Tipe Rumahtangga Buruh yang tidak Memiliki Tanah

5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang Tua

Hasil Wawancara dan pengamatan menunjukkan bahwa keterbatasan fasilitas pendidikan di Desa Buluh Cina dan kurangnya kesadaran sebagian besar orang tua tentang pentingnya pendidikan, mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orangtua. Sarana transportasi yang terbatas, mengharuskan seorang anak yang ingin sekolah harus tinggal di kota. Dengan demikian diperlukan biaya tinggal, biaya makan, biaya sekolah serta kebutuhan lain yang pengadaannya tidak bisa dilakukan berbarengan dengan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orangtua sering merasa tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi dari SD. Akibatnya, hanya sekelompok kecil saja yang bisa mencapai pendidikan hingga SMP, SMA atau kuliah. Bahkan ada indikasi keluarga buruh perkebunan tidak sanggup untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Bisa lulus sampai SD saja sudah sangat baik bagi sebagia n besar buruh tembakau. Data lapangan menunjukkan, ada perbedaan nilai kerja antara orang tua yang hanya lulusan SD dengan yang berpendidikan lebih tinggi. Orang tua yang memiliki pendidikan tamat SMP atau SMA, tidak melakukan pemaksaan terhadap anak-anak untuk tetap bekerja di perkebunan. Mereka telah menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Berikut ini akan dijelaskan tingkat pendidikan orang tua pada kedua tipe rumahtangga buruh.

A. Tipe Rumahtangga Buruh yang tidak Memiliki Tanah

Dengan memiliki pendidikan yang tinggi, orang tua lebih meyakini anak- anak mereka akan dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sehingga mereka cenderung menyekolahkan anak-anaknya. Kasus Bapak Legiran 43 tahun salah seorang responden yang lulus sekolah sampai tingat SLTA, akhirnya pasrah menerima nasib bekerja sebagai buruh perkebunan. Sebelum bekerja di perkebunan sebenarnya sudah pernah bekerja di luar sebagai pegawai Hotel di daerah Brastagi, namun karena orang tua meminta agar pulang akhirnya bekerja di kebun tembakau untuk menggantikan posisi orang tua. Pendidikan yang diperoleh Bapak Legiran banyak memberi keuntungan baginya. Misalnya, mengikuti pelatihan pengelolaan tembakau yang diselenggarakan pihak perkebunan PTPN II pada tahun 2004 yang lalu. Tingkat pendidikan pula yang menyebabkan pada tahun 2005 ini terpilih sebagai salah satu calon yang akan diangkat menjadi mandor tanam. Pengalaman pendidikan ini akan diteruskan kepada anak-anaknya, seperti yang diutarakan Bapak Legiran saat mengenang masa lalunya, dengan menyatakan: “hidup saya sekarang sudah susah, kalau bisa anak-anak saya tidak merasakan seperti ini lagi. Untuk itu saya sudah mencoba akan tetap menyekolahkan anak-anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, Kalau anak-anak memiliki pendidikan mungkin untuk mendapatkan pekerjaan yang baik lebih mudah. Saya sengaja menyekolahkan salah seorang anak saya di STM yang ada di Binjai agar dia mendapat pendidikan yang lebih baik, mendapat pengalaman dari teman-teman di luar perkebunan. Hal ini akan menjadi bekalnya nanti, bila mau mencari pekerjaan” Berbeda dengan pandangan Bapak Aman 50 tahun yang sekolah hanya sampai SD saja, memiliki pandangan bahwa sekolah tidak menjamin anak-anak mendapat pekerjaan yang le bih baik. Bapak Aman menyadari betul kecilnya peluang untuk bekerja di luar sektor perkebunan terutama sebagai pegawai negeri atau pekerjaan yang dipandang masyarakat sebagai pekerjaan yang lebih baik dan bergengsi. Bapak Aman telah pasrah pada nasib menja di buruh perkebunan tembakau, sehingga tidak mendorongnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan buruh tembakau yang merupakan kelas terendah dalam struktur perkebunan, membuatnya takut untuk menyekolahkan anaknya sampai ke SLTA. Pada keluarga buruh dengan tipe seperti ini, maka kegiatan sekolah anak tidak menjadi masalah penting. Jika anak sudah malas sekolah biasanya orang tua tidak berusaha untuk membujuknya dan anak yang tidak sekolah akan langsung memasuki dunia kerja dan ini berarti usia kerja anak akan semakin dini. Bapak Aman 50 tahun yang tidak tamat SD menyatakan: ”pekerjaan mengelola tembakau tidak perlu dipelajari sampai sekolah segala. Sejak kecil kami sudah menyaksikan bahkan mengerjakannya langsung. Asal ada kemauan dan memiliki tenaga kuat pasti bisa. Beda dengan kerja di pabrik atau pegawai negeri yang harus memakai otak, kalau tidak sekolah ya..tidak diterima...makanya sejak kecil anak-anak dilibatkan saja untuk bekerja...” Proses rekruitmen kerja yang tidak mementingkan tingkat pendidikan di perkebunan merupakan strategi pengusaha agar mendapatkan tenaga kerja yang patuh, tidak memiliki wawasan yang luas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi tenaga kerja dimasa yang akan datang. Strategi ini cukup berhasil dalam memberikan keuntungan bagi pihak perkebunan. Setidaknya orientasi nilai kerja orang tua tetap menganggap pekerjaan perkebunan sebagai pekerjaan yang bernilai tinggi dalam menjamin kehidupan keluarga. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana kehidupan mereka tetap berlanjut dengan bantuan dari anak- anaknya. Dengan demikian faktor lain yang menyebabkan rendahnya dorongan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi adalah akibat peraturan perkebunan yang tidak mementingkan pendidikan dalam perekrutan tenaga kerja.

B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah