Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga

2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga

Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi pokok yang sulit untuk dirubah atau digantikan oleh orang lain. Goode 2002 me ngemukakan bahwa keluarga sebagai suatu or ganisasi mempunyai fungsi me lahirkan, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan dan kontrol sosial. Mengacu kepada fungsi keluarga sebagaimana yang dikemukakan Goode 2002, maka fungsi pemasyarakatan dan kontrol sosial termasuk fungsi sosialisasi. Artinya, sosialisasi tidak lain merupakan bentuk pengasuhan yang harus dilalui oleh setiap manusia dalam memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan bela jar mengenai peran-peran sosial, sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Davis 1960 mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan dan pewarisan kebudayaan serta tingkah laku dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hal ini berarti, orang yang baru dilahirkan akan mendapat pengaruh dari lingkungan keluarga dan masyarakat dimana ia dibesarkan. Lebih lanjut, Soe’oed 1999 menyatakan sosialisasi merupakan suatu proses pengajaran yang dilakukan berulang-ulang mengenai keterampilan, perangai, dan nilai sikap yang dihubungkan dengan pekerjaan yang ada atau peranan-peranan yang diharapkan dari individu-individu. Dengan memperhatikan batasan sosialisasi sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosialisasi mengandung unsur membentuk individu dengan menerapkan pola -pola sosial yang sesuai dan diinginkan oleh keluarga maupun masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Cohen yang diterjemahkan oleh Simamora 1983 bahwa tujuan pokok sosialisasi adalah: 1 memberikan keterampilan kepada orang-orang yang membutuhkan dalam kehidupannya kelak di masyarakat; 2 pengendalian fungsi-fungsi organik harus dipelajari melalui latihan mawas diri yang tepat; 3 tiap individu harus dibiasakan dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada masyarakat. Posisi pertama dan utama dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Melalui konsep tabula rasa dapat dijelaskan bahwa individu adalah ibarat sebuah kertas yang berbentuk dan coraknya tergantung kepada orang tua keluarga bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Melalui pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus menerus, diri serta kepribadian anak dibentuk. Lewat proses sosialisasi, seorang individu menghayati, internaslisasi, nilai-nilai, norma-norma dan aturan yang dianut kelompok dimana ia hidup. Artinya ia memiliki seperangkat sikap, nilai kesukaan dan ketidaksukaan, pola reaksi dan konsep yang mendalam dan konsisten tentang dirinya sesuai dengan latarbelakang budaya, status sosial keluarga maupun perannya dalam keluarga. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak sama dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Keluarga Jawa sebagaimana yang dikemukakan Geertz 1983 yaitu nilai hormat, rukun dan rasa malu. Pertama, hormat Sungkan; Nilai hormat diajarkan orang tua semenjak anak masih kecil, misalnya mengajarkan kepada anak untuk memakai bahasa krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, memakai tangan kanan ketika menerima sesuatu dari orang lain, memanggil ”mbak atau mas” kepada kakak dan lain-lain. Kedua, Rukun; memelihara hubungan yang harmonis hidup rukun sehingga hal-hal yang dapat mengakibatkan konflik harus dihindari. Misalnya, bila memiliki perasaa n kurang mengenakkan kepada seseorang yang dapat mengakibatkan konflik lebih baik jangan diungkapkan, kakak harus mengalah kepada adik, tidak boleh berselisih atau bertengkar dengan saudara atau teman dan lain-lain. Ketiga, Rasa malu isin; merupakan ungkapan rasa kecemasan, ketakutan dan rendah diri karena merasa dirinya lebih rendah dari yang lain. Rasa malu ditanamkan kepada anak pada hal-hal yang biasanya dianggap kurang baik oleh keluarga atau masyarakat setempat. Rasa malu akan berkembang setelah anak berumur lima tahun karena anak mengenal lingkungan yang lebih luas. Rasa malu yang ditanamkan orang tua kepada anak antara lain; anak merasa malu ketika ke luar rumah tidak memakai baju, bermain dengan teman yang berbeda kelas sosial, meminjam sesuatu ke pada orang lain tetapi tidak dipinjami, meminjam uang tetapi tidak bisa mengembalikan. Nilai malu isin juga ditanamkan orang tua pada situasi formal seperti saat ada pesta pernikahan atau pertemuan-pertemuan keluarga, orang tua mengajarkan kepada anak untuk diam tidak boleh berbicara dan selalu berada di dekat orang tuanya. Berlangsungnya proses sosialisasi adalah melalui interaksi sosial. Agen sosialisasi berperan mentransmisikan nilai-nilai dan norma -norma tertentu baik secara langsung maupun tidak la ngsung kepada individu baru. Agen sosialisasi merupakan significant other yaitu orang yang paling dekat dengan individu seperti orang tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Walgito, 2002 mengemukakan bahwa peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak ditentukan oleh faktor sikap dan kepemimpinan orang tua. Sikap dan kepemimpinan yang dimaksud adalah demokrasi dan otoriter. Orang tua yang otoriter akan senantiasa menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan kepada anak- anak, sehingga anak akan berlaku pasif, kurang inisatif, daya tahan berkurang dan penakut. Sebaliknya sikap demokratis orang tua akan menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, jujur, dan bertujuan. Proses sosialisasi dalam keluarga memliki dua pola, yaitu pola sosialisasi partisipatory yang menitikberatkan pada partisipasi dan pola represif yang menitikberatkan pada ketaatan otoriter Soe’oed, 1999. Pola sosialisasi partisipasi menekankan pada komunikasi berbentuk dialog yang memberi kemungkinan pada anak untuk mengungkapkan kehendak dan kebutuhannya serta mencoba segala sesuatunya, namun orang tualah yang memberi pengawasan. Disini orang tua sangat memperhatikan keperluan anak dan memberikan imbalan agar anak dapat mengulangi perilaku yang baik. Pola sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan menitikberatkan hukuman pada perilaku yang salah dan menuntut kepatuhan dari anak. Komunikasinya cenderung vertikal, searah dan mengarah ke bawah yaitu dari orang tua ke anak serta berbentuk perintah. Holzner dan Saptari 1997, mengemukakan bahwa sosialisasi yang diterima anak dipengaruhi oleh faktor strata atau posisi keluarga dalam struktur sosial. Orang tua yang berasal dari kelas menengah cenderung menekankan kepada anak-anak tentang pentingnya prestasi. Sebaliknya, orang tua dari kelas rendah lebih menekankan kepada anak-anak mereka tentang bagaimana upaya memenuhi kebutuhan hidup segera. Kondisi keluarga yang miskin, didukung oleh lingkungan kondusif untuk bekerja menyebabkan anak-anak terpaksa masuk ke pasar tenaga kerja . Parker dan Brown sebagaimana dikutip Ulrich 1989 menyatakan bahwa sosialisasi dari rumahtangga petani menyebabkan anak-anak petani mudah melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan bertani, sehingga secara tidak sadar kemungkinan besar anak-anak tersebut akan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang petani. Soekanto 1982 menyatakan bahwa sosialisasi dipengaruhi oleh faktor pola pendidikan keluarga yang pernah dialami orang tua. Pola pendidikan ini biasanya didukung oleh kerabat yang menganggap bahwa pola itulah yang terbaik dan harus dilestarikan. Pola pendidikan yang diterapkan kepada anaknya, sama dengan pola yang mereka terima dahulu. Penelitian Fisher dan Miller 1984 sebagaimana dikutif Soe’oed 1999 membuktikan bahwa orang tua dengan tin gkat pendidikan dan keterampilan rendah akan menciptakan anak-anak dengan tingkat pendidikan yang hampir sama rendahnya. Siswa berprestasi rendah biasanya berasal dari kalangan keluarga pekerja. Geertz 1983 menyatakan bahwa sosialisasi nilai kerja pada anak-anak merupakan bagian dari kepatuhan terhadap tatakrama budaya. Hal ini dikemukakannya dalam penelitiannya pada keluarga Jawa, misalnya memperlihatkan sejak kecil anak-anak sudah dilibatkan bekerja baik di sektor domestik maupun sektor publik. Bagi keluarga Jawa anak bekerja dalam usia yang muda dianggap bernilai positif karena merupakan proses sosialisasi dalam mempersiapkan anak untuk dapat melakukan tugas-tugas tertentu ketika anak sudah dewasa. Awalnya anak bekerja dimaksudkan untuk melatih dan mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi dunia pekerjaan dan sebagai tanggung jawab dalam mematuhi perintah orang tua, akan tetapi anak-anak terjebak dan memiliki keinginan untuk tetap bekerja. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dipengaruhi oleh sikap dan kepemimpinan orang tua, strata atau posisi dan status sosial keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan kepatuhan terhadap tatakrama budaya.

2.2. Alur Pemikiran