Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah

B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah

Sebagian rumahtangga buruh tembakau Deli saat ini berusaha di bidang pertanian untuk menambah pendapatan da ri upah bekerja sebagai buruh kebun. Diversifikasi pekerjaan sektor pertanian dan perkebunan ini disebut Sayogyo 1991 dengan istilah pola nafkah ganda. Lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga buruh diperoleh dengan cara membeli pada petani di luar perkebunan dan sebagian lainnya berdasarkan warisan orang tua. Pasangan Purwanto – Jumiati 47 – 40 tahun Sugiono – Astri 48 – 43 tahun, Usman – Rini 45 – 39 tahun, Aryadi – Misnah dan 41 – 35 tahun adalah empat rumahtangga buruh tembakau Deli di desa Buluh Cina yang telah memiliki tanah. Dengan memiliki tanah penghasilan yang diperoleh rumahtangga ini tidak saja dari sektor perkebunan, tetapi juga penghasilan dari sawah. Mereka yang telah memiliki tanah sendiri penghidupan keluarganya lebih terja min, karena bisa bekerja dengan tenang tanpa tergantung sepenuhnya terhadap perkebunan. Seperti Pak Aryadi 41 tahun yang telah menjalani pekerjaan sebagai buruh tembakau sekitar 18 tahun. Sebelum memiliki sawah di luar desa penghasilan keluarga hanya dar i bekerja di kebun, tetapi sejak mertuanya membagikan tanah kepada anak-a naknya, maka penghasilan rumahtangga Pak Aryadi tidak saja tertumpu pada upah di kebun tembakau. Dengan menjalani dua pekerjaan sekaligus keluarga ini terpaksa memerlukan tenaga kerja yang banyak pula. Pekerjaan borongan di kebun tembakau tidak mungkin dilakukan sendirian, bila kontribusi anak tidak ada , maka dampaknya selain beban pekerjaan yang berat harus ditanggung sendirian, Pak Aryadi terpaksa mengeluarkan tambahan modal untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Pak Aryadi merasakan tenaga kerja anak penting dalam membantu pekerjaan borongan di kebun tembakau. Bekerja di kebun tembakau, setiap harinya dari pukul 06.00 Wib, Pak Aryadi hanya dibantu oleh istrinya, karena usia anak-anaknya belum dapat membantu bekerja di kebun dan anaknya yang paling tua kebetulan perempuan, sehingga tidak dapat diandalkan untuk bekerja di kebun. Ketiadaan tenaga kerja anak yang membantu, maka Pak Aryadi terpaksa menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Pak Aryadi menyewa buruh dari luar keluarga dengan membayar Rp. 13.500,-, per hari. Selama enam hari mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarga, Pak Aryadi mengeluarkan upah buruh lepas sebesar Rp. 94.500,- Jumlah sebesar itu ternyata sangat memberatkan bagi keluarganya. Sementara itu, untuk mengerjakan tanah Pak Aryadi mengandalkan tenaga kerja luar dengan sistem bagi hasil. Untuk keperluan pupuk, bibit dan sebagainya disediakan, dan setelah panen dilakukan pembagian hasil. Pekerjaan seorang buruh temba kau sambil bersawah cukup berat. Dengan menjalani dua pekerjaan tersebut maka tenaga kerja anak benar-benar sangat dibutuhkan. Tenaga kerja anak dibutuhkan bukan sekedar untuk membantu di kebun saja sebagai pekerjaan yang produktif, tetapi juga untuk pekerjaan yang reproduktif. Bapak Usman 45 tahun, yang telah memiliki tanah seluas 2,5 hektar dan empat ekor ternak lembu. Untuk membantu pekerjaan pak Usman setiap harinya selalu meluangkan tenaga yang banyak. Setiap hari jam kerjanya dimulai pada pukul 06.00 – 16.00 Wib di kebun tembakau dan sore harinya sekitar 16.00 – 18.00 bekerja di sawah. Padatnya pekerjaan yang harus dijalani menyebabkan tenaga anak-anak sangat diharapkan untuk membantu. Dari empat orang anaknya dua orang yang selalu aktif dalam membantu baik di kebun tembakau maupun di sawah. Pekerjaan yang dijalani secara bersamaan, sering sekali membuat mereka kerepotan. Untuk mengatasinya Pak Usman melakukan pembagian alokasi tenaga kerja keluarga menjadi hal yang penting. Pada musim tanam tembakau pak Usman membagi alokasi tenaga kerja kepada seluruh anggota keluarga. Untuk mengurus pekerjaan borongan di kebun tembakau ditangani oleh pak Usman, pekerjaan di ladang dibebabankan kepada dua orang anak laki-lakinya, dan pekerjaan di rumah diker jakan oleh ibu dan anak perempuannya. Bu Rini juga ikut bekerja sebagai buruh musiman di kebun tembakau, misalnya sebagai buruh hariaan lepas untuk mencari ulat. White 1984 menyatakan bahwa nilai anak bisa diamati dalam hal kerjasama dalam kehidupan keluarganya, seperti pada anak-anak yang belum masuk usia kerja dapat membantu pekerjaan di rumah. Sekalipun tidak nyata produktifnya tugas-tugas yang dilakukan pekerja anak secara tidak langsung dapat juga produktif bila pekerjaan anak dapat membebaskan anggota rumah tangga lain dari tugas -tugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih produktif. Realisasi teori yang dikemukakan White 1984 semakin tampak jelas dari hasil wawancara dengan bu Rini 43 tahun yang menganggap bahwa anak merupakan bantuan tenaga kerja di rumah dan sekaligus pengasuh bagi saudaranya. Diusianya yang sudah tidak muda lagi bu Rini masih memiliki anak usia lima tahun, sehingga dia harus bekerja lebih keras untuk menambah penghasilan suaminya. Setiap pagi sekitar pukul 06.00 Wib, Bu Rini sudah berangkat ke kebun tembakau untuk bekerja mencari ulat. Pekerjaan mencar i ulat hanya musiman, sehingga Bu Rini harus benar-benar mengambil kesempatan tersebut untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Selama Bu Rini bekerja, pekerjaan memasak, me ncuci dan mengurus anaknya diserahkan kepada anak perempuan. Berikut ungkapan Bu Rini tentang nilai anak: “untuk membantu suami, saya bekerja di gudang pemeraman tembakau, dan yang mengerjakan pe kerjaan rumah terpaksa disuruh si Anti 9 tahun khususnya menjaga adeknya paling kecil yang masih berusia lima tahun, sementara abangnya bekerja membantu bapaknya di kebun tembakau dan di sawah. Kalau tidak begitu mana lah mampu untuk memenuhi biaya hidup keluarga dan biaya sekolah anak-anak” Nilai anak secara psikologis, juga dapat diamati dari tipologi rumahtangga ini. Nilai anak digunakan untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan pihak perkebunan. Fasilitas yang diberikan pihak perkebunan menempati makna penting bagi buruh perkebunan. Seringkali fasilitas inilah yang menjadi faktor pendorong utama bagi keluarga buruh untuk tetap bertahan di perkebunan bahkan sampai mendidik anak-anak mereka secara bergenerasi. Kasus Bapak Sugiono 48 tahun, dari pengalamannya bekerja sebagai buruh tembakau selama 25 tahun lebih telah mampu membeli tanah seluas 1,5 ha ditambah dengan ternak masing- masing lima ekor sapi dan tujuh ekor kambing. Bagi bapak Sugiono tenaga kerja anak tetap penting untuk membantu pekerjaannya. Selain untuk membantu di kebun, di sawah dan mengurusi ternak, nilai anak secara psikologis ditunjukkan untuk dapat meneruskan pemilikan fasilitas -fasilitas yang disediakan pihak perkebunan. Pak Sugiono juga memiliki harapan tanah-tanah milik perkebunan yang akan habis masa HGU didistribusikan kepada buruh. Pemanfaatan tenaga kerja anak sudah dipikirkan secara matang mensosialisasikan pekerjaan perkebunan dan pekerjaan pertanian yang dianggap cocok bagi anak-anak mereka jika sudah dewasa. Fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pihak perkebunan tembaka u Deli adalah; Pertama, fasilitas perumahan. Setiap buruh yang telah dinyatakan lulus menjadi buruh tetap akan mendapatkan tunjangan berupa rumah dinas dan akan dikembalikan setelah mencapai masa pensiun. Bagi keluarga buruh yang tidak mendapatkan rumah dinas, pihak perkebunan menggantinya dengan tunjangan uang sewa rumah sebesar Rp. 60.000,- perbulan. Berkurangnya jumlah rumah dinas, karena banyak buruh yang telah mengalami pensiun lebih memilih tetap tinggal di komunitas perkebunan, meskipun beberapa diantaranya sudah tidak memiliki generasi yang meneruskan pekerjaan buruh di perkebunan. Bagi pihak perkebunan tidak menjadi masalah karena pensiunan buruh tersebut dapat diandalkan untuk menjadi buruh harian lepas di kebun tembakau atau di tebu. Kedua, fasilitas yang lebih diandalkan oleh keluarga buruh adalah fasilitas kesehatan. Fasilitas ini adalah hak anggota keluarga buruh yang ditanggung oleh perusahaan. Biasanya perusahaan hanya menanggung biaya per obatan dengan tiga orang anak. Bila dalam keluarga memiliki empat orang anak, maka anak keempat bukan menjadi tanggungan perkebunan, sebaliknya akan menjadi beban keluarga buruh. Di satu sisi peraturan ini dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang tutur mempengaruhi perubahan nilai anak pada keluarga bur uh, dimana para buruh tidak menginginkan anak dalam jumlah besar. Salah seor a ng mantan istri buruh pensiunan Bu Marina 75 tahun menjelaskan tentang perubahan nilai anak pada komunitas buruh perkebunan di Buluh Cina. Sekitar tahun 1980-an, kebiasaan orang tua memiliki anak dalam jumlah besar masih berkembang. Memiliki banyak anakl masih dipandang akan membawa rezeki, karena semakin banyak anak semakin banyak pula tenaga kerja yang dapat membantu pekerjaan orang tua di kebun tembakau. Bu Marina sendiri memiliki anak 11 orang, saat ini lima orang diantaranya bekerja sebagai buruh tembakau meneruskan pekerjaan bapaknya. Ungkapan Bu Marina diperkuat oleh Bu Astri 35 tahun seorang istri mandor tanam tembakau yang menyatakan bahwa buruh tembakau yang bekerja sekarang memiliki jumlah anak sedikit. Rata -rata buruh memiliki anak 3 – 4 orang 18 . 18 Hal ini dapat diperbandingkan dengan Tabel 1. yang menggambarkan ciri-ciri rumahtangga responden dengan indikatornya adalah jumlah anak dalam keluarga. Ketiga, tunjangan kebutuhan sembilan bahan pokok. Tunjangan yang diberikan hanya beras setiap bulan sebanyak 23 kg yang diberikan pada awal bulan sebanyak 10 kg dan pada akhir bulan sebanyak 13 kg. Anak-anak yang masuk tanggungan hingga berusia 17 tahun atau hingga selesai sekolah dengan menunjukkan ijazah. Salah seorang informan yang berasal dari istri mantan buruh tembakau Bu Marina menyatakan tunjangan bahan pokok yang diterima buruh tembakau saat ini mengalami pengurangan. Pada masa perkebunan dikuasai oleh kolonial Belanda tunjangan sembako tidak hanya beras, tetapi juga pakaian, susu, gula dan biaya perbaikan rumah. Memang pekerjaan pada saat itu sangat berat, tetapi fasilitas yang diberikan juga banyak. Kalau sekarang tunjangan sembako hanya beras saja, jadi untuk kebutuhan lainnya, keluarga buruh tembakau hanya mengandalkan upah harian dan tabungan keluarga pada saat masa upah borongan. Keempat, upah bulanan yang diterima buruh sebesar Rp. 386.000,- ketika pekerjaan harian yang ditandai dengan selesainya paket kerja borongan. Sistem kerja paket borongan hanya berlaku dari bulan Pebruari – Juli setiap tahunnya. Tinggi rendahnya upah seorang buruh tergantung kedisiplinan dalam mengandalkan seluruh anggota keluarga, karena setiap tahapan kerja yang diborongkan selain mendapat upah dari hasil kerja juga mendapat bonus tambahan bila mandor menilai pekerjaan yang dilakukan benar-benar bagus. Sistem kerja borongan, upah yang diperoleh jauh lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari kasus Pak Sugiono, yang menjelaskan bahwa rata-rata upah yang diperolehnya dengan upah borongan ada lah sebesar Rp. 400.000,- per bulan. Selain itu, adanya permintaan tenaga kerja musiman di gudang pemeraman tembakau juga diikuti oleh istri pak Sugiono. Upah yang diperoleh sebesar Rp. 13.500,- per hari. Jika bu Astri bekerja selama enam hari maka upah yang diterima sebesar Rp. 81.000,- per minggu, sehingga bila bekerja dalam satu bulan bu Astri akan memperoleh upah sebesar Rp. 324.000,-. Sementara itu, terbukanya lapangan kerja di luar perkebunan seperti di pabrik yang berkembang di sekitar perkebunan, ternyata juga dimanfaatkan oleh Dian 17 tahun salah seorang anak laki-laki Pak Sugiono yang sekarang tidak sekolah lagi. Dian bekerja di pabrik yang memproduksi tali plastik sejak Juli tahun 2004. Waktu kerja nya 7 – 8 jam per hari, yang dibayar sebesar Rp. 12.000,-. Dalam setahun, rata-rata hari kerjanya 12 bulan. Dengan nilai upah Rp. 12.000,- per hari, maka Dian mendapat upah sebesar Rp. 4.320.000,- per tahun. Untuk memperlihatkan sejauh mana pentingnya nilai fasilitas bagi rumahtangga buruh tembakau Deli, kasus rumahtangga Bapak Sugiono diambil sebagai salah satu contoh. Sumber-sumber pendapatan rumahtangga Bapak Sugiono tahun 2004 dapa t dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Perbandingan sumber-sumber Pendapatan Rumahtangga Pemilik Tanah dengan Nilai Fasilitas di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 Sumber pendapatan Rumahtangga Frekuensi Per tahun Pendapatan per bulan Pendapatan per tahun A. Upah siklus kerja tembakau 1. Upah borongan a. 6 bulan upah buruh suami b. 3 bulan upah buruh Istri 2. Upah harian suami 6 bulan 3. Sumber lain a. Buruh anak Laki-laki b. Upah hasil tanaman padi dan holtikultura 6 x 3 x 6 x 12 x 2 x Rp. 400.000,- Rp. 324.000,- Rp. 386.000,- Rp. 360.000,- Rp. 750.000,- Rp. 2.400.000,- Rp. 972.000,- Rp. 2.316.000,- Rp. 4.320.000,- Rp. 1.500.000,- Total A Rp. 11.408.000,- B. Nilai Fasilitas ∗ 1. Rumah 2. Kesehatan 3. Beras 12 x 12 x 12 x Rp. 60.000, - Rp. 200.000,- Rp. 250.000,- Rp. 720.000,- Rp. 2.400.000,- Rp. 3.000.000,- Total B Rp. 510.000,- Rp. 6.120.000,- Total A dan B Rp. 17.528.000 Sumber: Data primer, 2005 ∗ Asumsi : 1. Rumah sama dengan nilai sewa rumah sejenis yang diberikan oleh pihak perkebunan setiap bulannya. 2. Biaya kesehatan sama dngan biaya pengobatan di Puskesmas yang terdekat dengan Desa Buluh Cina. 3. Beras sama dengan harga beras yang berlaku di Desa Buluh Cina pada saat penelitian ini berlangsung. Dari tabel di atas dapat memperlihatkan bahwa selama tahun 2004 pendapatan total rumahtangga Pak Sugiono sebesar Rp. 11.408.000,-. Dengan nilai pendapatan tersebut, maka dapat diperkirakan secara lebih obyektif fasilitas- fasilitas yang disediakan pihak perkebunan sangat penting bagi rumahtangga buruh. Penghasilan Pak Sugiono dengan istri dan anak-anaknya hanya 38 dari total pendapatan tahunan rumahtangga. Total pendapatan rumahtangga Pak Sugiono sebesar Rp. 1.460.666, per bulan. Jumlah ini tidak mencukupi kehidupan keluarga, sehingga nilai fasilitas rumah sangat penting bagi pak Sugiono.

5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang Tua