga menyebabkan anak-anak tidak termotivasi untuk sekolah”
Harapan mengenai pendidikan dan pekerjaan untuk anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan. Mereka menganggap anak laki-laki mempunyai
nilai lebih dibandingkan anak perempuan. Hal ini mengakibatkan jika ada biaya dan anak laki-lakinya pandai, maka orang tua ingin menyekolahkan anaknya
setinggi mungkin. Berbeda dengan anak perempuan, meskipun pandai orang tua cenderung mengharuskan anak tinggal di rumah. Hal ini berarti anak perempuan
wajib membantu pekerjaan orang tua di rumah. Seperti layaknya ibu-ibu lain, Bu Surtini memilih untuk tidak memberikan pendidikan kepada anak perempuannya.
Anaknya hanya di rumah membantu pekerjaan ibunya, sesekali saja yang dibawa ke kebun apabila pekerjaan sibuk, seperti masa tanam tembakau. Anak
perempuannya dibiarkan saja di rumah, bila ada yang melamar langsung dikawinkan saja. Bu Surtini tidak keberataan kalau anak-ana k perempuan cepat
menikah, karena menikah diusia muda sudah menjadi tradisi di perkebunan. Tak jarang, bila anak perempuan yang belum menikah di atas umur 20 tahun dikatakan
gadis tua. Selain untuk menutupi aib menyuruh anak perempuan cepat menikah merupakan konsekuensi mengur angi beban tanggungan orang tua, karena bila
anak telah menikah biaya untuk membeli keperluan si anak seperti untuk makan, pakaian, bedak dan lain sebagainya akan berkurang.
6.1.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah