5.3. Orientasi Nilai Budaya Rumahtangga Buruh Perkebunan
Permasalahan yang dihadapi buruh di perkebunan cukup kompleks. Rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga masih menjadi masalah utama
mereka hingga sekarang. Soegiarti 2002 menunjukkan bahwa upah buruh sektor perke bunan lebih rendah dibandingkan sektor industri. Sistem upah buruh
perkebunan cenderung eksploitatif, pola hubungan kerja bersifat feodal, dan curahan waktu kerja panjang yang tidak sebanding dengan upah yang diterima.
Sementara itu, pada umumnya keluarga buruh tidak memiliki simpanan atau modal kerja. Ironisnya, tak jarang mereka harus terjerat oleh ulah para rentenir
19
yang memaksa keluarga mereka masuk dalam perangkap kemiskinan Cambers, 1987. Kemiskinan yang terus menerus dihadapi buruh memaksa mereka tida k
dapat keluar dari perkebunan. Sebenarnya ketergantungan buruh terhadap perkebunan sengaja diciptakan
pihak perkebunan. Hal ini telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda dengan cara memperbolehkan menghisap candu, mengadakan hiburan wayang, ronggeng
bangsawan, judi, pasar malam, dan prostitusi. Semua hiburan tersebut sengaja dilakukan untuk menarik upah yang diterima para kuli kembali, dengan demikian
mereka akan terlilit hutang dengan perkebunan. Pelaksanaan hiburan masih tetap menjadi tradisi di komunitas perkebunan hingga saat ini. Pasar malam di
emplasmen Buluh Cina yang bertepatan dengan setiap gajian kecil dan besar hingga saat ini masih terus berlangsung. Ketergantungan buruh ini mempengaruhi
terhadap sikap dan perilaku buruh yang tunduk terhadap perkebunan dan memilih tetap bertahan di komunitas perkebunan dan melestarikan kerja sebagai buruh
kepada anak-anak yang dianggap mampu dan cekatan dalam bekerja. Berdasarkan wawancara dan temuan lapangan dapat dikonstruksikan
beberapa faktor yang menyebabkan buruh perkebunan mengalami ketergantungan terhadap perkebunan. Pertama, perkebunan adalah penjamin keamanan
subsistensi keluarga. Untuk kebutuhan buruh yang paling mendesak mereka disubsidi oleh perkebunan. Di samping itu bagi para buruh yang memiliki modal
19
Rentenir adalah orang yang memberikan pinjaman dana kepada keluarga yang kurang mampu setelah sebelumnya pihak peminjam menyepakati aturan main yang ditetapkan oleh tengkulak,
yakni dalam pengembaliaannya, pinjaman ini harus dilipatgandakan berbunaga, sehingga sekeras apapun mereka bekerja dan berusaha mengembalikan pinjaman tersebut, mereka tidak mampu
melunasinya.
dapat memelihara ternak seperti kambing, lembu dan menanam tanaman padi dan holtikultura bagi mereka yang telah memiliki tanah. Artinya, sebenarnya keluarga
buruh telah memiliki kesempatan untuk mengalokasikan modal dan keluar dari perkebunan, tetapi sengaja tidak ke luar karena menurut pandangan mereka jauh
lebih baik dibanding harus bekerja di luar perkebunan yang belum tentu ada jaminan ekonomi keluarga. Sementara itu, ekologi di sekitar perkebunan
merupakan basis subsistensi bagi para kuli. Seperti terlihat pada riteme kehidupan para kuli, jika rerumputan di sekitar kebun Buluh Cina dan sekita rnya tidak subur
mereka tidak dapat memberikan pakan ternak sapi dan kambing yang dipelihara para buruh. Kesuburan lahan di kebun Buluh Cina dengan rerumputan yang
tumbuh amatlah membantu para buruh yang beternak sapi dan kambing untuk mencukupi kebutuhan pakan ternaknya.
Kedua, tradisi memburuh yang masih berkembang hingga saat ini, sehingga mereka sulit berpindah profesi. Kebiasaan hidup di perkebunan yang
aman tenteram tidak terlalu memikirkan hal-hal yang rumit dapat mendorong keluarga buruh untuk tetap menginginkan anak-anaknya tetap menjadi buruh di
perkebunan. Bahkan ketahanan para buruh untuk bekerja dengan tekun terutama bagi buruh yang sudah berusia tua dengan upah yang rendah dibandingkan dengan
bekerja di luar perkebunan seperti di pabrik. Sikap nrimo dan rasa syukur yang ada dalam batin memperkuat ketahanan kuli untuk bekerja secara maksimal meski
hasil yang mereka terima tidak sebanding dengan nilai kerja yang mereka lakukan. Sikap para kuli yang diwarnai nrimo ini senyatanya menjadi kebudayaan
yang membuat para kuli tahan hidup ditengah kemiskinan. Karakteristik nilai-nilai budaya Jawa yang masih berlaku pada sebagian
besar buruh dapat menghambat kemajuan hidup mereka sendiri. Sebagian besar buruh masih memegang kuat nilai-nilai kejawen yang diwariskan oleh leluhurnya,
seperti memberikan sesajen atau persembahan kepada arwah leluhur dan roh-roh halus yang menguasai daerah, memilih “hari baik” sebelum melakukan suatu
kegiatanusaha, percaya pada dukun dan takhyul. Kultur masyarakat perkebunan juga memandang sesuatu terjadi semata-mata karena kehendak Yang Maha
Kuasa. Misalnya, jika mereka miskin, lalu bodoh, maka hal ini mereka anggap sebagai takdir yang tidak bisa diubah. Demikian pula jika mereka menjadi buruh,
maka itu pun dianggap sebagai takdir. Akibatnya mereka lebih suka menerima realitas kehidupan ini sesuai apa adanya. Sebaliknya, jika seseorang berhasil
menjadi kaya, maka disebut sebagai nasib baik. Sikap patalistik atau sikap nrimo terhadap segala sesuatu, mangan ora mangan asal ngumpul, hedonitas, saiki
dudhu sesuk , gugontuhon, membuat mereka pasrah pada keadaannya. Pada akhirnya, nilai-nilai budaya itu dapat mendorong keinginan orang tua agar
generasi berikutnya tetap menjadi buruh di perkebunan. Berikut kasus pengalaman Bapak Legiran yang diceritakannya kembali ketika memilih bekerja
sebagai buruh tembakau Deli: “…mungkin sudah nasib saya, harus bekerja di kebun tembakau,
karena setelah beberapakali mencoba kerja di luar perkebunan, ada saja masalah yang membuat saya tidak betah dan harus pulang ke
desa Buluh Cina. Sekarang saya sudah pasrah pada nasib menjadi buruh selamanya. Paling kalau ada rezeki saya diangkat jadi mandor.
Perasaan sebagai seorang buruh yang merupakan kelas terendah dalam struktur perkebunan, membuatnya takut untuk menyekolahkan
anak-anaknya sampai ke universitas. “Kalau macam saya, tidak mungkinlah menyekolahkan anak ke universitas, soalnya masuk
perguruan tinggi tidak ada biaya. Penghasilan dari seorang buruh hanya cukup untuk makan, apalagi seperti keluarga saya tidak
memiliki tanah yang dapat diolah.
Menurut kerangka berfikir Kluckhohn dan Strodtbeck dalam Koentjaraningrat 1990, konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya atau
soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia sedikitnya ada lima yaitu 1 soal human nature atau makna hidup manusia; 2 soal man-nature atau
soal makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3 soal time atau persepsi manusia mengenai waktu; 4 soal activity , atau soal makna dari
pekerjaan, karya dan amal pe rbuatan manusia dan 5 soal relational, atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Lebih lanjut, Koentjaraningrat
1990, menyatakan bahwa kelima orientasi nilai itu mempunyai masing-masing tiga variasi konsepsi yang sebenarnya bisa diurutkan sebagai pe rkembangan ciri
kebudayaan manusia dari tahapan tradisional hingga yang disebut modern. Secara sederhana kerangka ini disusun oleh Koentjaraningrat seperti berikut ini :
1. Soal makna hidup bervariasi dari hidup adalah penderitaan evil, hidup itu
sumber kesenangan good atau hidup itu dapat diperbaiki mixture of good and evil.
2. Soal makna hubungan manusia dengan alam bervariasi dari tunduk terhadap
alam subjugation to nature, selaras dengan alam harmony with nature atau menundukkan alam mastery over nature.
3. Soal makna waktu bervariasi dari orientasi ke masa lalu past, orientasi ke
masa kini present dan orientasi ke masa depan future. 4.
Soal makna karya bervariasi dari karya untuk hidup being, karya untuk kedudukan being in becoming dan karya untuk karya doing.
5. Soal hubungan manusia dengan manusia bervariasi dari orientasi ke atas
lineality, orientasi sesamanya collaterality dan orientasi individu individuality.
Berdasarkan kelima hal di atas peneliti mencoba melihat orientasi nilai budaya buruh tembakau Deli memutuskan tetap bekerja dan bertempat tinggal di
dalam komunitas perkebunan hingga saat ini. Bagi buruh perkebunan tembakau di Desa Bulu Cina memandang bahwa
hidup ini baik, namun untuk itu perlu usaha. Hari esok yang lebih baik hanya bisa tercapai jika usaha ke arah itu dilakukan. Manusia harus berusaha agar hidup hari
esok bisa lebih baik dari hari kemarin. Tapi, bagi buruh perkebunan hidup untuk meningkatkan kehidupan sudah sebatas angan-angan saja, karena kondisi dan
situasi di lingkungan perkebunan yang tidak menyediakan lapangan pekerjaan selain menjadi buruh di perkebunan, seperti yang diutarakan Pak Sutardjo :
“bagaimanalah ya …kalau hanya tetap tinggal disini pasti bekerja di perkebunan ini saja, kecuali mau ke luar dari desa ini mungkin bisa
bekerja di pabrik. Tapi kalau bekerja di pabrik rata-rata hanya anak perempuan saja, sementara anak laki-laki lebih memilih bekerja
bangunan dan di perkebunan, saya itu tidak memiliki keterampilan, yang saya tahu hanya bekerja di kebun”
Bagi rumahtangga buruh yang telah memiliki tanah juga sangat yakin hasil kerja di perkebunan sambil mengembangkan usaha dengan bertanam-tanaman
holtikultura di tanah yang mereka miliki. Keinginan akan datangnya perubahan nasib itu didasarkan atas kearifan buruh yang selalu belajar dari pengalaman.
Pengalaman yang diserap dari masyarakat sekitarnya dengan adanya kasus masyarakat yang menyerobot tanah perkebunan yang telah habis HGU-nya. Buruh
berpeluang untuk keluar dari kemiskinan yang mendera kehidupannya. Peluang tersebut sebagian diaktualkan dalam bentuk pilihan sikap dan perilakunya untuk
tetap bertahan dan bekerja sebagai buruh. Bila mengacu kepada konsepsi Kluchohn mengenai orientasi nilai budaya, maka masyarakat buruh perkebunan di
Desa Bulu Cina dikategorikan kepada kelompok masyarakat transisi. Hal ini terlihat dari adanya keinginan masyarakat untuk merubah kehidupannya, tapi
karena keterbatasan lapangan kerja maka mereka tetap bekerja di perkebunan. Para buruh tidak memandang pekerjaan sebagai buruh perkebunan sebagai
pekerjaan rendah. Malah sebagian bercita -cita agar anak-anak dan keturunannya tetap meneruskan pekerjaan sebagai buruh tembakau. Hidup tenang di lingkungan
perkebunan pada masa tuanya nanti, merupakan pilihan yang dianggap paling tepat karena lebih nyaman dan menyenangkan dapat selalu berkumpul dengan
anggota keluarga, anak dan cucu. Artinya, dalam soal hubungan manusia dengan alam mereka memiliki orientasi untuk menundukkan alam dalam rangka
memperjuangkan kebutuhan hidup manusia. Kesadaran buruh sebagai kelas yang tertindas selama ini telah membuat
mereka untuk berani melakukan protes terhadap pihak perkebunan dengan tuntutan agar terjadi perubahan sistem kerja dan upah kerja agar dinaikkan. Masa
lalu sebagai kelas bawah masyarakat di lingkungan perkebunan adalah waktu kenangan. Masa kini dan masa depan adalah perjuangan yang harus dijalani.
Mereka juga memaknai waktu dengan berorientasi pada masa depan. Sayangnya, pola hidup hemat belum menjadi keseharian mereka, malah sebaliknya buruh
perkebunan terlihat hidup boros. Bapak Zamiran 60 tahun menjelaskan bahwa secara kasat mata keluarga buruh tembakau dapat digolongkan masyarakat
ekonomi yang mampu. Tapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena harta yang mereka miliki hanyalah se bagai fantasi belaka. Di balik fantasi yang ada,
ternyata tanda-tanda kesejahteraan hidup masih memprihatinkan. Harta benda yang mereka miliki seperti televisi, sepada motor, dan alat-alat elektronik lainnya
diperoleh secara mengangsur hanya sebagai simbol. Pada kenyataannya mereka tidak sanggup untuk membeli barang-barang tersebut. Adapun yang memotivasi
mereka untuk membeli karena sudah menjadi tradisi masyarakat buruh perkebunan gemar mengalokasikan penghasilan mereka, meskipun anak-anak
putus sekolah. Orientasi nilai budaya buruh perkebunan dalam memandang waktu masih berorientasi masa lalu dan masa kini, masa depan belum dipikirkan.
Berdasarkan uraian orientasi nilai budaya buruh perkebunan ini, diperoleh beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya pe mbentukan generasi buruh secara
turun temurun, yaitu : 1 memilih sendiri menyukai, hal ini terkait dengan faktor nilai budaya yang
berkembang di masyarakat perkebunan. Mereka masih menekankan sikap hidup biar susah yang penting ngumpul.
2 tidak memiliki alternatif pilihan terpaksa, keluarga buruh tidak memiliki pilihan pekerjaan lain yang membuat mereka terlepas dari komunitas
perkebunan. 3 tidak mampu mengembangkan pilihan apatis, meskipun belakangan ini ada
beberapa lapangan pekerjaan yang bisa dimasuki, tetapi buruh memiliki sifat yang kurang maju. Mereka merasa tidak akan mampu bekerja di luar
perkebunan, selain karena kurangnya keterampilan yang dimiliki, dan juga rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.
4 lebih memilih tinggal di perkebunan, karena membutuhkan biaya hidup lebih rendah ada subsidi pihak perkebunan, seperti fasilitas perumahan, kesehatan,
upah bulanan, tunjangan bahan pokok dan pensiunan.
5.4. Ikhtisar